Beberapa hal memang tidak begitu membutuhkan penjelasan. Tapi setidaknya, beberapa hal perlu diketahui. Bagaimanapun, mustahil untuk menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Pun mustahil mengetahui sisi brutal Ahza tanpa menjadi korban atau klien mereka. Sekiranya ada beberapa pemikiran yang selalu dijadikan filosofi hidup seorang Irene, setelah membaca karya klasik filsuf Yunani favoritnya.
Di malam yang sedang mencekam untuk target baru Ahza, si putri es sedang menatap teduh seorang mantan pejabat terkenal di kota ini. Pria tua itu sedang mempertaruhkan hidupnya lewat kata-kata yang diharapkan bisa menyelamatkan dirinya.
“Tolong jangan bunuh saya. Kasihani anak dan istri saya,” gumam Irene, mengucapkan kalimat yang sama dengan si mantan pejabat itu. Mudah ditebak. Sudah terbiasa. Ucapan-ucapan seperti itu sudah sangat membosankan baginya.
“Kau mengasihani keluargamu di saat terakhir seperti ini? Kekuatiran yang picik setelah dengan percaya dirinya membawa lari uang kami!”
Ahza tetaplah Ahza. Dinginnya sikap Irene jelas menurun darinya. Uang-uang yang dia dapatkan memang dianggap uang kotor. Tindakan yang dia lakukan memang dianggap pekerjaan yang kotor. Namun bagi seorang Ahza, dia hanya pembersih para kotor yang penuh pikiran picik dan tidak bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri.
Dunia pada hakikatnya tak sesederhana membagi kejahatan dan kebaikan. Tidak sesederhana itu. Kejahatan mempunyai peraturannya sendiri. Kerap kali mereka tersesat karena melakukan kebaikan. Sedangkan kebaikan, konon tidak punya aturan. Kerap kali dunia jadi mengangungkan kebaikan tanpa menyadari itu hanya sebuah kejahatan semu. Pembagian yang terkesan sederhana namun rumit itu yang melahirkan berbagai kepicikan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Ahza, memilih untuk mengatur tindakan mereka sendiri.
“Sungguh, bukan saya yang membawa lari uang kalian!”
Mantan pejabat itu terus membual. Sudah jelas anak buah Ahza menangkap basah dirinya melakukan sebuah transaksi dengan seseorang yang masih diselidiki Ahza perihal identitasnya. Irene masih menatap teduh ke arah si mantan pejabat yang penuh bualan basi seperti itu.
“Bagaimana kalau saya membantu mengambil uang itu kembali? Anak saya masuk kelas jenius di sekolah terkenal itu. Saya bisa mengembalikan uangnya dua kal-“
“PAM!!”
Irene membungkam ucapan mantan pejabat itu lewat tembakan mulus di pergelangan kakinya. Irene yang sedari tadi hanya duduk manis menikmati ketegangan yang terjadi, kini berjalan dengan santai setelah berhasil membuat pria tua itu meringis kesakitan.
“Tawaran yang menarik,” gumam Irene dengan senyum sinisnya.
“Lalu kenapa menembak saya kalau tawaran saya menarik?!” teriak pria tua itu.
Irene menunjuk bibir pria tua itu. Dia menegaskan bahwa bualannya yang membuat Irene menembak pergelangan kakinya. Terlebih, dia menyinggung sesuatu yang sensitif bagi Irene.
“Bagaimana bisa gadis cantik ini bisa menjadi mafia,” gumam pria tua itu, membuat Irene puas mendengarnya. Sepertinya dia memang tidak mengenal kegilaan kelompok Ahza, apalagi identitas Irene sebagai anak dan tangan kanan Ahza. Selalu ada kesenangan tersendiri ketika aura menakutkan yang menurun dari Ahza, diakui target mereka.
“Anda lebih baik mengganti uang yang hilang itu empat kali lipat!” tukas Irene, sedikit mengganti isi tawaran pria tua itu.
“Bukannya it-“
“Atau mati malam ini?” ancam Valron, yang kini dengan mantap mengarahkan pistol ke arah kepala pria tua itu.
Dengan putus asanya, pria tua itu mengangguk setuju. Ahza, Irene, maupun para anak buah Ahza lainnya tersenyum puas melihat betapa putus asa target mereka. Ahza segera mengisyaratkan anak buahnya untuk membawa keluar pria tua itu dari tempat pelenyapan mereka. Irene akhirnya bisa menyelasaikan waktu pelenyapan pertama di malam ini dengan sedikit lebih cepat. Dia memang masih punya satu orang lagi sebagai kesenangan klimaksnya hari ini.
“Irene memang putri andalan Ayah,” puji Ahza dengan senyum penuh kepuasan itu. Bukan sekedar mengajarkan dunianya pada Irene, namun Ahza sangat senang ketika Irene ikut dalam pelenyapan mereka. Putri es itu ahli dalam membuat tawaran. Dia sangat tidak suka dengan pembicaraan tak berujung, melainkan pembicaraan singkat yang menghasilkan hasil memuaskan untuknya maupun Ahza.
“Sudah seperti itu cara kerja orang jahat seperti kita, Ayah,” gumam Irene kemudian melihat ke arah Valron yang sekarang sudah siap untuk mengantarnya pada target berikut.
“Kalian akan pergi?” tanya Ahza saat dia juga sudah siap untuk beranjak dari tempat itu bersama mobil mewahnya.
Irene maupun Valron mengangguk, menjawab pertanyaan Ahza.
“Kalau begitu bersenang-senanglah. Besok, kalian harus selidiki isi berkas ini.”
Ahza memberikan sebuah map tebal. Bacaan baru bagi Irene lagi, pikir Valron. Rupanya akan ada target atau mungkin klien baru. Entahlah. Irene yang akan memutuskan apakah itu target atau klien. Ahza memang selalu percaya bahwa putri andalannya itu adalah sebuah permata berharga yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Dia bahkan sangat berguna dalam pekerjaan mereka.
Setelah Irene setuju dengan tugas baru dari Ahza, mafia sekaligus Ayahnya itu segera berlalu. Begitupun dengan Irene, yang kembali memusatkan kesenangan akhirnya pada target berikut. Target tidak terduga namun sangat menyenangkan untuk dilenyapkan.
***
Musik bervolume tinggi meramaikan seluruh area telinga Danrelle. Penglihatannya gelap, tertutup kain yang diikat dengan kencang di area matanya. Kaki dan tangan laki-laki itu dirantai. Dia tidak punya petunjuk apapun perihal keberadaannya saat ini atau siapa yang berani melakukan hal menyeramkan ini padanya.
“Sama sekali gak teriak. Benar-benar gila,” ujar Leesha, kagum dengan pertahanan diri Danrelle.
Setelah insiden yang menyinggung Irene, kepala sekolah misterius itu dibuat Irene pingsan. Untung Leesha dengan cekatan mematikan CCTV para pengawas di area tersebut. Irene secara mengejutkan membuat keputusan untuk menyandera Danrelle. Membawa Danrelle ke tempat rahasia Leesha memang menghabiskan banyak tenaga. Makanya Valron membantu Brilian dalam misi dadakan itu.
“Lo juga gila,” gumam Brizya melihat ke arah Leesha yang seperti tidak punya kesadaran diri tentang kegilaannya.
“Gue lebih gila dari Leesha,” celetuk Anna, dengan percaya dirinya.
Brizya jadi memutar kedua bola matanya, “Iya, iya. Cuma gue satu-satunya yang waras di sini.”
“Jadi gue juga gila maksud lo?” tanya Irene, akhirnya sampai juga di tempat itu. Valron memilih untuk menjaga pintu masuk ruangan itu. Bagaimanapun, dia masih menghargai privasi Irene.
“Hampir lumutan kita nungguin lo, Elsa.” Anna merewel.
“Mau diapain?” tanya Leesha, menunjuk Danrelle beserta kondisi gilanya saat ini.
Irene tersenyum simpul mendengar pertanyaan Leesha. Dia berjalan menuju Danrelle yang belum tahu apapun tentang nasibnya sekarang. Tanpa menanyakan apapun, Irene membuka headset yang sempat menutupi telinga Danrelle.
“Gila lo!” seru mereka bertiga, tidak percaya dengan apa baru dilakukan Irene.
“Ini maksudnya teori emang gak selalu membantu,” sindir Irene pada tiga teman barunya itu. Selama ini yang paling berpengalaman dalam dunia menyandera, membunuh, mengancam, dan kejahatan gila lainnya adalah Irene. Dia sudah begitu berpengalaman dalam memperdaya orang.
“Ya emang karena itu juga kita nunggu lo,” gumam Anna, mengakui ketidakberpengalaman mereka dalam membuat kesepakatan yang alurnya masih tak jelas.
“Jadi memang lo yang nyekap gue,” ujar Danrelle. Dia dapat mendengar dengan betul sekarang berkat tindakan Irene barusan. Dia juga bisa bicara setelah sekian lama, dengan begitu tenang.
Irene memang tidak mau berlama-lama mengikuti alur pembicaraan Danrelle. Kalau dia sudah buka mulut, sudah pasti hampir tujuh puluh lima persen berisikan bualan. Jadi Irene memilih untuk menodongkan pistolnya ke daerah jantung Danrelle berada. Meski penglihatannya masih ditutup, Danrelle seakan tahu bahwa sebuah pistol sedang ditodongkan. Lelaki itu tersenyum samar, terkesan berbeda dari senyum biasanya.
“Gue punya dua pertanyaan yang harus langsung lo jawab atau kepala sekolah misterius SMA Genies mungkin bisa mendapatkan momen kematian yang lebih misterius lagi,” tukas Irene, membuat Danrelle tersenyum lebar. Entah apa maksud senyumannya itu.
“Pertama, kenapa sekolah bodoh itu nyuruh seluruh murid jenius minum vitamin gak jelas?!” tanya Irene, tidak sabaran mendengar jawaban yang sepertinya tidak akan didapat begitu saja. Danrelle hanya menertawai pertanyaan Irene.
“Udah gue duga lo emang bukan salah satu dari kita,” ujar Danrelle, membuat mereka agak bingung dengan maksud ucapannya. Apa arti ‘kita’ dalam ucapan Danrelle barusan. Irene bahkan sudah dua kali mendengar kata itu.
“Bukan itu jawaban yang gue mau!” seru Irene, sangat tidak puas dengan respon Danrelle.
“Lo gak bakal dapet apapun dari gue. Entah apa misi lo, tapi kita lebih dari apa yang lo bayangkan.”
“Lo salah Danrelle. Gue udah dapet sesuatu dari lo. Entah apa juga maksud bualan lo, tapi gue gak jadi ngajuin pertanyaan kedua.”
“Apa maksud lo?!”
“PAM!!”
Irene merasa dirugikan kalau terus meladeni Danrelle. Alhasil, dia memutuskan untuk membunuh Danrelle. Dia memang sudah sangat siap, namun Leesha membuat tekadnya menjadi sia-sia. Peluru yang sudah siap menembus jantung Danrelle jadi melesat ke arah utara ruangan itu. Brizya dan Anna terkejut dengan tindakan Irene maupun sigapnya Leesha dalam menghentikan Irene. Hampir saja mereka akan menjadi saksi pembunuhan kepala sekolah GHS. Seperti mimpi buruk kalau hal itu terjadi. Brizya dengan cepat kembali menghalangi pendengaran Danrelle lewat headset itu. Dia tidak ingin Danrelle mengetahui identitas mereka secepat itu.
“Bukan gini maksud kita nungguin lo, Irene,” ketus Leesha, masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja dipikirkan Irene.
Irene yang masih tercengang dengan tindakan Leesha, malah membanting pistol yang sia-sia dibawanya ke tempat itu. Tatapan Irene jadi dua kali lebih sinis dari biasanya. Putri es itu memancarkan sisi brutalnya.