Gadis eksentrik terjaga semalaman. Dia bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan waktu tidur. Otaknya yang makin berfungsi dengan lebih baik rupanya akan pecah, melihat kebiasaan buruknya yang kerap terjaga setiap malamnya. Tidak heran di antara para Brilian, penampilan Leesha yang paling kacau. Seperti biasa, Leesha terjaga dengan komputernya. Dia tengah mencari informasi perihal seseorang dengan keahliannya dalam meretas, melacak, dan semacamnya.
Tapi dibandingkan tersenyum lega seperti yang biasa dia lakukan kerap hasil pencariannya ditemukan, kali ini dia malah membeku sesaat membaca informasi yang selama ini tidak ingin dia ketahui. Air matanya berjatuhan lagi. Dia bahkan memukul meja kerjanya dengan keras. Entah ada apa dengan emosi yang menghampiri gadis eksentrik itu.
Dengan cepat dia mengambil sebuah flashdisk kosong dan mengumpulkan seluruh data yang dia dapatkan pada satu file. Setelah itu dia menyimpannya di tempat yang sama dengan penyimpanan berlian misterius itu. Leesha kemudian berusaha untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Dia berusaha meyakinkan bahwa tidak ada gunanya untuk menyesal. Beberapa kali dia menarik-hembuskan napas, mencoba lebih rileks.
“Lees! Lo harus bantuin gue nyariin informasi,” pintah Anna yang tiba-tiba masuk ke ruang pribadinya itu. Gadis dengan segudang hobi itu terlihat memakai model pakaian yang berbeda jauh dengan model yang biasa dia kenakan.
“Ah, ini outfit-nya Irene. Ya kali gue membusuk dengan outfit yang sama selama tiga hari berturut-turut,” jelas Anna, merasa harus menjelaskan hal kecil tersebut pada Leesha.
Leesha hanya geleng-geleng kepala. Tapi sebenarnya dia bersyukur dengan kedatangan Anna. Dia jadi tidak perlu larut dalam pemikiran yang penuh dengan segala kemungkinan buruk, bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
“Apa yang harus gue cari?” tanya Leesha, akhirnya menyiapkan komputer andalannya lagi.
Anna akhirnya menunjukkan secarik kertas yang ternyata berisikan sebuah nama. Leesha jadi tercengang dengan nama yang tertera di situ.
“Feron Louis? Kenapa namanya gak asing yah?” gumam Leesha.
Anna memutar kedua bola matanya, “Dia sepupu gue. Kandidat kedua pewaris Yum Food, berkat dukungan tante gue yang liciknya gak ketolong.”
“Wah gue hampir lupa temen gue anak konglomerat,” ujar Leesha hampir melupakan fakta bahwa dalam Brilian terdapat dua anak konglomerat yang tidak bisa diremehkan.
“Capede,” seru Anna, membuat Leesha jadi menertawai ketidakfokusannya.
Baguslah. Setidaknya Leesha bisa tersenyum lagi. Kalau dipikir-pikir kepribadiannya memang cukup sederhana. Bahkan meski ada hal terburuk pun, dia bisa mencoba menjalani hari dengan menjadi lebih ceria.
“Jadi informasi apa yang harus gue cari?” tanya Leesha, kembali fokus untuk meladeni maksud kedatangan Anna di ruangan barunya itu.
Anna kemudian menunjukkan senyum jahilnya, “Semua yang belum gue tahu.”
***
Brizya memasukkan kembali ponsel pribadinya. Dia baru ingat bahwa ponsel khusus Brilian berada di kediaman Ahza. Entah dia harus apa sekarang. Dia bahkan menyusuri koridor GHS, berjalan menuju kelasnya dengan suasana hati yang tak menentu. Dia ingin mengetahui kabar terbaru Anna, namun tak ada satupun nomor para Brilian yang dia ingat. Melihat penjagaan pengawal suruhan Blare yang semakin ketat membuat Brizya semakin muak.
Brizya langsung menaruh tasnya begitu saja di meja, kemudian duduk dengan tenang. Dia tidak bisa membenamkan wajahnya saat teman-teman sekelasnya sedang menatap dia dengan bingung. Hari ini memang dimulai dengan cukup menyedihkan. Brizya jadi kesal sendiri.
“Briz,” panggil beberapa orang, membuat Brizya menoleh ke arah mereka. Rupanya itu kelompok dominan di kelas kecerdasan. Mereka juga yang paling rusuh di grup obrolan kelas. Kalau tidak salah, mereka beranggotakan enam orang yaitu Bianca, Ghina, Isabelle, Elang, Recky, dan Junior. Mereka terlihat seperti tiga pasangan yang kompak.
“Kenapa?” tanya Brizya seadanya. Suasana hatinya sedang tidak begitu baik, jadi maklum responnya bisa sedingin itu.
“Gabung bareng kita aja, mumpung Anna gak masuk sekolah hari ini,” ajak Ghina, diikuti dengan anggukan setuju dari yang lain.
Brizya sangat tidak bergairah untuk bergabung dengan siapapun. Kepribadiannya memang menyebalkan. Dia sangat membutuhkan teman tapi ketika ingin bergaul, dia menjadi begitu pemilih. Rasa nyaman atau mencoba nyaman tidak mudah menghampiri Brizya.
“Yaelah kebanyakan mikir. Ayo Briz,” ajak mereka lagi. Kali ini Bianca langsung menarik tangannya.
“Iya deh iya,” tutur Brizya, jadi menyerah dengan sikap mereka. Lagipula tidak ada salahnya bergaul dengan teman-teman sekelas. Mereka juga menyenangkan. Meski lagi-lagi tidak begitu nyaman bagi Brizya. Dia sudah terlalu lengket dengan Brilian. Padahal mereka juga baru memulai persahabatan sejak beberapa bulan yang lalu.
“Kenalin, gue Bianca. Bokap gue CEO di PlayTime Company.”
Brizya mengangguk mengerti. Ayahnya adalah salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan lokal terkenal yang membuat berbagai mainan ramah lingkungan namun berkualitas. Perusahaan itu lebih populer di kalangan anak kecil.
“Gue Ghina. Seragam yang dipakai murid-murid GHS desainnya dari nyokap gue.”
Brizya cukup kagum mendengar fakta tersebut. Ternyata desain seragam yang sebagus itu malah dibuat oleh orangtua teman sekelasnya.
“Isabelle. Pewaris Yayasan Odette. Kalau lo gak tahu, itu yayasan balet terbesar di Asia Tenggara yang menaungi berbagai pebalet terkenal.”
Brizya hanya berdecak kagum dalam hati. Pantasan saja lekuk tubuh Isabelle sangat indah. Pasti dia juga dididik menjadi balerina terbaik di masa depan nanti.
“Saya Elang. Ayah saya pemilik toko-toko buku terkenal yang tersebar luas di negara kita.”
“Gue Recky. Anak Rosaline Helys.”
“Maksud lo Rosaline si aktris senior yang terkenal itu?”
Brizya terkejut melihat Recky mengangguk mantap, menjawab pertanyaannya. Dari perkenalan dunia anak pemilik perusahaan dan yayasan terbesar, dia bahkan berkenalan dengan anak aktris terkenal. Ternyata rumor kelas kecerdasan yang dipenuhi oleh anak-anak dari keluarga berstatus ekonomi tinggi memang bukan rumor semata. Tidak heran cara mereka berperilaku cukup terdidik dan berkelas.
“Gue Junior. Pewaris Flip-Flop Company. Sistem keamanan GHS dirancang sama tim dari perusahaan kita.”
Kalau Blare tahu tentang fakta bahwa kelas kecerdasan dipenuhi dengan pewaris dari perusahaan-perusahaan besar dan terkenal dan anak-anak dari keluarga berkelas lainnya, pasti dia tidak akan begitu menyalahkan fakta bahwa Brizya diklaim bodoh. Bukannya dalam berbisnis, relasi yang berkualitas sangat diperlukan?
Apalagi mereka terlihat sangat rendah hati. Penampilan mereka terlihat biasa-biasa saja. Atau mungkin selera fashion mereka yang memang tidak begitu bagus. Tapi terlepas dari itu semua, Brizya jadi bersyukur dia bisa bergabung dengan mereka hari ini. Dia sampai melupakan kekesalannya.
“Ah, kalau gue Briz-“
“Brizya Michela Blare, anak dari pendiri B-fund, perusahaan keuangan yang udah mendunia. Bokap lo investor terbesar di berbagai perusahaan besar dan juga salah satu penulis buku terkenal di dunia ekonomi dan bisnis,” seru mereka panjang lebar dengan begitu kompak.
Brizya hanya tertawa canggung dan mengangguk setuju dengan penjelasan mereka. Mereka jadi ikut heboh dan terlihat sangat senang bisa membawa Brizya ke dalam lingkaran pertemanan mereka hari ini. Sedangkan radar mendeteksi keanehan mulai bekerja lagi di otak Brizya. Melihat antusias dadakan dari mereka membuat Brizya merasa aneh. Perasaan yang sangat tidak dia sukai ini suka sekali menghampiri dia.
“Lo pasti bingung kan kenapa kita manggil lo ke sini?” tebak Junior, ada benarnya.
“Jangan kelamaan, deh,” pintah Isabelle, terlihat tidak sabaran mengutarakan maksud ajakan mereka pada Brizya hari ini.
“Lo mau gak ngikutin kita hancurin tes perdana perekrutan Genies tahun ini?”
“Maksud kalian apaan?”
“Kita cuma perlu budget tambahan dari lo doang, Briz. Emang lo gak kesel kelas jenius diperlakuin kayak anak-anak berkelas padahal dari kaum rendahan semua.”
Brizya makin dibuat bingung dengan ucapan Isabelle. Pun dia makin bingung harus merespon mereka seperti apa. Perkenalan baru terjadi beberapa menit yang lalu dan mereka malah minta uang dari Brizya. Apa mereka tidak punya simpanan dan sebagainya? Brizya bahkan susah payah membantu kerja Blare di akhir minggu untuk mendapat uang tambahan, namun apa yang sedang mereka minta sebenarnya?
Kalau sudah seperti ini, satu-satunya yang harus dia tanyakan adalah Leesha. Meski dia masih kesal dengan ucapan lancangnya kemarin, namun kebingungan seperti ini hanya bisa diselesaikan oleh Leesha dan Brilian lainnya. Brizya kemudian tersenyum samar, menatap sekelompok anak orang kaya yang aneh itu. Sepertinya dia memang tidak bisa bergaul dengan orang-orang seperti mereka.
***
Irene menarik napas panjang dengan kasar. Dia melirik Anna yang kini tersenyum senang ke arahnya. Kalau tidak ingat atas perbuatan cerobohnya beberapa hari yang lalu, dia tidak mungkin menuruti permintaan Anna begitu saja.
“Elsa kok cemberut sih?” goda Anna, menyadari betapa menggemaskan ekspresi kesal yang ditunjukkan Irene saat ini.
“Janji temu gue sama Eltommy batal, gue bahkan gak ke sekolah hari ini, dan hell yeah, Anna! Kita harus nyari keberadaan Danrelle secepatnya,” gerutu Irene, sesuai fakta sebenarnya.
“Kita juga harus jalanin misi selanjutnya. Sementara itu lo juga harus dapetin barang yang disembunyiin Eltommy,” ujar Anna, sesaat setelah gadis dengan segudang hobi itu berhasil menghentikan mobilnya di depan gedung yang sudah tidak asing lagi.
“Barang apa maksud lo?” tanya Irene, penasaran dengan maksud ucapan Anna.
Bukannya menjawab, Anna malah sibuk mengambil tasnya dan memastikan riasan wajahnya sudah sempurna atau tidak. Dua Brilian itu memang sempat mampir di apartemen Anna, sebelum akhirnya sampai ke tempat yang kerap membuat Anna ingin mual karena dipenuhi orang-orang menjijikkan baginya.
“Tenang aja Elsa. Habis ini gue benar-benar bakal dapetin barang yang membosankan itu,” tutur Anna, masih saja dengan ucapannya yang ambigu. Apa maksudnya dengan barang yang membosankan?
Masih dipenuhi dengan tanya, Anna malah keluar dari mobilnya. Diikuti dengan Irene yang terpaksa harus keluar karena pintu mobil mewah itu dibuka oleh penjaga pintu utama gedung. Baiklah. Daripada dia hanya membuang waktu dengan mempertanyakan hal yang belum bisa didapatkan jawabannya sekarang, Irene jadi memilih untuk menjalani tugas dadakannya dulu. Tugas mana lagi kalau bukan mengawal pewaris utama perusahaan Yum Food, di hari pemilihan pewaris resmi yang selama ini ditunggu-tunggu oleh para manusia menjijikkan bagi Anna.
***
“Lo emang pinter banget nipu semua orang dengan ekspresi sok baik itu!”
Irene yang hampir dua jam lebih bertengger di depan pintu masuk sebuah ruangan, seketika kembali siaga saat Anna keluar dengan senyum jahilnya, diikuti dengan dua orang bermuka masam yang tidak menyukai keberadaan Anna di hidup mereka. Siapa lagi kalau bukan Feron, si adik sepupunya yang terlanjur serakah seperti Revenska, Ibunya.
Dilihat dari respon mereka yang sangat tidak senang dengan kehadiran Anna, sudah dipastikan bahwa rencana jahil Anna telah berhasil. Gadis dengan segudang hobi itu menghentikan langkahnya karena tangannya dicubit begitu saja oleh Revenska. Dengan sigap Irene akhirnya menepis tangan wanita tua itu. Irene heran sekali kenapa Anna tidak melawan. Apa ini yang dinamakan penipuan handal yang sering dilakukan Anna? Bertindak seperti dia adalah cucu yang bahkan tidak ingin memukul nyamuk? Kalau memang seperti itu faktanya, Irene kagum melihat betapa Anna dapat memainkan perannya dan membuat orang-orang serakah itu menjadi jengkel.
“Lepasin, lepasin saya!” pintah Revenska saking kesalnya dia tidak bisa terus menyerang Anna dengan bebas.
“Beraninya lo nyentuk nyok-“
“BUKK!”
Anna bahkan terkejut melihat pemandangan yang terkesan indah baginya. Irene baru saja membanting tubuh Feron dengan begitu enteng karena telah lancang menyentuh dirinya. Revenska jadi histeris dan berusaha menjambak rambut Irene, namun sayangnya tidak berhasil. Tangan wanita itu jadi diputar sampai memperdengarkan bunyi tulang tangannya. Anna jadi tidak berhenti berdecak kagum.
“Cukup, Ren. Gue gak mau mereka jadi makin menderita lagi. Apalagi penjara bakal menyambut mereka. Jangan buat mereka sakit,” tutur Anna, mendramatisir setiap perkataannya. Dia bahkan mengeluarkan air mata, membuat Irene bahkan tercengang dengan tingkah Anna. Benar-benar penipu yang handal.
Melihat para pimpinan perusahaan mulai keluar dari ruangan itu, akhirnya Anna bersegera pergi dari hadapan Ibu dan anak serakah itu. Sebelum berlalu dari hadapan mereka, Irene sempat-sempatnya melemparkan tatapan penuh intimidasi, membuat mereka jadi semakin kesal dan jengkel. Begitu pun dengan Anna. Dia baru mau berlalu kembali dari gedung itu dengan kacamata terbarunya, namun sosok yang sudah lama tidak dia temui menghalangi Anna.
“Papa!!” seru Anna dan langsung memeluk Alarik, Ayahnya.
Irene yang merasa canggung dengan situasi ini jadi memilih untuk diam dan tetap mengawal Anna dari belakang. Kalau dipikir-pikir, Irene terlihat seperti pengawal setia Anna. Dia bahkan jadi berinisiatif sendiri untuk melindungi Anna. Apalagi mengingat kecerobohannya malam itu, dia jadi tidak ingin Anna terluka lagi. Tindakannya sudah seperti Valron saja. Dia jadi penasaran apa yang sedang dilakukan pengawal setianya itu di kala mereka sedang tidak bersama.
“Apa kamu bisa luangin beberapa menit? Ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan,” tutur Alarik dengan penuh wibawa.
Anna jadi melirik Irene, berusaha menanyakan apa dia bisa menunggu mereka sebentar. Irene hanya mengangguk setuju. Mereka akhirnya memutuskan untuk menyantap makan siang di kafe di kantor. Irene duduk di tempat berbeda, ingin menghargai privasi Ayah dan anak itu. Dia hanya memesan minuman sembari mengecek ponselnya untuk menanyakan kabar Valron.
Di meja lainnya, ada Anna dan Alarik yang akhirnya dapat melepas rindu. Meski dia tidak melihat kehadiran Ibunya, yang sudah pasti sedang sibuk dengan memburu menu baru di Bangkok. Bagaimana pun, menyadari ketidakhadiran Alarik dalam rapat pemutusan tadi membuat Anna jadi menjelaskan panjang lebar perihal apa saja yang telah terjadi di sana.