Your Stupid Girls

Gracia Wee
Chapter #8

06 : Unexpected Guests of The Worthy Day

Kekacauan menyambut Eltommy malam ini. Skenario Irene bisa lebih berhasil lagi setelah Valron bisa mendengar apa yang akan diutarakan pejabat misterius itu. Dilihat dari raut wajahnya, Valron membuat kesimpulan sementara bahwa dia sangat tidak senang setelah mendengar penyebab kekacauan ini.

Beberapa tahun bekerja bersama Irene, tidak ada satu pun rencana Irene yang tidak mengejutkan. Si putri es selalu punya cara agar kemauannya dapat tercapai tanpa membuat kekacauan pada dirinya. Melihat Irene yang sangat serius untuk menghancurkan Genies, Valron semakin yakin kehancuran yang akan menimpa mereka tidak akan biasa-biasa saja. Setidaknya itu adalah hal mutlak yang Valron yakini sejauh ini.

“Ini ulah penyusup yang tidak bisa kalian tangani?” tanya Eltommy, terlihat tenang dengan pertanyaannya yang mengandung emosi.

“Situasi saat itu tidak bisa terkendali. Lagipula agak sulit mencari tahu siapa penyusupnya karena listrik di sini tidak berfungsi. Kami mohon maaf atas kekacauan ini,” tutur Valron senatural mungkin.

Eltommy menarik napas panjang. Dia terlihat emosi tapi entah kenapa Valron merasa bahwa pria itu tidak takut. Melihat bagaimana dia menyimpan barang mewah dengan cara yang tidak biasa, membuat Valron yakin bahwa Eltommy juga bukan pria yang mudah untuk ditangani. Artinya, Valron masih mengkhawatirkan keadaan Irene. Si putri es memang terlihat kuat dan memang kuat secara fisik. Tapi Valron bisa merasakan bagaimana putri es itu bertahan hidup dengan kepingan hati yang telah hancur berantakan. Menjadi pengawal setia Irene bukan semata kagum atau bayaran besar dari Ahza. Ada sesuatu yang lebih mewakili rasa tanggung jawabnya untuk terus melindungi putri es itu.

“Sudahlah. Lagipula hari ini akan menjadi hari terakhir kalian melindungi saya,” tutur Eltommy, tiba-tiba mengejutkan Valron.

“Apa karena kesalahan yang kami buat?” tebak Valron, membuat pejabat misterius itu tertawa.

“Pelaporan saya resmi ditolak. Buktinya memang belum kuat, tapi melihat kekacauan ini, api yang saya nyalakan sudah mulai membuat asap yang akan menyesakkan.”

Valron hanya diam, tidak menanggapi ucapan Eltommy yang penuh tanda tanya itu. Dia tidak ingin asal bicara kalau nantinya hanya akan mengacaukan rencana Irene dan Brilian lainnya. Lebih terlihat bodoh, lebih bagus lagi bagi keselamatan Irene.

“Kalau begitu saya harus mengabari bos saya. Permisi,” pamit Valron, memutuskan untuk segera beranjak dari ruang privasi Eltommy yang sejatinya kacau karena tangan nakal Irene.

Setelah membiarkan Valron pergi dari ruangannya, Eltommy seperti menarik napas lega. Sulit untuk membuat kesimpulan perihal apa yang sedang dipikirkan pria itu. Raut wajahnya seperti tidak sesuai dengan perasaannya kini. Lukisan-lukisan yang ada di ruangannya terlihat berbeda, menandakan barang yang ada di situ sudah tak ada.

Di ruangan yang berantakan itu, Eltommy mengeluarkan sebuah foto dari balik jas yang dikenakan. Sorot matanya memancarkan amarah. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Pria itu melihat potret dirinya dulu bersama seseorang yang sempat dia kagumi.

“Reuni akan segera dimulai, Agata.”

Air matanya bahkan sudah lenyap. Ada tujuan yang harus dicapai dan ada kekacauan yang akan lebih kacau lagi kalau tidak segera menemukan jalan keluarnya. Karena sudah tidak dapat dihindari, satu-satunya yang bisa dilakukan Eltommy hanyalah ikut memainkan permainan kotor ini. Permainan yang awalnya terkesan bodoh, namun nyatanya telah merenggut banyak nyawa dengan cara yang jenius.

***

“Maksud lo?”

Brizya heran mereka tidak mengerti maksud ucapannya. Dia menatap Anna dengan tatapan penuh harapan. Dia menarik tangan si gadis segudang hobi agar ikut berdiri di sampingnya.

“Dia yang bakal jadi jembatan pengembalian ingatan Irene,” seru Brizya, bersemangat.

Detik pertama, menit pertama, mereka terdiam mendengar seruan Brizya itu. Beberapa kemungkinan mulai dipikirkan Leesha, Irene, apalagi Anna. Sebenarnya Anna mulai mengerti apa yang sedang dipikirkan Brizya. Meskipun mengerti, Anna masih ragu. Bukan ragu dengan kemampuannya. Kalau soal itu, dia bahkan mendapat sertifikat khusus setelah mendapat pengajaran dari salah satu guru terbaiknya di Amerika dua tahun yang lalu. Hanya saja, Anna ragu akan satu hal.

“Gue bakal coba bantu lo dengan terapi hipnotis kayak usulan Brizya. Tapi semua tergantung sama Irene,” tutur Anna.

“Gue sih siap selama itu membantu misi kita,” kata Irene terlihat berani.

“Bukan soal siap gak siap. Tapi kesadaran lo,” celetuk Anna, makin ragu dengen kepercayaan diri si putri es.

Selain Anna, tidak ada yang begitu mengerti maksud ucapannya. Merasa tidak ada yang perlu diutarakan lagi, Brizya kembali ke tempat duduknya, diikuti Anna yang meninggalkan berbagai keheranan untuk Irene. Intinya, sebelum sesi terapi dimulai, Irene maupun Anna tak akan bisa menjawab keraguan dan keheranan masing-masing.

“Ya udah, mulai besok malam, Irene bakal diterapi sama Anna,” Leesha memberi keputusan akhir untuk pembahasan rekaman CCTV itu.

Sebelum benar-benar mengakhiri pertemuan mereka hari itu, Leesha membuat keputusan yang tak kalah penting. Apa lagi kalau bukan melanjutkan misi selanjutnya. Yang terpenting dari hari ini adalah jalan keluar yang telah didapatkan untuk memulihkan ingatan Irene. Adapun berlian yang berhasil didapatkan sebagai barang target, meskipun belum diketahui makna dari berlian misterius itu selain kemewahannya.

***

GHS sedang heboh dengan daftar para siswa yang lolos ke tahap seleksi kedua. Kira-kira, dari dua ratus lebih siswa jenius yang mengikuti tes, hanya tersisa seratus siswa. Benar-benar seratus siswa saja. Sepatutnya membuat para penghuni kelas kecerdasan bingung di mana letak kesalahan bagi mereka yang telah gugur. Melihat setiap murid jenius harus mengikuti seleksi seperti ini kerap mencengangkan murid kecerdasan. Bagi mereka fenomena ini semacam momen untuk mengadu domba saja.

Brizya dan Anna masih menatap berbagai nama yang terpajang di papan merek digital GHS itu. Mereka ikut tercengang dengan kehebohan konyol ini. Yang membedakan dua Brilian itu dengan murid kecerdasan lainnya adalah terkejutnya mereka dengan pemilik skor tertinggi di seleksi pertama. Bukan hanya perbedaan skor yang jauh dengan peringkat kedua dan seterusnya, tapi sosok yang menduduki peringkat itu menyebabkan mereka dua kali tidak percaya.

“Permen karet itu memang benar jenius. Saya menyukainya,” ujar seorang siswa dengan suara beratnya. Dia berdiri tepat di samping Brizya, sehingga si pendeteksi keanehan agak terkejut.

“Permen karet? Irene kenapa malah dipanggil permen karet?” gumam Brizya.

“Dia menaklukan salah satu yang paling angkuh dari mereka. Ah, saya tidak sopan membicarakan insiden tentang orang yang sudah mati, kan?” Siswa itu malah mengoceh.

Kehadiran siswa itu agak membuat Brizya merinding. Untunglah dia berlalu dari sampingnya setelah mungkin ocehannya tidak digubris Brizya. Sekolah aneh memang tidak aneh kalau memiliki banyak murid aneh. Brizya sudah tidak heran. Dia dan Anna bersegera pergi dari area informasi GHS. Lagian, hampir seratus persen yang memenuhi area itu hanyalah para murid kecerdasan. Padahal kehebohannya tentang murid jenius. Aneh, kan? Brizya lagi-lagi sudah tak mau terkejut. Apalagi Anna. Dia lebih terkejut dengan dunia yang selalu diciptakannya sendiri lewat berbagai hobi.

Di lain area, jelasnya taman tertutup tempat para siswa ingin bermeditasi di waktu istirahat, Irene menatap pohon apel yang subur itu. Meski fasilitas terbuka, Irene tidak mendapati ada yang berminat berada di area ini. Padahal ini tempat paling tenang dan indah secara bersamaan. Selain pohon apel yang berada di dalam rumah kaca itu, ada berbagai bunga dan gulungan matras yang rapi berjejer melingkari area pohon tersebut.

Pikiran Irene memang tidak begitu tenang. Bukannya selama ini pikirannya tidak kacau, tapi kali ini segala tanya di benak menumpuk lebih tinggi. Bisa meledak otaknya kalau terus memusatkan kekacauan itu. Satu-satunya yang dia percaya adalah ingatannya. Selama ini momen tidak penting bahkan sering diingatnya. Bertahun-tahun mata dan kecepatannya dalam mengingat selalu membanggakan dirinya sendiri, tak terkecuali Ahza. Meski sudah tahu apa yang harus dia lakukan untuk meluruskan kesalahpahaman dalam ingatannya, tetap saja Irene merasa situasi ini masih konyol. Masih tidak bisa dijelaskan dengan apapun.

“Apelnya jatuh lagi.”

Irene menoleh sejenak ke pemilik suara. Ternyata Andra. Dia duduk tepat di samping putri es. Andra tersenyum heran melihat sikap acuh Irene dengan kehadirannya. Sorot mata putri es tak pernah gagal membuat orang di sekitarnya bertanya-tanya. Tidak terlihat sinis, tapi tidak terlihat menyenangkan.

“Pohon ini katanya ditanam sama perancang mesin yang mengklaim kita jenius. Beliau milih apel sebagai simbol kejeniusan. Tahun ini paling beruntung buat murid-murid GHS kalau ngelihat pohon ini. Sejak pohon ini berhasil bertumbuh, baru kali ini berbuah banyak.”

Irene diam-diam menyeringai mendengarkan penjelasan acak yang tidak bisa dikatakan basa-basi karena mengandung informasi. Ya meskipun bukan informasi yang penting-penting amat sih.

“Meskipun gak ada satu pun murid yang pernah ngelihat apalagi bertemu pendiri GHS sekaligus perusahan Genies, tapi saya kagum dengan apapun yang telah dia buat selama ini. Para murid makin menghargai guru, para jenius tidak dipandang aneh apalagi dijauhi masyarakat berpikiran sempit, atau cara belajar yang makin efektif dengan pembagian kelas unik dan jarang dijalankan sekolah-sekolah di tempat lain. Pokoknya, Genies itu keren bagi saya.”

Sekarang Irene malah hampir ingin tertawa lepas mendengar pidato dadakan dari Andra. Dirinya yang sudah tahu soal kedudukan tak terduga itu saja tidak sedang heboh di tempat tenang seperti ini.

“Hmm, ngomong-ngomong, kamu kenapa gak nanggapin ucapan saya?” Andra ternyata sadar dengan respon dingin Irene.

“Ini tempat tenang. Setidaknya buat mulut,” tutur Irene kemudian menatap buah apel yang jatuh lagi tanpa ada pemungutnya. Irene masih mengamati dengan saksama, apel-apel yang sudah berada di bawah pohon kokoh itu. Mereka jatuh tanpa ada yang menantinya. Padahal sudah susah payah pohon itu berbuah. Sayangnya, dia berbuah di tempat sepi dan tak terlihat begitu jelas. Hanya segar di ingatan, redup menyimpan harapan.

Andra terkekeh mendengar respon singkat Irene. Gadis yang semakin dikenal dengan sebutan ‘permen karet’ di hampir seluruh kalangan murid GHS, ternyata tidak begitu mudah diajak bicara.

“Hmm, sebelum GHS sama sekolah-sekolah lain makai sistem Genies, kamu sekolah di mana? Say-“

“Jauhin gue.” Irene memotong ucapan Andra yang penuh semangat itu.

Si putri es berdiri dari posisi duduknya. Tanpa memedulikan senyum Andra yang mendadak pudar akibat ucapannya, Irene justru berjalan mendekati pohon apel itu. Matanya tertuju pada apel-apel yang telah jatuh. Andra yang memperhatikan apa yang akan dilakukan putri es, mendadak terkejut karena Irene mengeluarkan pisau lipat dari balik jaket kulitnya. Andra sudah mengerti hidup yang dijalani Irene agak menyeramkan setelah berkunjung ke rumah besar bersama banyaknya penjaga itu. Fakta bahwa Irene nekat membawa pisau di tempat itu yang membuat Andra terkejut.

“Kamu kenapa berani bawa pisau di sini?” tanya Andra yang ikut mendekati pohon apel itu.

Sebuah apel yang diambil Irene akhirnya dipenggal satu per satu. Irene memakan apel itu dengan santai. Rasanya manis dan lembut. Terlalu sempurna untuk buah tak terlihat itu. Beberapa menit Irene tidak menanggapi pertanyaan Andra. Si putri es hanya sibuk menikmati apel yang diambilnya.

“Apel, gue, sama lo,” tutur Irene tiba-tiba setelah membuang sisa apel begitu saja di bawah pohon. Tak lupa dia bersegera menyimpan pisau yang sempat digunakannya tadi.

Irene menatap Andra dengan ekspresi datar. Dia menatap sosok yang sering diagungkan para siswi GHS itu. Jarak di antara mereka sudah terlalu dekat, membuat Andra menahan napas sejenak.

“Bisa jadi tragedi. Jadi jauhin gue,” bisik Irene dan langsung berjalan menjauhi Andra.

Irene kembali meninggalkan Andra dan membuat laki-laki itu mematung akibat ucapannya. Kalau dipikir-pikir perbincangan mereka selalu berlangsung dan berakhir di sebuah taman. Beberapa kali Andra memikirkan letak tidak menyenangkannya, bertemu Irene selalu meninggalkan kesan tersendiri baginya. Irene terlalu menyenangkan.

Seiring dengan bel yang berbunyi di setiap sudut sekolah, Andra berlari kecil, mengejar si putri es yang berjalan santai sambil menikmati permen karetnya lagi. Irene tampak tidak puas dengan apel yang dimakannya. Di koridor yang semakin sepi karena masuknya para murid ke dalam kelas masing-masing, ada Andra yang kini berjalan berdampingan di samping Irene.

“Besok seleksi tahap kedua bakal diadain di tiap ruangan berbeda, tergantung peminatan yang dipilih. Kebetulan peminatan yang lo pilih sama kayak gue.”

Irene tidak menggubris ucapan Andra. Dia terlihat keras kepala, tapi anehnya Irene tidak punya tenaga untuk memarahi laki-laki itu. Mungkin efek pikirannya yang sudah penuh. Kalau ditambah dengan hal yang tidak begitu penting, bisa-bisa meledak otaknya.

“Oh iya, jangan lupa. Saingan di tim yang lo pilih cukup banyak. Danrelle juga bukan remehan sih.”

Irene menghentikan langkahnya. Mendadak salah satu penyumbang kacaunya pikiran putri es akhir-akhir ini malah disematkan dalam ucapan basa-basi Andra. Padahal dia baru selesai menenangkan sedikit kekacauan pikirannya di taman tadi.

“Lo kenapa?” tanya Andra, khawatir melihat Irene yang mematung seperti itu.

Irene dengan segala kemungkinan baru yang sedang dipikirkannya, melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan Andra. Dia berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Jelas saja Irene terkejut sampai-sampai sempat mematung. Danrelle yang hilang dan sulit didapati keberadaannya malah tiba-tiba ikut seleksi kedua untuk Genies. Artinya, di hari seleksi pertama, pengecut yang merepotkan Brilian akhir-akhir ini ternyata mengikuti seleksi pertama. Bagaimana bisa Irene tidak menyadari kehadiran Danrelle di hari itu? Si putri es kesal sekali sekarang. Ah, mungkin dia akan meledak dalam beberapa menit lagi. Iya, apalagi setelah mendapati wajah sok polos yang tengah duduk manis di bangku yang berada di samping Irene.

***

Suasana di sini sudah lebih tenang. Sehari sebelumnya, ruang guru menjadi begitu sibuk membahas apa yang akan mereka lakukan. Leesha menyimpulkan bahwa mereka sudah menutupi berita kematian Rujia tanpa membuat keributan di hadapan publik. Gadis eksentrik itu sempat kesal karena ternyata rapat guru yang diumumkan bukanlah rapat untuk seluruh guru. Mereka hanya mengadakan rapat untuk guru tetap GHS. Leesha yang hanya bisa menyamar sebagai guru honor merasa hampir tidak punya harapan lagi.

Untunglah, Leesha tetaplah Leesha yang punya berbagai akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan cekatan Leesha meretas salah satu kamera pengawas yang sudah lengkap dengan monitor suara yang ada di ruang rapat. Alhasil, meskipun dia terpaksa mengajar, dia tetap bisa menyimak apa saja yang mereka bahas di rapat kemarin. Mungkin salah satu penyebab dia tidak menyadari kehadiran Irene meski berpapasan dengannya juga karena fokusnya yang benar-benar teralihkan pada perbincangan mereka.

Walaupun begitu, Leesha tidak merasa rapat kemarin menyenangkan. Hampir semua yang dibahas kemarin sudah dapat ditebak Leesha. Mana mungkin juga mereka harus merusak agenda besar  untuk kematian seorang siswi yang menurut mereka tidak begitu penting untuk dijadikan sebuah pengalih perhatian. Mereka hanya akan disorot sebagai sekolah yang buruk. Bagaimanapun, Leesha sudah menyimpan rekaman yang diretasnya itu sebagai bukti baru betapa kejamnya mereka mengabaikan kematian seorang siswi begitu saja dan bahkan menyogok berbagai media yang ingin membahas berita kematian misterius tersebut.

Miss Leesha?”

Seseorang menghentikan lamunan Leesha. Diliriknya seorang wanita cantik lengkap dengan kacamata bergagang merah yang membuatnya terkesan penuh karisma. Leesha yang sempat senyam-senyum sendiri di meja kerjanya jadi tersentak dengan kehadiran wanita itu. Leesha seperti pernah melihatnya tapi tidak begitu yakin di mana dia pernah melihatnya.

“Anda dipanggil ke ruang kepala sekolah sekarang juga,” tutur wanita itu dengan ekspresi yang serius.

Sontak senyuman Leesha yang sempat menyambut kehadiran wanita itu jadi menghilang. Perasaannya tidak tenang. Jangankan Leesha. Beberapa guru yang duduk berdekatan dengan meja Leesha saja ikut berdeham gugup, seolah mereka sudah tahu alasan Leesha dipanggil ke ruang yang menyimpan berlian misterius itu.

“Sekarang?” Leesha berusaha meyakinkan bahwa dia mungkin saja hanya salah dengar.

“Iya, sekarang,” ujar wanita itu dengan tegas.

Leesha menarik napas dalam-dalam. Mengabaikan tatapan aneh dari para guru di sekelilingnya, gadis eksentrik itu akhirnya memilih untuk mengikuti wanita itu. Sepertinya Leesha tidak pernah mendapatkan informasi bahwa kepala sekolah memiliki sekretaris. Tapi, tunggu dulu.

“Kepala sekolah?” gumam Leesha, sepertinya baru menyadari sesuatu. Jalannya menjadi lambat karena gadis eksentrik itu mendadak memikirkan sesuatu dengan serius.

Belum selesai menyelaraskan kebingungan yang menimpanya, wanita yang belum diketahui jabatannya, menghentikan langkah. Rupanya mereka sudah sampai di ruangan paling jarang dikunjungi karyawan biasa ataupun guru. Leesha yang awalnya tidak begitu semangat untuk masuk ke dalam, kini memasang senyum samar. Mana mungkin juga dia bisa melewatkan kesempatan ini. Mangsanya datang sendiri setelah sempat kabur dari peredarannya. Saatnya gadis eksentrik mengurung mangsa yang berhasil lolos itu dengan tangannya sendiri.

“Selamat siang, Pak Danrelle,” sapa Leesha se-sopan mungkin.

Leesha sudah sangat percaya diri bahkan sebelum benar-benar melihat siapa yang sedang duduk manis menghadap jendela sembari mengelus salah satu miniatur karakter yang identik dengan lampu ajaib dan karpet terbang itu.

“Danrelle? Berani-beraninya Anda salah menyebut nama Profesor, Miss Leesha!” Wanita itu malah membentak Leesha. Hal itu memicu kebingungan lagi di benak si gadis eksentrik.

“Tak perlu membentak gadis muda ini, Sofia.”

Tidak. Suara yang dinanti Leesha bukanlah ini. Suara ini terdengar asing. Leesha begitu tercengang melihat sosok pria lain yang berada di kursi itu. Ah, apakah jabatan Danrelle telah disingkirkan? Leesha berusaha berpikir lebih jernih lagi. Dia tidak mungkin sedang bermimpi saja, kan?

“Kalau begitu saya permisi keluar, Profesor.”

Profesor? Leesha bisa makin gila kalau tidak bisa menjabarkan ketidaktahuannya akhir-akhir ini. Biasanya dia adalah sosok yang mempunyai banyak informasi ketika bertemu dengan orang. Tapi kali ini rasanya kebodohan Leesha begitu terlihat jelas ketika berdiri di hadapan sosok pria yang memiliki banyak kerutan, menandakan orang itu sudah tidak begitu muda, bahkan bisa dikatakan tua. Tampilannya begitu modis, bahkan rambut abu-abunya begitu rapi. Tubuhnya atletis. Dia tidak menggunakan kacamata, tapi aura yang lebih dari sekedar karismatik terpancar dengan begitu jelas.

“Ah, maafkan kelancangan saya,” tutur Leesha, sebisa mungkin untuk tetap sopan di hadapan orang asing yang masih tidak diketahui identitasnya. Si wanita misterius atau yang dipanggil Sofia itu bahkan memanggilnya Profesor. Tidak jelas sekali bagi Leesha. Dia hanya bisa mengikuti jalur, sejenak menanti apa maksud mereka sampai-sampai membawa dirinya ke tempat ini.

“Saya akan mempersingkat pertemuan ini,” tutur pria itu diikuti dengan beberapa berkas yang dia jabarkan di meja kerjanya.

“Berusia delapan belas tahun, surat dan berbagai sertifikat pendidikan lainnya tak ada satu pun yang benar. Terakhir,” pria itu menggantung ucapannya selagi menaruh selembar kertas yang tidak asing lagi di ingatan Leesha.

“Ternyata kamu salah satu dari anak yang diklaim bodoh sepuluh tahun yang lalu,” ujar pria itu dengan tatapan yang mengejek.

Apa yang baru saja dilihat Leesha membuat dirinya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia bahkan kehilangan amarahnya saking merasa kesal dengan kelancangan pria asing itu. Susah payah Leesha bersikap sopan meski sudah tahu tidak ada maksud baik di balik pertemuan ini. Nyatanya, Leesha hanya melakukan hal yang sia-sia saja.

“Saya masih bel-“

“Sayangnya hari ini adalah hari terakhir kamu bekerja. Kamu tak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila kamu melangkah masuk ke daerah Genies lagi,” tukas pria itu, terdengar sangat tegas meski ekspresi yang ditunjukkannya terlihat begitu tenang.

“Hal apa yang tak bisa saya bayangkan? Kehilangan masa depan? Ah, atau kematian? Bukannya akhir-akhir ini kalian sibuk merapikan kekacauan dari kematian siswi jenius seolah itu adalah kejahatan yang sempurna?”

Pria itu tertawa. Tawa kecilnya menunjukkan bahwa baginya ucapan Leesha barusan adalah sesuatu yang pantas untuk ditertawakan. Sedangkan Leesha sudah muak dengan situasi gila ini. Ini pertemuan pertamanya dengan pria itu namun kesannya sudah sangat buruk. Tidak heran juga sih. Semua yang berasal dari Genies, sudah pasti menyimpan sisi paling buruk mereka.

“Bodoh sekali. Kebodohan kamu memang sesuai dengan hasil yang didapatkan,” tutur pria itu, terdengar seperti ejekan bagi Leesha. Meskipun begitu, Leesha sudah sangat kebal mendengar ledekan remeh seperti yang dilontarkan si pria barusan.

“Sofia?” panggil pria itu di saat Leesha masih terdiam, malah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Wanita yang dipanggil Sofia segera masuk lagi ke ruangan itu. Dia dengan segera menyeret Leesha. Entah apakah tubuh Leesha yang lemah atau memang cengkraman wanita itu yang cukup kuat.

“Kamu bisa keluar dengan tenang untuk saat ini. Jangan bertindak berlebihan lagi atau tempat yang kamu benci ini akan membuat gadis bodoh seperti kamu beristirahat dengan sangat tidak tenang!”

Dalam sekejap Leesha diseret keluar. Tubuhnya dilempar tanpa ragu-ragu di depan ruangan. Bukannya langsung berdiri, Leesha malah melihat langit-langit di koridor itu. Tatapannya kosong, pikirannya sedang rusuh. Air mata menetes begitu saja dari kedua matanya. Lalu, gadis eksentrik itu tertawa. Gelak tawanya bahkan menggema ke seluruh koridor yang menghubungkan ruang guru dan area kelas kecerdasan. Untuk beberapa saat Leesha membiarkan dirinya seperti itu. Sedangkan dari arah yang tidak begitu jauh, sepasang mata misterius menatap kegilaan yang dilakukan Leesha. Samar-samar, mata itu menyipit, seperti baru tersenyum.

“Istana jin gila ini akhirnya bisa cepat runtuh.”

***

Miniatur itu kembali ke tempat semula. Pria itu tersenyum samar ketika wanita yang dipanggil Sofia kembali masuk ke dalam ruangannya. Sofia menunjukkan ekspresi datarnya lagi. Pria itu tahu betul apa yang akan dikatakan Sofia sekarang ini.

“Apa sebaiknya saya bunuh gadis pembohong itu malam ini?”

Pria itu tercengang. Dugaannya benar. Tidak heran juga karena Sofia sudah bekerja bersamanya selama lima belas tahun terakhir ini. Wanita muda yang pemberontak itu kian menjadi sosok wanita yang anggun namun sangat berbahaya dalam waktu bersamaan. Sisinya yang selalu tajam selalu berguna untuk pria itu.

“Jangan melakukan hal gegabah, Sofia. Saya hampir kewalahan dengan kecerobohan Amica bodoh itu,” ucap si pria sembari menutup matanya sesaat.

“Maafkan saya, Profesor. Saya tidak bermaksud melakukan tindakan yang tidak Anda sukai.” Sofia dengan cepat menyadari kelancangannya. Mungkin hari ini dia tidak boleh mengucapkan hal apapun yang bisa membuat suasana pria itu semakin memburuk.

“Tidak apa. Lagipula, saya baru menyingkirkan satu gadis bodoh hari ini. Masih ada tiga gadis bodoh lagi yang harus disingkirkan,” tutur pria itu tampak bersemangat di tengah kekesalannya.

Sofia mengerutkan dahinya, “Apa Profesor harus terlibat langsung dengan mereka? Sebaiknya mereka ditangani Madam Amica atau biarkan saya menangani ini tanpa harus membuat Profesor repot-repot datang ke sekolah.”

“Mereka bukan kumpulan gadis bodoh biasa. Bahkan salah satu dari mereka adalah kesalahan saya. Jadi ini bukan masalah biasa yang harus diselesaikan oleh Amica ceroboh itu.”

Sofia terdiam. Padahal dia masih ingin menanyakan maksud dari kesalahan yang baru diucapkan pria itu. Hanya saja, kalau dia masih melontarkan satu pertanyaan lagi, bos yang dihormatinya itu bisa-bisa akan murka. Bahkan yang paling berbahaya bukan dirinya namun perilaku tak terduga dari pria itu. Menemani segala hal gila yang dilakukan si pria membuat Sofia tidak berani untuk melawannya sama sekali. Dia sosok yang mustahil dilawan. Mengetahui empat gadis bodoh yang menjadi target dadakannya, membuat Sofia yakin satu hal. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk hidup dengan tenang lagi.

“Untuk hari ini, kamu hanya perlu menyingkirkan Amica. Dia pasti sangat percaya diri dengan jabatannya akhir-akhir ini.”

 Si pria akhirnya bergegas pergi dari ruangan paling jarang tersentuh itu. Dengan berbagai rencana gila yang ada di pikirannya saat ini, pria itu memutuskan untuk melanjutkan jadwalnya. Dia memang bukan sosok yang menikmati waktu luang. Meski masih bingung dengan apa yang harus dilakukannya untuk menyingkirkan gadis bodoh lainnya, Sofia berusaha untuk fokus pada tugas penting hari ini. Apalagi kalau bukan berurusan dengan wanita tua mengerikan. Setelah sekian lama, Sofia punya kesempatan untuk memusnahkan parasit itu.

***

Brizya mendapati tatapan penuh harap mereka lagi. Kelompok tiga pasangan itu sepertinya belum menyerah dengan tawaran mereka. Bahkan tinggal beberapa menit lagi jam belajar akan segera berakhir. Bayangkan saja seharian ini Brizya sudah mencoba mengabaikan tatapan mereka. Namun pada akhirnya, Brizya sendiri yang menjadi penasaran maksud mereka apa. Ya Brizya sudah tahu kalau mereka ingin mendapatkan ‘dana’ untuk misi mereka itu. Tapi apa alasan mendasar yang membuat mereka ingin mengacaukan agenda tahunan Genies itu? Apa mungkin mereka merasakan kekesalan seperti yang selama ini dirasakan Brilian? Bagaimana kalau tiga gadis di kelompok itu ternyata pengguna situs YSG juga?

Ah, tapi mana mungkin juga. Kalau soal situs itu, Brizya tahu persis tipikal para gadis yang masuk ke situs YSG. Melihat berbagai keluhan mereka, tidak mungkin mereka dari kalangan orang kaya. Kalau saja mungkin, sudah pasti mereka akan menghadiri undangan yang dikirim Leesha seperti yang dia lakukan bersama Irene dan Anna. Jadi apa yang mendasari mereka ingin merusak seleksi pertama yang sudah lewat itu? Brizya terus bertanya-tanya. Dia tidak bisa tenang sebelum mengetahui keanehan di balik misi yang mereka rencanakan itu.

“Briz?”

Belum ada jawaban. Brizya masih berenang dengan kacau di pikirannya. Sebentar lagi dia bisa tenggelam karena lelahnya pikiran.

“BRIZYA!!”

Kali ini berhasil. Teriakan Anna benar-benar manjur sehingga membuat Brizya menjerit kaget. Sesaat dirinya kembali ke kenyataan, kelompok tiga pasangan itu sudah berjejer di hadapannya. Kelas sudah kosong dan hanya ada enam orang itu beserta Anna yang masih duduk di sampingnya.

“Kalau kalian mau min-“

“Kita gak bakal minta itu lagi kok. Lagian udah gagal juga misi kita yang satu itu,” celetuk Ghina, memotong ucapan Brizya.

“Terus kalian mau apa lagi?” tanya Brizya, tidak bersemangat.

“Hmm, tadi itu lo lihat mukanya, gak? Terus dia ngomong apa sama lo?” Brizya tercengang mendengar pertanyaan Junior.

“Kalian lagi nanya apaan sebenarnya?” Anna ikut bingung dengan maksud pertanyaan mereka. Gadis segudang hobi itu yang memanggil mereka karena ikut menyadari tatapan aneh mereka. Bisa dikatakan, Anna ikut menyimak sekaligus penasaran sejak kapan Brizya berbicara dengan mereka, apa yang diminta mereka, dan misi apa yang dimaksud mereka.

“Perwakilan umum kelas kecerdasan,” gumam Bianca, sepertinya tidak ingin mengatakan dengan nyaring.

“Duh, gak jelas. Lanjutin di grup obrolan aja deh. Entar gue bikinin grup khusus buat bahas hal yang gelas itu,” kesal Anna.

Tidak ada satupun yang mengiyakan saran dari Anna. Malahan mereka makin menatap Brizya dengan penuh harap, seperti ingin menanyakan hal yang sama.

“Itu... Yang ngomong sama lo di area informasi tadi,” ucap Isabelle, dengan sorot mata yang aneh. Seolah mereka sedang memancarkan perasaan kagum dan takut secara bersamaan.

“Area informasi?” Anna tidak tahu sama sekali apa yang sedang mereka tanyakan. Sedangkan Brizya agaknya sudah mengerti maksud dari pertanyaan mereka. Setidaknya dia tahu jawaban untuk pertanyaan mereka.

“Permen karet itu memang benar jenius. Saya menyukainya,” tutur Brizya, mengulang ucapan yang didengarnya tadi.

Mereka hanya diam. Selama beberapa detik mulut mereka menganga dengan kompak, menandakan keterkejutan akan apa yang baru didengar.

“Ya udah, kalau gitu gue sama Anna pulang duluan,” pamit Brizya sembari mengisyaratkan Anna untuk ikut bergegas dari kelas.

“Gue gak nyangka perwakilan kita malah muji murid jenius.”

“Apa kali ini gak ada korban sama sekali?”

“Sebelum kita dapetin kesimpulan yang jelas, kita gak boleh sembarangan bicara. Apalagi di area sekolah ini.”

Lihat selengkapnya