“Kena kalian!”
Brizya dan Leesha dapat bernapas lega setelah berhasil menunda adegan yang bisa-bisa menjadikan mereka saksi kasus pembunuhan. Beberapa menit lalu mereka sudah sampai di kediaman target selanjutnya yaitu Madam Amica. Tidak ada informasi mendetil dari wanita tua itu selain jabatannya sebagai ketua penyidik yang bekerja untuk Genies. Setahu mereka, jabatan seperti itu selalu bekerja sama dengan badan hukum dan semacamnya.
Menempuh perjalanan selama tiga jam lebih dengan mobil milik Irene, empat gadis itu harusnya sudah masuk ke dalam rumah mewah yang tersembunyi dari balik banyaknya pohon pinus. Selain Leesha, mereka sudah siap dengan pakaian tempur dan tak lupa membawa masker ketika tiga gadis itu memasuki kediaman Amica nanti. Hanya saja, mereka mendapati penyusup lain yang ingin merebut target mereka malam ini. Makanya mereka ingin menghentikan aksi penyerangan yang terlihat jelas dari balik jendela itu. Terdengar banyaknya pecahan barang akibat perlawanan satu sama lain. Menyadari kekacauan tak jelas yang menyambut mereka, berinisiatif lah Anna untuk mengalihkan perhatian mereka dengan membuat tembakan mulus pada salah satu jendela di sana.
“Kalo gini.. Lo yang bakal jadi korban pembunuhan,” gumam Irene, semacam menakuti Anna namun memang membicarakan fakta yang kemungkinan bisa terjadi.
Leesha menertawai ucapan Irene, “Kan tameng Brilian udah di sini.”
Irene jadi menggelengkan kepala, tidak menyangka mereka akan mempercayakan keselamatan Brilian padanya malam ini. Irene semakin mengunyah keras-keras permen karetnya. Sorot matanya yang gelap semakin terpancar ketika memikirkan apa yang harus dilakukan tanpa membahayakan nyawa Anna, Leesha, dan Brizya.
“Kayaknya salah satu dari mereka udah kabur,” tebak Brizya, ternyata masih mengamati dengan saksama situasi yang sedang mereka hadapi.
“Kalo gitu lo sama Anna bisa ngambil barangnya, nanti Irene yang bakal mengalihkan perhatian si Madam Amica,” pintah Leesha.
Irene memutar bola matanya, merasa gemas dengan tingkah Leesha. Dia memang hanya berperan sebagai supir, juga mengawasi mereka lewat lensa mata khusus sebagai kamera pengintai dan earpiece sebagai alat komunikasi mereka selama menjalani misi malam ini. Tugas Leesha kebanyakan tidak melibatkan fisik, namun pikirannya dua kali lebih sibuk dari Brilian lainnya. Buktinya, Leesha kerap ragu dengan tindakan mereka sejauh ini. Dia hanya mendapatkan data tersembunyi dari komputer di ruangan kepala sekolah. Meskipun mendapati sebuah persembunyian berlian dengan sistem canggih namun aneh, Leesha merasa ada yang menjanggal dengan data itu. Apalagi setelah dia bertemu dengan sosok misterius seperti pria yang dipanggil Profesor. Mendengar kehadiran Danrelle yang katanya malah terlihat seperti orang lain saja sudah membuat Leesha makin merasakan kejanggalan dengan misi yang diputuskan. Lalu apa yang menjadikan misi yang dirancangnya sendiri terasa begitu janggal? Dia tidak salah membuat langkah, kan? Leesha mempertanyakan hal itu.
“Kalau ada apa-apa, lo bisa makai ini,” ujar Irene seraya melemparkan pistol andalannya pada Leesha. Meskipun hanya berdiam diri di mobil, Irene mau memastikan keselamatan Leesha tetap terjamin. Leesha hanya tersenyum sambil melemparkan tatapan ‘terima kasih’ atas perhatian si putri es.
Sementara itu, Anna dan Brizya sedang menunggu aba-aba dari Irene di dalam mobil untuk memulai pergerakan mereka. Singkat cerita, Anna sudah mengetahui maksud dari setiap kode di data tersebut. Meskipun jenis dan metode pemecahannya berbeda, semua kode hanya mengarah pada tempat di mana menjadi titik penyimpanan barang tersebut. Melihat pola penyimpanan yang sama, membuat mereka sudah yakin bahwa setidaknya benda membosankan itu disimpan dengan cara aneh lagi.
Adapun yang membuat Irene harus menjadi tameng Brilian malam ini bukan hanya insiden yang hampir melahirkan kasus pembunuhan, melainkan kelebihan dan kelemahan Madam Amica yang tidak diketahui. Yang jelas, wanita tua itu mungkin bukanlah target remehan, mengingat jabatannya yang tidak sembarangan pula.
“Wanita berkelas,” gumam Irene ketika pandangannya mengitari area lantai dasar rumah itu dengan santai. Interior rumah itu memang sangat mewah dan artistik. Irene kemudian berjalan menyusuri tangga yang akan membawanya ke tempat penyerangan tadi. Meskipun baru berakhir beberapa menit yang lalu, suasana tempat itu tergolong sangat sepi. Tapi tidak mungkin juga wanita tua itu kabur dengan cepat.
Langkah kaki si putri es benar-benar menggema acap kali kakinya menyentuh anak tangga baru. Rupanya Irene memang tidak takut sama sekali dengan apa yang akan dihadapinya. Sambil berjalan menuju lantai atas, mulut Irene tidak berhenti mengunyah permen karetnya, meniupkan balon pink pucat, dan memasukkan kembali ke dalam mulut sembari membuat bunyi letusan di dalamnya. Setelah itu, dengan santainya dia memakai masker yang dibawanya tadi dengan sempurna. Saking santainya dia, sebuah kuas mematikan itu bahkan ditangkap putri es dengan santai. Dia bahkan menyeringai dari balik maskernya.
“Senjata yang indah,” puji Irene saat dia akhirnya berhadapan langsung dengan sosok yang disebut Madam Amica. Wanita tua itu masih memegang senjatanya. Gaun biru langit dengan desain yang rumit dan anggun miliknya sudah nampak kusut. Terdapat percikan darah di ujung-ujung gaunnya.
“Terima kasih sudah datang di rumah yang sepi ini, meskipun sudah mengusir penyerang bodoh itu,” tutur Amica dengan sopan, mesk terdengar cukup menyindir. Ucapan dan cara bicaranya membuat Irene maupun Leesha dan lainnya menjadi bingung. Apa mungkin terjadi kesalahpahaman di sini? Bagaimanapun, melihat situasi ini, Leesha langsung menyuruh Brizya dan Anna untuk melakukan tugas mereka se-segera mungkin.
“Saya cuma gak mau mengadakan pertemuan dengan mayat baru,” sindir Irene, dengan tak kalah sinisnya. Dia bahkan tidak berbicara dengan nada yang terdengar sopan. Meskipun begitu, dia menikmati kesalahpahaman ini.
“Good job, Ren,” puji Leesha, dengan seruan penuh semangat. Gadis eksentrik itu mengawasi tiga temannya dengan tak kalah santainya dari Irene. Dia bahkan sudah menyiapkan berbagai macam snack untuk dinikmati. Bukan terlihat seperti pengintai, Leesha sudah seperti sedang menonton film laga di dalam mobil. Ada-ada saja.
Amica tertawa keras mendengar sindiran Irene. Dia kemudian melepaskan senjatanya dan mengisyaratkan Irene untuk ikut duduk di salah satu sofa yang ada di situ. Keadaan ruangan memang benar-benar kacau. Apalagi karena banyaknya pecahan kaca berkat ulah Anna tadi.
“Sayang sekali kalau begitu. Padahal Anda bisa melihat kematian Sofia sebagai bukti bahwa saya serius dengan tawaran Anda waktu itu,” sesal Amica dengan senyum sinisnya. Dilihat dari gerak-gerik bola matanya, Irene tahu pasti bahwa wanita tua itu tengah membayangkan hal yang seharusnya telah dia lakukan.
“Sofia?”
Dibandingkan dengan Irene yang masih menikmati penyamaran dadakannya, Leesha malah terkejut ketika Amica menyematkan nama Sofia dalam perbincangan mereka. Sosok yang mendampingi pria misterius itu ternyata tidak berhubungan baik dengan Amica. Ini sebuah garis penghubung baru yang benar-benar berguna sekaligus membuat Leesha makin penasaran.
Irene memilih untuk tertawa canggung dan memamerkan lengkung cantik dari matanya, “Saya tidak perlu bukti remehan seperti itu. Bukannya saya harus melihat hasil dari kerjasama kita berjalan sesuai rencana dulu?”
Leesha kagum lagi dengan cara Irene membawa percakapan yang penuh kesalahpahaman ini. Seolah-olah si putri es mengerti topik apa yang sedang mereka perbincangkan. Entah Irene memang terlalu handal dalam mengalihkan perhatian, entah Amica yang mungkin terlalu bodoh untuk menyadari bahwa Irene bukanlah orang yang sedang dipikirkannya. Leesha sungguh heran dengan situasi yang agak konyol ini.
“Aneh, Lees. Kita gak nemuin barang membosankan itu. Apa mungkin barangnya bukan berlian lagi, yah?”
Benar juga. Ini bukan saatnya untuk kagum saja dengan kehandalan Irene dalam menangani Amica. Kehandalannya bisa sia-sia kalau Brizya dan Anna tidak menemukan apapun. Bisa-bisa, Irene hanya akan membunuh orang di istana terpencil ini. Leesha harus fokus dulu dengan dua putri konglomerat itu. Mengingat dia mengenal Sofia meski dalam hubungan yang tidak baik, Leesha yakin bahwa di balik istana itu pasti telah disembunyikan barang target yang semestinya ada.
***
Jari-jemari Valron sibuk memijat area dahinya. Sebelumnya dia menerima panggilan dari informannya perihal kode yang dikirimkan Irene kemarin. Dilihat dari ekspresi yang dipancarkannya saat ini, laki-laki itu sedang sangat kebingungan dan terkejut. Dia tak tahu harus menjelaskan apa yang baru dia dapatkan kepada Irene. Dia bahkan tak tahu apakah dia harus senang atau malah merasa terkhianati kalau dugaannya mungkin benar terjadi.
Akan tetapi, Valron tidak bisa memikirkan kebingungannya dengan bebas. Melihat munculnya Ahza di pintu gerbang kuburan itu, menandakan dia harus segera membukakan pintu mobil dengan segera. Suara petir menyambut kembalinya Ahza di dalam mobil. Dengan segera Valron ikut masuk.
Malam ini dia harus menemani Ahza untuk menjenguk mendiang istrinya. Ini sudah seperti tugas rutin setiap tahunnya sejak dia resmi bekerja dengan Ahza tujuh tahun yang lalu . Valron juga sudah tahu bahwa malam ini dia tidak boleh menemani Irene menjalani misinya. Itu perintah dari Irene sendiri. Jadi dia tidak bisa membantah secara langsung. Sebagai gantinya, Leesha dipintah Valron untuk menghubunginya andaikan Irene dan Brilian lainnya terjebak dalam bahaya.
“Hujan mengantar saya pergi dari tempatnya lagi,” tutur Ahza sembari melihat hujan deras yang akhirnya turun dengan bunyi rusuh dari guntur.
Valron yang sedang sibuk menyetir hanya bisa tersenyum samar. Setelah bertahun-tahun bekerja untuk Ahza dan Irene, dia sadar bahwa mafia menakutkan itu masih tidak bisa merelakan kepergian wanita kesayangannya. Sisi sentimental Ahza selalu terlihat ketika hari peringatan kematian istrinya tiba.
“Ngomong-ngomong, ke mana sebenarnya Irene bersama tiga teman barunya itu?” tanya Ahza, membuat Valron agak bingung harus menjawab apa. Lagipula, selama Irene bergabung dengan Leesha dan lainnya, putri es itu tidak pernah membahas apapun tentang mereka pada Ahza. Valron jadi bertanya-tanya seberapa banyak yang dia ketahui tentang Irene belakangan ini.
“Ternyata Anda juga tahu tentang mereka,” gumam Valron, malah lupa menjawab pertanyaan Ahza.
Ahza menyeringai, “Ruang kosong di dekat kamarnya sedang dipakai salah satu teman baru Irene. Belum lagi dengan dua gadis lainnya. Akhir-akhir ini Irene juga tidak hadir ketika ada sesi pelenyapan. Tidak biasanya dia begitu.”
“Putri andalan Anda sudah semakin pandai mencari teman, Tuan,” gurau Valron, alhasil membuat Ahza terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.
Sedang menikmati candaan singkat di antara bos dan anak buah andalan, mobil yang melaju cepat di tengah hujan deras itu mendadak berhenti. Valron hampir menabrak mobil yang ingin menghalangi mereka. Kalau dia tidak handal dalam mengendarai atau fokusnya hilang sedikit saja, mereka bisa mengalami kecelakaan besar malam ini. Meskipun begitu, Ahza tidak begitu terkejut ketika ada mobil yang tiba-tiba menghalangi atau ingin mencelakai dirinya ketika dalam sebuah perjalanan. Sudah jelas pekerjaannya berbahaya karena kerap berhubungan dengan orang-orang tidak waras. Dia maupun Valron selalu siaga dengan membawa pistol maupun kotak obat di mobil. Dengan begitu, kali ini mereka juga akan keluar dari mobil sambil membawa pistol masing-masing.
“Maaf harus merepotkan Anda,” ucap Valron, menatap Ahza sebelum mereka benar-benar memutuskan keluar dari mobil tanpa menggunakan payung. Ahza hanya tersenyum samar, seperti mengatakan bahwa dirinya tak apa harus berhadapan dengan musuh di hari seperti ini, bahkan tanpa banyaknya anak buah.
Sosok yang menghalangi mereka dari balik mobil mewah itu akhirnya keluar. Sebuah payung berwarna hitam terbuka lebar saat sosok dengan kaki polos tanpa alas kaki perlahan berjalan mendekati mereka. Valron dan Ahza masih tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang mendekati mereka akibat derasnya hujan. Lalu, bersamaan dengan kilatan petir yang kembali menampak di langit, pistol yang tadinya dipegang Ahza dengan erat, jatuh begitu saja. Ahza hampir tidak percaya akan sosok yang muncul di hadapannya tanpa senyuman.
Begitu pula dengan Valron. Padahal dia baru mau mencari tahu perihal kebenaran yang dia dapatkan dari informannya. Namun melihat seorang wanita anggun meski tanpa dengan rambut panjangnya yang masih sama seperti dulu, membuat Valron ikut terkejut dengan situasi gila ini. Sedemikian rupa Ahza mencoba memahami situasi yang sedang terjadi ini, namun yang dilakukan Ahza adalah memeluk erat wanita anggun itu.
“Saya butuh bantuan kamu, Ahza.”
***
“Gak ada apapun, Lees.”
Leesha berdecak sebal. Sampai berbagai snack yang dibawanya tadi sudah habis tak tersisa. Dia menjadi cemas dan berujung tergesa-gesa, mengingat Irene yang mulai kehabisan kata-kata menghadapi mulut Amica yang ternyata cerewet itu. Untungnya Amica masih tidak mencurigai Irene sama sekali.
“Aduh, pokoknya lima belas menit lagi kalian harus nemuin apapun deh selain berlian. Apapun yang berfaedah biar gak sia-sia kita ke sini,” desak Leesha.
Leesha tidak mendengar balasan apapun lagi dari kedua putri konglomerat itu. Terlihat dari monitor Leesha bahwa mereka memulai pencarian lagi dengan serapi dan setenang mungkin agar tidak menimbulkan keributan apapun. Leesha menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap waras di situasi ini. Rasanya dia tidak bisa diam saja. Mana mungkin tidak ada barang apapun yang mencurigakan di tempat itu, kan? Kalau seluruh bagian rumah itu sudah digeledah namun tak ada apapun yang mencurigakan, satu-satunya harapan adalah titik di mana Irene berada saat ini. Leesha selangkah lebih dekat untuk mengakhiri misi malam ini tanpa tangan kosong.
Di samping itu, ada Irene yang makin terlihat konyol karena harus mendengarkan segala basa-basi Amica. Dia hampir tertidur mendengarkan penjelasan Amica soal lukisan dan semacamnya. Salah dia juga sempat-sempatnya membahas sesuatu yang Amica sukai tanpa berpikir dulu. Amica yang hampir membunuh orang malam ini, perlahan berubah menjadi wanita tua biasa yang berkelas dan cerewet secara bersamaan.
“Ren, selagi Bri sama Anna mastiin barang target di seluruh area bawah rumah ini, ada baiknya lo bisa ngecek di ruangan itu. Sekarang area itu satu-satunya harapan kita bisa dapetin barang target!”
“Haish!”
Irene ingin mengamuk sekarang. Rasanya si putri es mau protes dengan perintah tiba-tiba dari Leesha. Padahal dia ditugaskan untuk mengalihkan perhatian Amica saja. Lalu kini, dia malah harus mencari barang membosankan itu sekaligus. Benar-benar ingin cari masalah dengan Irene namanya. Bagaimanapun, dia harus mencari cara untuk mendapatkan barang target yang dimaksud.