Your Stupid Girls

Gracia Wee
Chapter #10

08 : White Lies

Area Umum Genies High School.

Satu Tahun Yang Lalu.

Leesha menenteng ranselnya dengan wajah suram. Dikiranya hari ini akan menjadi hari bersejarah di mana dirinya akan benar-benar menjadi murid jenius yang diakui Genies. Sedangkan dia malah menerima kenyataan bahwa hal tersebut mustahil tanpa melibatkan sertifikat resmi dari pihak Genies. Padahal Leesha sudah berusaha untuk memenuhi standar kejeniusan yang mereka mau. Dia telah belajar dengan begitu giat dan itu bukan sekedar pembelaan diri saja. Dia benar-benar telah berjuang untuk mempelajari apapun yang bisa menampung sebanyak mungkin pengetahuan akan dunia ini.

Dilihatnya sorakan penuh keceriaan dari berbagai remaja di area umum GHS. Sudah dapat dipastikan mereka lolos dengan mudah berkat klaim jenius mereka. Kedua kaki Leesha terasa lemas, namun dia sudah tidak tahan berada di tengah kebahagiaan para murid baru itu. Seakan dia hanya segumpal awan hitam yang merusak pemandangan langit cerah.

“Apa dia gak diterima? Raut wajahnya aja bahkan terkesan bodoh.”

“Dia bukan sekedar bodoh, dia pasti tulalit. Mana ada anak-anak ber-klaim bodoh berani menghadiri pengunguman untuk para jenius.”

“Anak itu bahkan terlihat bukan dari keluarga kaya. Terima kasih Tuhan, telah memberikan saya anak jenius di tengah sulitnya mencari nafkah.”

“Mulai sekarang masa depan kamu cerah. Hidup jadi terasa adil kalau seperti ini.”

Dan masih banyak lagi berbagai omongan yang terasa kosong bagi Leesha. Bahkan sampai raganya benar-benar keluar dari area GHS, dia masih bisa mendengarkan berbagai pujian sekaligus hinaan yang sangat menyindir kebodohannya hari ini. Dengan segera Leesha membawa dirinya jauh-jauh dari tempat menyesakkan itu.

Leesha mengecek waktu lewat layar ponselnya. Masih ada dua belas jam lagi sampai hari menyebalkannya berakhir. Mencoba untuk menenangkan diri, Leesha memutuskan untuk pergi ke toserba yang jaraknya cukup jauh dari GHS. Bisa dibilang gadis eksentrik itu berjalan kaki sejauh beberapa kilometer di tengah teriknya matahari. Pikirannya sedemikian rupa dikosongkan dari apapun. Setelah sampai ke toko kecil tersebut, Leesha mencari sesuatu yang bisa menyejukkan hati. Dia melirik berbagai macam minuman dingin. Lalu matanya tertuju akan minuman paling menyenangkan bagi orang dewasa itu.

“Konon katanya, alkohol murahan gak pantas buat masa depan berharga para remaja.”

Leesha menoleh ke sampingnya ketika suara lembut seorang wanita terdengar jelas di telinganya. Wanita yang hanya memakai gaun merah polos itu menyodorkan sebotol kopi instan dingin untuknya. Dengan senyum simpul dan tatapan mata yang hangat, dia tampak memastikan agar Leesha mengambil minuman pilihannya. Merasa tidak ingin berdebat di hari menyebalkan seperti ini, Leesha memilih untuk mengambil kopi instan tersebut tanpa berbicara apapun. Dia bergegas membayar kopinya dan duduk sejenak di salah satu kursi yang tersedia di depan toko.

“Teman untuk kopi kamu.”

Wanita itu menyodorkan salah satu snack yang sejujurnya tidak pernah dimakan Leesha meski dia ingin. Selama ini dia percaya bahwa segala makanan ringan hanya akan mengganggu kesehatan otaknya. Dia bahkan selalu berusaha untuk mengonsumsi makanan yang layak di tengah waktu belajarnya. Lantas, melihat segala usahanya berakhir sia-sia, tanpa bertanya lagi, Leesha mengambil snack tersebut dan langsung menikmatinya.

“Tante ngapain ikutin saya ke sini?” tanya Leesha, akhirnya bersuara sembari serius mengunyah snack.

“Saya juga butuh kopi dan snack untuk menenangkan emosi,” seru wanita itu lalu menyesap kopi dingin miliknya.

“Ternyata tante juga lagi kesel,” Leesha menyimpulkan.

“Ya begitulah. Genies benar-benar membuat saya muak,” gumam wanita itu dengan santai. Ucapan santai tersebut cukup menarik perhatian Leesha. Pasalnya, dia mempunyai subjek kekesalan yang sama dengan wanita itu.

“Tante gagal melamar di perusahaan itu? Hmm, atau tante mau jadi murid di sekolah itu?” Leesha sepertinya melontarkan pertanyaan yang konyol sampai membuat wanita itu tertawa lepas. Jadinya, gadis eksentrik itu ikut cengengesan menyadari kekonyolan yang terjadi.

“Uwah, senyum kamu ternyata cantik banget!” seru wanita itu di sela-sela tawanya. Leesha jadi tersipu malu mendengarnya.

Tanpa disadari, kekesalan Leesha berangsur mereda. Perasaannya jadi lebih lega ketika bertemu dengan sosok tak terduga. Mungkin karena dirinya tumbuh tanpa seorang Ibu, Leesha merasakan perasaan hangat dan nyaman ketika bersama wanita yang bisa jadi seumuran dengan Ayahnya. Padahal ini pertama kalinya mereka bertemu satu sama lain. Leesha bahkan belum memberitahukan namanya, begitu juga dengan wanita itu. Seolah, Leesha dibuat percaya bahwa ada saja malaikat penghibur di hari buruk seperti ini.

“Ngomong-ngomong, saya Agata. Ketua ilmuwan di Genies,” ujar wanita itu, lantas bernama Agata.

Sayang sekali. Terlalu mudah kekesalan Leesha hilang, terlalu mudah juga kekesalannya kembali. Mendengar perkenalan diri dadakan dari Agata, senyum Leesha memudar. Dia bahkan mencoba untuk bergegas pergi dari hadapan Agata tanpa membalas perkenalan diri wanita itu.

“Jangan kesal. Saya juga benci mereka,” gumam Agata, berhasil menghentikan niat Leesha untuk pergi. Dia bahkan kembali duduk dengan perasaan yang campur aduk. Sejak kapan juga Leesha menjadi mudah percaya dengan orang asing? Bagaimanapun, ucapan Agata tidak terdengar seperti kebohongan semata.Mungkin akan aneh untuk mengakui, tapi Leesha tahu betul bagaimana sorot mata seseorang saat mengutarakan hal yang dibenci.

“Kenapa tante repot-repot membenci rumah sendiri? Bukannya jadi bagian Genies udah jadi impian banyak orang belakangan ini?” tanya Leesha dengan polosnya.

“Hmm, saya bingung harus bersyukur atau menyukai kebencian yang tengah menguasai diri saya selama ini. Kurang lebih seperti itu,” jelas Agata, mencoba memberitahukan setitik dari keluh kesahnya selama ini.

Leesha terdiam sejenak, mencoba menenangkan kekesalan yang sempat kembali itu. Dia semacam merasa bersalah telah berprasangka buruk pada malaikat penghiburnya. Semestinya dia juga harus bersyukur. Karena kalau tanpa kehadiran Agata, dia pasti sudah terlihat lebih menyedihkan karena membuat keributan akibat alkohol, dan mungkin bisa berakhir di kantor polisi dengan sangat konyol.

“Maafin sikap saya barusan. Jujur, hari ini saya sangat membenci apapun yang berhubungan dengan Genies. Tapi khusus untuk tante, saya gak bisa lama-lama kesel,” celetuk Leesha, membuat Agata tersenyum manis mendengarnya.

“Kayaknya suasana hati kamu emang lebih rusuh dari saya, ya?” duga Agata, setelah itu meneguk kopi miliknya yang masih tersisa.

“Impian saya yang rasanya berat ternyata runtuh hari ini. Saya gak nyangka harus benar-benar nyerah sekarang,” seru Leesha.

“Katanya gak mudah jadi orang dewasa, tapi gak lucu juga jalanin kehidupan di masa remaja yang penuh kesialan gini. Saya bingung harus ngapain sekarang. Benar-benar bingung,” keluh Leesha dengan perasaan kalutnya. Sedari tadi, lehernya terasa sesak oleh sebab menahan tangis. Mungkin karena perangainya yang ceria, dia masih sedemikian rupa berusaha untuk mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

“Masih terlalu dini untuk menyerah. Barangkali impian kamu bukan runtuh. Bisa jadi impian kamu baru dimulai sekarang,” tutur Agata, membuat Leesha tidak bisa menyimpulkan apakah itu adalah sebuah hiburan atau nasihat.

“Maksud tante apaan?” tanya Leesha.

Agata tersenyum samar melihat kebingungan Leesha. Semestinya dia mempercepat pertemuan pertama ini. Waktunya untuk berada di lingkungan luar tidak begitu banyak. Hanya saja, bergurau sejenak dengan Leesha membuat Agata ikut merasa terhibur. Pun dia cukup yakin bahwa sosok gadis eksentrik yang dibicarakan seseorang itu memang bisa diandalkan. Tanpa basa-basi lagi, dirinya menyodorkan secarik kertas yang sudah menuliskan sebuah alamat lengkap. Ketika menerima kertas itu, kening Leesha mengerut, bertanya-tanya mengapa Agata memberikan sebuah alamat padanya.

“Sebenarnya pertemuan ini sudah saya rencanakan. Kamu salah satu kandidat utama yang bisa membantu saya meruntuhkan impian banyak orang akhir-akhir ini,” tukas Agata akhirnya bisa mencampaikan maksud kedatangannya.

Sekalipun masih tidak terima karena dirinya malah terkesan dibodohi, Leesha tampak tidak bisa menolak tawaran Agata. Sepertinya, dia memang tidak bisa merelakan keruntuhan impiannya begitu saja. Walaupun masih dipertanyakan alasan yang melatarbelakangi niat Agata untuk menghancurkan Genies, Leesha mencoba untuk melihat tujuan akhirnya saja. Dengan keyakinan seperti itu, si gadis eksentrik benar-benar mengikuti alur yang diatur Agata. Ya meskipun, pada akhirnya, dia cukup ceroboh membiarkan dirinya benar-benar tenggelam dalam alur abstrak yang dirancang Agata selama ini.

***

Saat Ini, Kediaman Ahza.

“Apa saya harus memperkenalkan diri lagi, Leesha?” tanya si wanita yang masih tidak diketahui identitasnya itu.

Leesha bersegera menutup pintu dan berdiri di hadapan wanita misterius yang masih duduk dengan santai. Dia bahkan tidak berhenti memamerkan senyumnya untuk Leesha.

“Saya cuma perlu tahu Anda itu siapa dan punya urusan apa dengan saya?” tanya Leesha dengan tegas. Lagipula, aneh sekali mendapati wanita misterius yang bisa-bisanya masuk ke kediaman Ahza dengan santai. Apa mungkin wanita ini adalah kenalan Irene? Tapi kelihatannya bukan. Dia memang kelihatan ingin bertemu dengan Leesha saja.

“Ah, apa mungkin Anda salah satu pengguna situs saya?” tebak Leesha, kalau-kalau itu mungkin.

Wanita itu tertawa, “Kamu masih punya sisi naif ternyata. Lucu sekali.”

Sepertinya tebakan Leesha keliru. Dia jadi menyesal sendiri telah melontarkan pertanyaan konyol untuk wanita itu.

“Saya gak punya banyak waktu buat ikutan ketawa. Jadi kalau mau iseng doang, ada baiknya Anda keluar sebelum saya panggil penjaga di sini!” ketus Leesha, bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Lihat selengkapnya