SHEVA
Di dunia ini memang ada beberapa hal yang nggak bisa diubah. Salah satunya sifat bawaan lahir. Berbeda dengan karakter yang dibangun sepanjang hidup. Sifat bawaan sangat sulit diubah. Contohnya seperti sifat Hana yang begitu sabar hingga menjurus terlalu naif dan rendah diri itu. Hana yang sejak dulu selalu mudah menahan emosi. Hana yang selalu sabar menghadapi orang-orang maha menyebalkan dihidupnya. Yang salah satunya adalah gue.
Setelah hampir 10 tahun lebih tak bertemu pun, salah satu pribadi Hana yang maha menyebalkan itu ternyata masih ada. Belum berubah. Terlihat dari bagaimana Hana bereaksi atas perlakuan tidak tahu adabnya Tante bar-bar yang memakinya di depan semua orang. Hana diam saja dimaki di depan orang satu restoran sekarang ini. Iya, itu Hana. Hana yang sama yang pernah begitu gue cintai sampai ke tulang sum-sum gue sepuluh tahun yang lalu.
Tak pernah gue sangka, selepas makan siang yang cukup mengenyangkan lengkap dengan obrolan santai. Gue justru harus melihat tragedi menyebalkan. Bukan karena dipertemukan kembali dengan Hana siang ini. Well, pertemuan tidak sengaja ini justru gue syukuri. Tak terpikir bisa melihat Hana dengan bantuan semesta. Hana yang makin cantik. Hana yang makin anggun seiring usia. Hana yang ternyata masih bisa menggetarkan jantung gue dengan ritme yang sama. Bohong kalau sesuatu dalam diri gue tak berdesir memandangnya.
Tapi situasi ini? Di mana gue harus melihat Hana dimaki dan ... diam saja. Ya. Hana diam saja. Rasanya gue ingin membalikkan meja di samping kanan gue. Seorang perempuan seusia Mami tengah memaki Hana. Tante bar-bar itu menuduh Hana telah mencuci otak putranya yang sepertinya bernama Arga. Karena nama itu terus disebut berulang kali. Di belakang Tante itu ada seorang perempuan seusia adik gue. Ekspresinya begitu senang melihat Hana dipermalukan. Pelayan hingga manajer restoran tak ada satupun yang berani menghentikan perbuatan tidak sopan Tante itu. Mereka hanya menontoni Hana dipermalukan. Ah, jangan tanya keadaan gue. Seperti yang gue bilang tadi. Dalam hitungan detik mungkin gue bisa berubah menjadi hulk.
Gue murka sejadi-jadinya. Dada gue panas. Gigi gue bergemeretak. Apapun alasan yang mungkin melatarbelakangi tindakan Tante nggak tahu diri itu. Perbuatannya ini tetap tidak bisa dibenarkan. Sekalipun sepertinya Tante itu bukan orang sembarangan. Mungkin ia masuk kategori VIP restoran. Bodo amat! Toh gue pemilik 37,5% saham restoran ini. Gue akan memastikan Tante Bar-bar itu masuk daftar hitam restoran. Tidak akan gue biarkan siapapun mempermalukan Hana.
Jadi, begitu akal sehat gue lost dari pijakannya. Tak tahan melihat semua ini. Rasa pengen buang air kecil gue seketika langsung hilang. Setelah rasanya gue nggak sanggup lagi untuk sabar. Tak mampu lagi, menahan diri hanya memantau adegan kampret di depan gue. Sekalipun gue masih sedikit sadar bahwa tak seharusnya gue muncul marah-marah di depan Hana setelah kebejatan gue sepuluh tahun yang lalu. Pertemuan pertama kami seharusnya tak begini. Tidak dalam keadaan Hana dipermalukan seperti ini.
Sialnya si tante bar-bar itu memutus tali sadar diri gue begitu dengan sintingnya ia mengambil gelas berisi air di meja yang berada tak jauh darinya lalu mengayunkannya kearah Hana. Kedua mata gue membelalak.
Akh, shit!
Gue berjalan cepat menuju Hana. Tidak memikirkan apapun lagi selain berharap gue nggak akan terlambat sampai di sana. Gue nggak boleh terlambat. Ah, tidak akan!
BYUR!