HANA
"Saya tegaskan sekali lagi! Ingat baik-baik wajah Bu Hana. Dia calon istri saya. Jangan sampai ada satu orang pun berlaku nggak sopan sama Bu Hana. Paham?!"
Jajaran manager dan penanggung jawab restoran mengangguk dengan wajah tertunduk melihat amukan Sheva.
"Jujur ya, saya kecewa! Saya kecewa dengan keamanan restoran ini! Bisa-bisanya ada orang bar-bar seperti tante tadi sebagai member VIP. Saya nggak mau tahu! Blacklist dia dari daftar VIP!" lanjut Sheva dan langsung diiyakan oleh manajer restoran.
"Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan Pak Sheva dan Bu Hana. Dan sungguh kami benar-benar menyesal atas kejadian memalukan seperti tadi. Kami akan jadikan hal tersebut sebagai bahan evaluasi kami," ucap manajer.
Sheva mengusap wajahnya lalu menghela napas.
"Saya pegang janjinya," ucap Sheva dengan tatapan serius.
*
HANA
Langkah kaki kami berhenti di lobi. Sheva yang sejak tadi diam lalu menoleh ke belakang. Tatapan galaknya sungguh familiar dalam ingatanku. Pertanda sebentar lagi ia akan mengomel.
"Kamu tuh kenapa sih, Han?!" tukasnya dengan kedua tangan dipinggang.
Keningku mengerut.
"Kamu selalu membiarkan orang lain nyakitin kamu. Salah paham sama kamu! Jadi orang baik nggak gitu juga caranya, Han!" serunya.
Kedua mata Sella mendelik kearah Sheva.
"Woy sadar woy, lu juga salah satu orang yang nyakitin Hana!" seru Sella membuat ekspresi Sheva yang tadinya galak berubah menjadi terhenyak. Bagai tertusuk. Ia bungkam seketika.
"Sel," ucapku sambil menggeleng pelan kearah Sella yang menatapku bingung.
"Gue akuin Shev, aksi lu tadi luar biasa. Mungkin nggak ada satu orang pun dimuka bumi yang bisa belain Hana dengan gaya sekeren tadi kecuali lo. Tapi lu juga jangan lupa. Kalo di muka bumi ini, mungkin lo adalah satu-satunya orang yang paling nyakitin hati Hana," ucap Sella menohok.
Aku menatap Sheva yang hanya diam mendengar kalimat-kalimat bak pedang menusuk dada itu.
"Harusnya karena pernah aku sakitin, kamu jadi lebih tough dan galak menghadapi orang-orang kayak gitu!" lanjut Sheva yang menatapku galak. Benar-benar ciri khasnya. Sella hanya mendengus sebal dengan fakta bahwa Sheva tidak mengindahkan kehadirannya.
"Siapa tadi mantan kamu namanya, Arga!? Why could be he has a toxic mother like that!? Dan cewek yang dibelakangnya itu, siapa dia!?" lanjut Sheva mengomel.
Aku melihat sekeliling yang mulai memperhatikan kami. Omelan Sheva ini harus segera dihentikan atau kami sekali lagi jadi tontonan. Aku meraih tangan Sella lalu menyerahkan kunci mobilku. Kedua mata Sella melotot. "Eh, buat apa nih?" ujar Sella bingung atau mungkin sudah menebak maksud penitipan kunci mobil itu.
"Ayo," ajakku sambil meraih tangan kanan Sheva. Aku menariknya pergi dari sana. "Woy, Han! Gue ditinggal aja nih!?" teriak Sella. Namun aku tetap menarik Sheva pergi dari sana.
SHEVA
Tujuan Hana menarik tangan gue sampai menyerahkan kunci mobilnya ke Sella sudah jelas. Dia pasti akan membuka sesi konselingnya seperti di masa lalu. Ya, kami hanya akan bicara berdua tanpa ada pengganggu. Sudah lama nggak ada yang memperlakukan gue seperti ini. Lucunya, di dada gue sekarang ini bagai ada pecahan gelembung apa yang membuat gue terasa ingin tersenyum sendiri. Terlebih genggaman tangan ini. Astaga! Mimpi apa gue!? Bisa merasakan kemewahan genggaman tangan Hana Adriana lagi setelah f*****g s**t yang gue lakukan. Saking terlalu menikmatinya, gue nggak sadar kalau kami sudah sampai di valet, Hana menyuruh gue meminta kunci mobil ke petugasnya yang nggak lama membawa mobil gue ke depan lobi. Dan sekali lagi, Hana menarik gue masuk ke dalam mobil.
Gue melirik Hana dari kaca spion mobil. Dia belum bicara sama sekali setelah hampir 10 menit perjalanan kami yang belum ada arahnya ini. "Kita mau kemana sebenarnya? Aku ada meeting 2 jam lagi," ujar gue sambil tetap menyetir.
Hana menatap datar gue. "Yaudah turunin aku di lampu merah depan. Kantor aku udah nggak terlalu jauh dari sana," jawab Hana membuat gue melongo.
"Hah!? Enggak! Nggak ada sejarahnya Sheva Areksa menurunkan perempuan dipinggir jalan gitu aja. Apalagi perempuannya itu kamu. Aku kira kamu mau ngomelin aku karena udah ngomel nggak jelas," ujar gue.
"Itu kamu sadar udah ngomel nggak jelas, sampai kita hampir jadi tontonan orang untuk kedua kalinya,"sahut Hana tenang.
Damn!
Kena gue! Hana tetaplah Hana. Begitu mudah ia menundukkan ego gue dengan sikap setenang itu. Just like she did in yesterday. Sekarang malah lebih-lebih. Aura maturenya begitu terasa. Hana jadi jauh lebih anggun dari sebelumnya.
"Aku belain kamu ya, Han," tandas gue tak mau kalah. Walau dari awal pembicaraan ini gue memang sudah kalah. Bodo amat. Ego gue berkata begitu. Gue mengalihkan pandangan ke depan, agar Hana tak perlu melihat kengototan nggak jelas gue dan menjadikannya sebagai senjata.
"Kenapa sih setiap kali aku belain, kamu yang ada malah komplain terus!? Niat aku baik. I do because i care about you!" tambah gue beneran menjadi emosional. Mungkin luapan dari masa lalu. Udahlah bodo amat. Sekalian aja semuanya gue tumpahin disini. Lagipula sudah terlanjur.
"You are almost thirthy but the way you talk to me, it's like you're still sixteen," ucap Hana.
Harga diri gue terluka mendengarnya. Sampai-sampai gue mengerem mendadak. "That's hurt me," ucap gue dengan mata membuka merah.
Hana memutar tubuhnya kearah gue. Lalu menatap gue yang sedang marah dengan tenang. Ia meraih pipi kiri gue, mengelusnya pelan. Sialan! Luluh lantak hati gue. Kaget sekaget-kagetnya. Gue nggak menyangka, gesture ini masih begitu mempengaruhi gue.
"I'm so sorry, if that's hurt you, Shev. Tapi emang iya. Kamu tuh terlalu emosional. Tante Tami kamu lawan sebegitunya. Dia kan orang tua, Shev. Aku yakin, kalau tadi aku biarin kamu ngomel di lobi, we will face something more worst than this," ucap Hana lembut.
Sinting! Beneran sinting.
Bisa-bisanya gue luluh dengan kelembutan yang pernah hilang ini. Sampai hati dan otak ego gue bahkan mengalah pada Hana. Helaan napas panjang gue lakukan. Hana benar. She is always right. Gue meraih tangan kanan Hana yang mengelus pipi gue. Terlihat ia agak kaget dan canggung. Namun itu tidak menghalangi genggaman tangan gue yang erat menggenggam tangannya.
"Kamu nyebelin banget sih. Benar-benar nggak berubah. Selalu berhasil membuat aku ngalah dan nggak berdaya," ujar gue mengaku kalah.
Hana menatap gue dalam diam. Dulu, ia akan tersenyum maha hangat dan manis saat gue mengucapkan kalimat itu. Reaksinya yang sekarang membuat gue jadi canggung. Namun konyolnya dalam kecanggunggan sekalipun, gue masih berhasrat untuk menciumnya. Memang dasar Sheva si gak tahu malu.
"Nanti pulang kerja aku jemput. Kita dinner. Ada banyak hal yang harus kita omongin. Terutama soal penerimaan kamu atas perjodohan ini,"ujar gue yang hanya ditanggapi Hana dalam diam.