HANA
"Ayah?!" Kagetku melihat Ayah diujung tangga menyambutku. Ayah tersenyum. "Sheva-nya mana?" tanya Ayah celingukan.
"Langsung pulang," jawabku bohong. Padahal aku pulang naik taksi online tadi. "Ayah senang kalian bisa saling memaafkan," ucap Ayah dengan senyum sumringah penuh harapan. Aku terenyuh. "Maafin Hana ya, Yah. Hana udah bohong," ucapku dalam hati.
"Kalau begitu minggu dinner sama Om Aris dan Tante Nadia kamu mau kan, Han?" tanya Ayah sambil merangkul pinggangku. Kami berjalan masuk ke dalam. Aku mengangguk setuju. Senyum Ayah makin lebar. "Ayah nggak sabar," ucapnya.
Yah, kalau saja ayah tahu barusan Hana habis menghabisi harga diri Sheva. Memangkas habis kemungkinan perjodohan ini terlaksana. Apa Ayah masih akan tersenyum selebar ini pada Hana?
Aku menyesali semua ucapan emosionalku pada Sheva di Wolfgang tadi. Lo apa-apaan sih, Han??? Malah ajak Sheva berantem. Harusnya lo tuh melakukan segala cara supaya Sheva bilang iya!
"Tau ah! Pusing!" seruku sendiri sambil membenamkan diri di bathub.
Aku sadar. Aku memang terbawa emosi tadi. Padahal aku mengaku sudah nggak ada perasaan yang tertinggal untuk Sheva. Tapi tadi aku terus memborbardir Sheva atas perbuatan menyakitkannya di masa lalu.
"Hana ... Hana ...," gumamku sendiri sambil memejamkan mata dan menenggelamkan diriku sekali lagi kedalam air bathub.
SHEVA
"Sayang, Ibu meninggal. Kamu kesini ya. Ayah masih di IGD. Aku sendirian nungguin jenazah ibu. Aku takut. Aku bingung. Aku harus gimana?" Masih jelas ditelinga gue suara terisak Hana malam itu. Masih ingat betapa dada gue begitu sesak tengah malam itu. Hana meminta gue datang menemaninya di RS. Ia sendirian menunggui jenazah mamanya. Tapi gue malah berdiri dibandara. Siap pergi ke US untuk kuliah di MIT.
Sungguh pantas bagi dia menghabisi gue bertubi-tubi dengan kalimat-kalimat menyakitkan itu barusan. Toh gue memang pengecut, brengsek dan tukang kabur. Sheva Areksa yang dulu lebih memilih pergi lebih awal ke US karena egonya sendiri. Sekarang gue menerima balasannya. Satu yang gue belum lakukan, memohon maaf Hana secara langsung.
"Emang brengsek lu, Shev! Sok ceramahin dia soal kebahagiaan. Saat elu lah si pengecut yang patahin hati dia lewat telepon malam itu. Lo memang brengsek!" ucap gue sendiri sambil mencengkeram setir mobil dengan kuat.
ARIS (PAPINYA SHEVA)
<Rama> Everything's going well, Ris. They have dinner tonight
<Aris> Sesuai prediksi kita ya, Ram. Udah sekarang kamu istirahat.
Rama baru saja mengirim chat berisikan berita yang membuatku lega sekaligus bahagia. Menjodohkan Sheva dengan Hana adalah jalan keluar terbaik. Bermakna setali tiga uang. Belum pernah aku menemukan Sheva memacari perempuan yang mampu mengeluarkan sisi kemanusiaan hingga menekan ego tingkat dewanya itu selain Hana.
"Kenapa? Kok Papi senyam-senyum sendiri?" tanya Nadia, istriku. Aku merangkulnya.
"Ini, Mih. Rama baru kabarin aku kalau Hana habis pulang dinner sama Sheva," jawabku.
Muka Nadia langsung sumringah. "Syukur alhamdulillah kalo gitu. Berarti gosip yang aku dengar salah," ujarnya.
"Gosip apa?"
"Papa ingat kan istrinya Pak Mizwar, pemilik Capital Magnolia. Katanya tadi siang habis labrak Hana di restoran kita."
"Hah? Masa? Kok bisa?!"
"Dia pikir Hana pengaruhin anaknya dia, si Arga, untuk menolak perjodohan dengan wanita pilihan pak Mizwar dan istrinya itu, Pih."
"Bukannya Hana udah putus sama Arga?"
"Ya memang udah, Pih. Cuma tuh perempuan masih sewot aja sama Hana. Mami labrak balik aja kali ya, Pih!" Nadia terdengar berapi-api.
"Eh jangan! Mami nih kayak Sheva. Bawaannya emosiiii aja."
"Kok papi tahu sih kalo Sheva ada disana?"
"Sheva!? Ada disana? Sheva lihat kejadian itu!?" Perasaanku langsung tak enak.
"Iya, Pih! Orang Sheva kok yang belain Hana."
"Serius, Mih?" Nadia mengangguk. Aku menepuk jidat. Ingat akan kontrak kerja yang diajukan Capital Magnolia yang sedang dikaji ulang Sheva. Jikalau anak itu sampai tahu bahwa mantan pacar Hana adalah pemiliknya. Entah apa yang akan terjadi.
*