VERREL
"Do, temen lu kenapa itu?" tanya gue penasaran sejak tadi melihat Sheva duduk sendirian di kursi pinggir kolam renang townhouse miliknya ini. Sendirian dengan wajah suntuk beserta sekaleng coke di tangan kanannya. Setahu gue, Sheva sudah berhenti minum coke sejak 5 tahun yang lalu. Could be something happend to him?
Nando ikut memandangi Sheva dari meja billiard ini.
"Hana," jawabnya dengan helaan napas.
Dahi gue mengerut dalam.
"Wait. What!? Hana? Hana Adriana??? The one and only pawangnya Sheva. Hana teman SMA kita?" tanya gue nggak percaya.
"Ho-oh, Rel!" jawab Nando dengan sebuah anggukan.
"Ketemu lagi atau gimana? Atau gosip yang gue dengar itu benar?" tanya gue lagi penasaran dan tak sabaran.
Nando menatap gue dengan mata menyipit. "Gosip yang mana nih? Ada 2 soalnya?" tanya balik Nando.
"What!? Ada 2!?" kaget gue.
Perasaan gue ke London cuma seminggu. Kenapa bisa gue ketinggalan gosip sampai dua topik begini?
Nando mengangkat telunjuknya. "Pertama, Sheva dijodohin sama Hana ..."- mata gue mendelik nyaris keluar. - "... kaget kan lu!? So i give you space to scream," ujar Nando dramatis.
"Njir! Serius lu!? Sheva mau? Wait! HANA MAU!???" kaget gue.
"Disitulah lucunya. Hana yang pertama kali menyetujui perjodohan ini," ujar Nando.
Makin kaget gue. "Bercanda lu! Hana nggak mungkin maafin kebrengsekan Sheva," ujar gue menolak percaya.
"Tapi itu faktanya, Nyet," sebal Nando lalu berdiri sambil memasukkan tangan kanannya ke saku celananya.
"Terus masalahnya apa? Sheva nggak mau atau gimana?" Gue makin penasaran.
"Masalahnya bersangkutan dengan gosip kedua," ujar Nando sambil mengangkat jari tangan kanannya menjadi berbentuk V.
"Hana dilabrak sama Tante Tami?" gumam gue menebaknya. Nando mengangguk.
"Korelasinya?"
"Sheva disana, Rel," ujar Nando.
"Maksud lo?" ujar gue yang perasaannya udah nggak enak. "Sheva di sana saat Tante Tami akan mengguyur Hana. Doi dengan bucinnya jadi jas hujan buat Hana. Bonus kena tamparan juga, Cuy," ujar Nando sambil geleng-geleng kepala.
Gue menganga. Fatal banget. Sheva paling nggak bisa lihat Hana ditindas. Dia akan membalasnya habis-habisan.
"Mampus dong si Arga," pelan gue. Nando menggeleng. "Belum."
"Maksudnya belum?"
"Dari situ Hana dan Sheva berantem. Ya lu tahulah mereka gimana kalo tensi Sheva mulai naik," ujar Nando yang gue tanggapi dengan anggukan.
Hana bak pemadam kebakaran akan berjibaku memadamkan kobaran amarah di hutan bernama Sheva Areksa.
"Puncaknya tadi siang, Rel."
"Apanya?"
Nando menghela napas. Ekspresi Nando bak akan bercerita pengalaman horor mencekam.
"Tadi di Singapore, kejadian di restoran kemarin siang itu terulang kembali. Kali ini Tante Tami berhasil menyiram Hana. Kebayang nggak lu ngamuknya si Sheva gimana?" Gue mengangguk.
"Tapi masih doi tahan tuh. Masih dengerin Hana. Ditampar dong cuy dia."
"Gila sih!"
"Lebih gila lagi, Hana malah belain Arga."
"What!? Maksudnya gimana?"
"Kayaknya si Sheva mau balas Arga, terus Hana ngelarang Sheva. Mereka akhirnya berantem. Hana ngabisin Sheva dengan rentetan tragedi mereka. Sheva bersikukuh mau ngabisin Arga dan Tante Tami. Pokoknya runyam dah. And here it is ... Temen lu berakhir bengong dipinggir kolam. Untung nggak nyebur dia," ujar Nando sambil menunjuk Sheva.
Gue berdecak. Tidak menyangka.
"Masih cinta dia, Nyet?" tebak gue.
"Kayaknya iya," jawab Nando.
Gue tertawa.
"Nggak ada empati lu, Rel!" omel Nando.
"Heh gue bukannya nggak ada empati sama Sheva. Gue senang akhirnya dia bisa 'hidup' kembali. Lu paham nggak maksud gue!?"
"Ya gue paham. Cuma yang gue takutin mungkin sama seperti yang Hana takutin!" Nando memegang kepalanya.
"Yaelah tenang aja. Hana bakal hentikan Sheva diwaktu yang tepat. Persis seperti dimasa lalu," ucap gue santai lalu menyeruput cangkir kopi yang sejak tadi gue pegang.
Nando menyipitkan mata. "Cuman itu Sheva kayaknya sekarang lagi sakit hati banget karena Hana belain Arga. Padahal bukan itu maksud Hana," gumam gue.
Nando mengangguk miris. "Dari dulu nggak berubah. Masih cemburuan."
"Kalo nggak cemburuan bukan Sheva namanya," ledek gue. Nando nyengir.
SELLA
Stevi menyenggol siku kananku sebanyak 3 kali. "Kenapa?" bisikku. Ia menyuruhku melihat kearah yang sama dengannya. Hana yang sedang berdiri bengong ditengah pintu masuk studio tepat di depan counter snack XXI.
"Tuh anak kenapa? Sejak pulang dari Singapore, muka sama mood-nya nggak beres," ujar Stevi.
Aku yang sedang mengantri popcorn jadi ikut berpikir. Agnes ikut nimbrung. "Dari kaos oversized yang dipakai Hana aja udah kebaca kali," tukas dokter kulit itu.
Kami berdua menatap Agnes, menunggu lanjutannya. Malah Agnes yang balik menatap kami heran. "Masa lu berdua nggak inget itu bau parfumnya siapa?" ujar Agnes histeris. Kami berdua clueless.