Minggu pagi.
ARGA
Brakk!
Papa membuka pintu kamar gue buru-buru. Dengan wajah marah. Lantas melempar salinan kontrak ke atas meja kerja. Gue terperanjat kaget. "Ada masalah, Pah?" tanya gue.
"Masalah kamu bilang!?" Suara papa begitu tinggi.
Gue meraih salinan kontrak yang kami ajukan kembali ke Adiyatama grup beberapa hari yang lalu. Tidak ada yang aneh di sana.
"Ini kiamat untuk Capital Magnolia, Arga! KIAMAT!" pekik Papa emosional.
Gue lantas berdiri.
"Maksudnya gimana, Pah? Bukannya semua berjalan lancar? Adiyatama akan meng-acc kontrak investasi lanjutan ke perusahaan kita?" tanya gue serius bingung. Perasaan gue jadi nggak enak.
"Sheva menolak mengkaji ulang kontrak investasi perusahaan kita!" seru papa tercekat. Gue terhenyak mendengarnya. Terutama saat papa menyebutkan nama Sheva.
"Sheva?" gumam gue.
"Ya. Sheva! Sheva Areksa Adiyatama, CEO Adiyatama Group! Pewaris utama tahta keluarga Adiyatama! Putra sulung Om Aris," jawab Papa.
Gue makin terhenyak. Teringat ucapan Sheva pada Mama di Singapore kemarin siang. Inikah yang ia maksud? Menghancurkan perusahaan keluarga kami? Mengorbankan ratusan ribu pekerja kami beserta keluarga mereka. Kalau ya, Sheva benar-benar sudah gila.
"Kok bisa!?" tanya gue sok bingung.
Papa berjalan mendekat. Menatap gue lekat. "Kamu yang seharusnya menjelaskan semua ini sama Papa. Alasan mengapa Sheva bisa berubah pikiran! Yang tadinya akan segera tanda tangan malah berbalik mengembalikan kontrak kita, Ga!" seru Papa membuat gue menelan ludah.
Gue terdiam. Bingung harus jawab apa. Mana mungkin gue katakan semua ini terjadi karena Sheva ingin membalas perbuatan Mama pada Hana. Dikatakan berulang pun, gue masih nggak percaya kalau Sheva melakukan hal gila ini atas nama cinta. Seberharga itu Hana untuk Sheva. Lalu mengapa gue merasa begitu kecil lantaran tak pernah melakukan apapun untuk membela Hana selama ini dihadapan Mama.
"Bukan salah Arga! Itu salah aku, Pah," celetuk Mama yang menyeruak masuk ke dalam kamarku.
Bukan hanya Papa. Gue pun terkejut akan ucapan Mama.
"Maksud Mama?" selidik Papa yang sudah menoleh ke arah Mama. Gue menggelengkan kepala ke arah Mama. Memberi kode agar Mama tak perlu mengatakan yang sebenarnya. Tapi Mama memberi jawaban menolak lewat ekspresinya. Gue terperangah.
"Mungkin anak itu marah karena Mama sudah ..."
"Sudah apa!?" bentak Papa.
"Pah! Jangan kasar sama Mama," ujar gue. Papa mendengus. Amarahnya tampak nyata di wajah tuanya.
Gue melirik Mama dan kembali menggeleng pelan. Mama menghela napas. Menunduk. Lantas ia menceritakan semua kejadian baik yang terjadi 2 hari yang lalu maupun yang terjadi kemarin.
Papa murka dan berteriak. Meninju vas bunga dijsudut kamarku hingga pecah. Gue bisa memahami perasaan Papa. Perusahaan yang dibangunnya dari nol sedang dipertaruhkan hidup dan matinya. Dan semua itu karena Sheva. Mama memang salah telah mempermalukan dan berbuat tidak baik pada Hana. Tapi bukankah perbuatan Sheva ini berlebihan?
"Telepon Hana. Minta tolong sama dia untuk membujuk Sheva agar berubah pikiran. Cuma dia yang bisa menyelamatkan perusahaan kita," ujar Papa memberikan instruksi pada gue.
"Masih ada cara lain, Pah. Jangan libatkan Hana ..."
"Cara lain!? Kita sangat butuh dana investasi itu, Ga. Kamu paling tahu itu! Kita butuh Hana! Pastikan Hana mau menolong kita!" seru Papa lalu keluar dari kamar gue.
Mama masih menangis. Gue berjalan mendekati Mama lalu memeluknya erat.
"Biar Mama yang memohon pada Hana, Ga," bisik Mama pelan.
Gue menggeleng.
N"Nggak ada yang perlu memohon sama Hana. Biar Arga yang akan cari solusi lain untuk kita, Mah," ucap gue percaya bahwa tanpa kucuran dana Adiyatama, perusahaan kami akan baik-baik saja. Walau rasanya mustahil mendapat dana sebesar itu dalam waktu sesingkat ini.
ARIS
"Pak Sheva sudah mengembalikan kontrak Capital Magnolia, Pak. Beliau menolak mengkaji ulang kontrak atau bahkan meng-acc-nya."
Aku hanya bisa menghela napas mendengar laporan Fred, asistenku. Benar saja dugaanku. Sheva murka dan bermaksud membalas perbuatan Tami lewat kontrak ini. Ya Tuhan, Shev. Banyak orang tak bersalah yang akan jadi korban karena sifat emosional kamu ini. Aku mengetik chat ke nomor Sheva.
SHEVA
TUNG!
Gue membuka chat disela duduk istirahat setelah sparing badminton dengan Rio. Satu dari teman se-genk- gue.
<Papi> Pertimbangkan kembali soal Capital Magnolia, Shev
Gue berdecak. "Papa udah tahu," gumam gue sendiri. "Tinggal hitungan detik sampai Hana tahu semuanya. Dan gue nggak akan mundur," tambah gue bicara sendiri dalam hati.