HANA
Aku menghela napas. Tiga pesan dari Ayah masuk, membuat handphoneku berdering. Ayah mungkin bertanya aku sudah sampai mana. "Hana udah sampai sejak 30 menit yang lalu, Yah," ucapku membalasnya sambil bicara sendiri. Kedua tanganku kembali mencengkeram setir. Kegamangan menyelimutiku. Tadinya aku telah bersiap mencari ratusan alasan agar tidak perlu ikut acara dinner ini. Aku takut bertemu Sheva. Bukan takut Sheva marah. Hanya saja sejak ia bilang sayang padaku. Aku takut menghadapinya. Hatiku akan meluapkan perasaan yang membuatku kehilangan muka nantinya.
PLAK!
Suara tamparan yang begitu keras. Membuat lamunanku terpecah. Bersamaan dengan suara teriakan wanita dari sebuah arah. Aku keluar mobil. Mencari sumber suara. Perasaanku tak enak. Aku mengikuti bisikan hatiku untuk mencari tahu. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan didepanku sekarang. Tante Tami dan Sheva tengah bertengkar hebat. Sheva yang berdiri diam dengan rahang tegang. Tante Tami yang wajahnya merah dengan kedua bola mata nyaris keluar. Tangan kanannya terangkat. Telapaknya merah. Tanpa sadar aku berlari. Karena aku tahu pertahanan dan kesabaran Sheva akan runtuh sebentar lagi.
"PUAS KAMU! BERBUAT SEENAKNYA KARENA PUNYA KEKUASAAN!!! DASAR MANUSIA NGGAK PUNYA HATI!" teriak Tante Tami emosional.
Tangan kanan Sheva perlahan terangkat dari posisinya semula. Aku melihatnya dengan jelas. Ku percepat lariku lalu tanpa pikir panjang ...
BREGH!
Aku memeluk Sheva erat dari belakang. Dengan napas masih terengah. Aku melingkari tubuh kekar Sheva dengan kedua tanganku. Bak pemukul yang mencapai home base dengan aman. Aku sungguh amat sangat lega!
ARGA
"Mama! Astaga!" pekik gue dalam hati melihat mama sudah berkonfrontasi lagi dengan Sheva. Bagaimana bisa mereka bertemu di sini? Apa mama mencuri dengar percakapan papa dan gue tadi? Saat kami mau mengambil langkah 'menembak' Sheva didepan Om Aris. Well, ini rencana Om Aris agar Sheva mengubah keputusannya. Sungguh memalukan memang. Tapi apapun akan gue lakukan demi keberlangsungan Capital Magnolia. Meski itu harus memanfaatkan keberadaan Hana sebagai kelemahan Sheva.
Hana?
Itu Hana kan?
Perempuan yang tengah berlari dari arah belakang Sheva itu bukankah Hana? Gue terpekur diam. Belum pernah melihat Hana memasang wajah panik seperti itu. Berlari sekuat tenaga dengan stiletto yang dipakainya.
BREGH!
Hana lantas memeluk Sheva dari belakang sebagai akhir dari lari sprint-nya. Gue cemburu. Ya, jelas perasaan gue ini adalah cemburu. Hana belum pernah melakukan hal seperti itu untuk gue. Napas terengah Hana. Gerakan tangan kanan Sheva yang berhenti seketika. Bak saklar yang dimatikan on/off- nya.
SHEVA
BREGH!
"Hana ..." ucap pelan gue.
Tubuh yang mendekap gue. Wangi parfum yang menyelubungi gue. Akh, sialan! Logika gue kembali. Hati gue kalah sekali lagi. Tante bar-bar ini sungguh beruntung. Hana sampai memeluk gue untuk menyelamatkannya. Pelukan yang mewah ini. Dulu dia sering memeluk gue. Lantaran gue sering banget berantem. Siapa yang menyangka gue akan mendapatkan kemewahan ini. Tapi kali ini bukan saat yang tepat untuk menikmatinya. Begitu Tante bar-bar ini melabrak gue. Secuilpun gue nggak menyesali keputusan gue mengembalikan proposal Capital Magnolia.
"Lepasin," ucap dingin gue.
Tangan Hana masih memeluk tubuh gue. Seakan dia takut gue hilang akal dan kapan saja bisa menghajar si Tante bar-bar.
"Nggak akan aku lepasin," sahutnya kini sudah berdiri didepan gue.
Raut wajah takutnya. Astaga! Lo memang lemah, Shev. Gue mengusap wajah. Mengatur napas lalu menghempaskannya perlahan. Hana pasti melihat semuanya sejak tadi. Dia mungkin tahu, gue habis dimaki dan ditampar. Yang gue nggak sangka, Hana mau datang ke acara dinner yang dirancang papa-mama setelah kami berantem semalam.
Kami saling beradu tatapan. "Aku bilang lepasin tangan aku, Hana Adriana," ucap gue.
"NGGAK AKAN!" balas Hana dengan mata melotot galak kearahku.
Senyum gue terkulum mendengarnya. Jawaban yang memang sudah gue prediksi. Jawaban yang gue yakin sudah mematahkan hati Arga yang kini telah berdiri dibelakang tante bar-bar. Kedua matanya menyatakan kemarahan. Raut wajahnya mengatakan kecemburuan.
Puas?
Oh gue sangat puas. Malah ingin gue mengucap terima kasih pada tante bar-bar atas kejadian ini. Si dream man pecundang itu kini bisa lihat dan mendengarnya langsung. Kalau Hana Adriana memilih gue meski bukan itu maksudnya.
"Lo dengar kan, Ga!?" seru gue membuat tatapan bingung Hana menanggapi senyum gue, langsung berubah jadi tatapan terkejut.
Gue menarik tangan kanan yang dipegangi Hana. Memutarnya sedemikian rupa hingga sekarang tangan kanan gue mendekapnya. Kami saling berhadapan dengan Arga dan tante bar-bar.
"Arga?" kaget Hana.
Mereka saling bertukar tatapan. Gue mendengus sebal. Tapi ini cukup untuk mengacaukan Arga. Dan gue senang sampai ubun-ubun. I beat the dream man! Her dream man.
"Mah, ayo kita pulang. Mama jangan kayak gini. Kalau papa tahu mama bisa ..." Arga sepertinya tak ingin menanggapi Hana.
Gue melirik Hana disebelah kanan. Meski tahu akan sakit hati kalau menemukan kedua mata Hana yang sedih atas tanggapan dingin Arga nantinya. Namun ternyata prediksi gue salah, Hana sedikitpun tak memperlihatkannya.
Raut wajah yang gue lihat sekarang adalah raut wajah yang biasa gue lihat 10 tahun lalu. Ketika Hana berhadapan dengan drama selepas perkelahian gue. Kedua matanya yang lelah menghadapi semua tingkah emosional gue. Dan entah kenapa gue nggak bisa menahan senyum kecil terbentuk di wajah gue.
ARGA
Sialan!
Kenapa Sheva malah pasang senyum cengengesan kayak gitu sambil lihatin Hana? Gue benci dengan fakta bahwa Sheva dan Hana memiliki ikatan kuat yang gue nggak punya. Nggak akan pernah punya. Meski lamanya kami menjalani hubungan dari segi matematis bernilai sama. Gue cukup sadar koneksi hati Hana pada gue nggak sekuat yang dimiliki Hana dengan Sheva. Pria arogan nan emosional dihadapan gue ini memiliki tempat yang istimewa di hati Hana. Koneksi yang dimilikinya dengan Hana di masa lalu begitu dalam dan kuat. Tragedi yang disebutkan Sella bahkan tak mampu menghancurkannya. Semua boyfriend material yang gue lakukan untuk Hana. Sekalipun gue telah melakukannya setulus jiwa. Semua itu tak akan mampu menandingi kenangan yang diberikan Sheva Areksa Adiyatama. Si pembawa empat musim dalam hidup Hana. Posisi yang selalu gue harapkan menjadi milik gue sejak hati gue terpaku dan ditawan senyum Hana di lobi Plaza Indonesia 3 tahun yang lalu.
"JANGAN HALANGI MAMA, GA!" pekik Mama emosi.