SHEVA
Hana berjalan keluar lift menjauh dengan wajah marah dari gue. Sial! Ulu hati gue makin sakit. Pandangan gue makin kabur. Kepala gue pusing banget. Gue yakin. Gue akan ambruk dalam hitungan detik di dalam lift yang akan segera tertutup ini. Sendirian. Entah bagaimana nasib gue nanti. Mungkin mati atau sekarat. Gue udah nggak kuat lagi berdiri.
HANA
Aku menoleh kebelakang setelah keluar dari lift. Setelah bertengkar dengan Sheva entah untuk yang keberapa kalinya sejak kemarin. Aku bersiap menghujaninya dengan tatapan galak saat yang kulihat justru tubuh ambruk Sheva.
BRAKK!
Tubuh Sheva ambruk. Berlutut. Ia berpegangan di dinding lift. Tangan kirinya memegangi perutnya. Mataku membelalak melihatnya. Jantungku berdebar kencang. Rasa takut itu bak kabut menyelimutiku. Tubuhku beku tak bergerak. Sheva mencoba mengangkat kepalanya, menatapku. Namun aku tahu ia sangat amat berusaha keras untuk mengangkat kepalanya. Dan itu menggerakkan tubuhku yang membeku untuk berlari kearah lift yang mulai tertutup.
"SHEVA!" pekikku panik berlari kearahnya.
Dengan gila aku tahan pintu lift yang mulai tertutup dengan tanganku. "Aww!" rintihku nyaris terjepit. Aku lantas menekan tombol penahan pintu lift agar tetap terbuka. Aku berlutut menghampiri Sheva yang setengah sadar. Sudah lama aku tidak merasa takut seperti ini. Apalagi melihat wajah pucat Sheva.
SHEVA
"Aww!" Hana memekik pelan saat tangannya nyaris terjepit pintu lift. Dia berlari kearah gue. Hana menyelamatkan hidup gue.
"Asam lambung kamu kambuh ya?" tebaknya dengan wajah super panik yang membuat gue merasa super berharga. Sayang, gue nggak bisa berekspresi apalagi bereaksi. Perut gue begitu sakit. Untuk membuka mata saja, rasanya gue tak sanggup.
HANA
Dengan bantuan satpam aku berhasil membawa Sheva ke mobilnya. Nggak peduli lagi dengan mobilku sendiri yang masih ada diparkiran. Dikepalaku cuma ada satu hal. Sheva harus segera ditangani dokter di IGD. Perasaan aku campur aduk saat melihat perawat menaikkan Sheva keatas tempat tidur begitu kami sampai di pintu IGD.
This is the worst night i ever have in almost 10 years my serenity without him. Aku terus menggenggam tangan kanannya erat. Entah Sheva bisa mendengarnya atau tidak saat aku terus-terusan memanggil namanya. Aku tidak peduli lagi dengan ekspresi penuh ketakutanku kehilangan Sheva yang sejak tadi bertengger diwajahku. Aku memang takut kehilangan dia. Sangat amat takut kehilangan dia.
"Sheva, please ... No ..." ucapku memohon.
Tangan Sheva begitu dingin. Persis seperti apa yang kuingat akan tangan almarhumah ibu dimalam terakhirnya didunia.
*
SHEVA
"Aku lagi sakit loh, Han. Jangan dibawelin terus. Makin pusing." Hana menatap gue galak dengan mata melotot. Sementara dokter IGD itu tersenyum melihat adegan sinetron ini.
"Pokoknya rawat inap!" paksa Hana.
"Enggak bisa. Besok aku ada meeting," jawab gue santai.
Hana jelas tak terima. Apalagi setelah gue menyebut meeting.
"What!? Meeting!? Kamu nyaris drop kayak tadi terus sekarang malah mikirin meeting, Shev!" pekiknya dengan tangan bersidekap.
"I'm already okay. Aku udah disuntik. Iya kan, dok saya nggak perlu rawat inap?" ujar gue melempar tanya kearah dokter. Hana langsung menoleh. Dan itu kesempatan gue buat memberikan kode ke dokter agar menjawab sesuai dengan keinginan dokter.
"Enggak usah kodein dokter!" sebal Hana menangkap basah gue. Ia mencubit lengan kanan gue. "Sakit, Han!" seru gue sambil mengelus lengan kanan. Hana menatap gue sambil melotot dan mata yang memicing.
"Terlepas dari pacar kakak yang kodein saya. Tapi memang pacar kakak ini tidak perlu rawat inap. Tadi sudah saya beri suntik antivirus. Sudah boleh pulang. Hanya saja diharapkan tidak beraktivitas berat dulu. Sampai rumahpun, obat harus segera diminum jangan ditunda-tunda," ujar dokter IGD.
"Dengar kan kata dokter, aku nggak perlu rawat inap," ucap gue menang sambil tersenyum meledek. Hana mendengus sebal.
"Dengar juga kan kata dokter. Jangan beraktivitas berat!" serang Hana. "Iyaaaa, aku meeting dari rumah," ujar gue mempercepat obrolan ini agar bisa cepat pulang.
*