SHEVA
Gue nggak pernah membayangkan bahwa akan ada sebuah momen dimana gue akan melihat Hana di townhouse ini. Terkhususnya sedang memasak seperti sekarang. Di dapur townhouse gue yang biasanya dikuasai Mbok Ratmi. Ada banyak gelembung pecah didalam dada gue. Letusannya membuat letupan kebahagiaan kecil yang gue sendiri nggak paham artinya. Ditandai bibir gue yang nggak bisa berhenti tersenyum walau gue tak menginginkannya.
Bukankah Hana telah menciptakan kecanggungan saat dia menolak ciuman gue tadi? Bukankah jarak dan jurang di antara kami begitu kentara? Tapi hati gue tetap serindu ini sama dia. Anggaplah ini kutukan. Gue pun nggak berniat mencari mantra penangkalnya. Karena mungkin memang tidak akan ada yang bisa menggantikan Hana di hidup gue. Dia tak terkalahkan. Dia juaranya.
"Astaga ...," ucap Hana meringis pelan saat bajunya tersiram air. Bajunya basah. Hana menoleh mendengar suara tawa gue. Mukanya langsung cemberut.
"Puas banget ketawain aku?" galaknya. Gue berjalan menghampirinya. She makes a porridge for me. Dulu dia juga buatin gue bubur. Hana bahkan membawakannya sampai ke rumah. Karena hari itu gue nggak masuk.
"Pulang sana. Biar dianterin supir aku. Sebelum larut malam. Nanti dicari Om Rama. Apa kata Om Rama kalau tahu anak perempuan semata wayangnya ada di rumah laki-laki yang bukan siapa-siapanya sampai jam segini. Bisa langsung dinikahin kita. Ya, aku sih senang-senang aja kalo langsung sah. Kalo kamu kan nggak," ujar gue membuat Hana bersungut.
"Ayah habis dinner tadi tuh langsung ke Malaysia. Ada jadwal pengobatan. Rabu baru pulang," ujar Hana kembali mengaduk bubur.
"Oo ... pantes aja. Terus mau nginep disini? Nggak takut aku macam-macam?" ledek gue.
Hana melayangkan sodet yang digunakannya mengaduk bubur sejak tadi kedepan gue.
"Kalo kamu mau macam-macam sama aku, bukankah harusnya dilakukan dari dulu ya. Lagian aku di sini mau pastikan kamu mengikuti semua instruksi dokter dengan baik dan benar!" serunya.
"I'm doing fine rightnow," sergah gue. Hana menggeleng.
"Susah ya, Shev. Ikutin saran dokter. Obatnya juga cuma satu butir," tandas Hana dengan wajah tak mau dilawan. Dia juga masih ingat betul bahwa gue akan segera membuang obat itu ke tempat sampah. Tanpa harus repot meminumnya.
"Yaudah iya .. iya .. aku makan bubur buatan kamu, minum obat terus bobo. Gitu kan? Siap! Bu dokter Hana," ujar gue yang males mendengarkan kebawelan Hana.
Hana bersidekap.
"Good boy," ucap Hana sinis. Senyumku tercipta lebar. "Aku tunggu di kamar ya, sambil rebahan. Berani kan disini sendirian?" tanya gue. Hana mengangguk mantap. Gue refleks tersenyum.
*
SHEVA
"Nggak usah deh liatin aku kayak gitu!" seru Hana galak setelah gue menatapnya. Ia baru saja keluar dari wardrobe kamar gue. Ganti baju. Kaos putih bertuliskan MIT ditengahnya. Kebesaran? Tentu. Hana berjalan menuju kasur lalu duduk dipinggir. Berhadapan dengan gue yang tengah duduk menyender.
"Ini kedua kalinya kamu pakai kaos kesayangan aku," ucap gue yang menyentil kesalahan Hana menumpahkan dirinya sendiri dengan air.
"Nggak ikhlas?" sinisnya.
Gue tertawa.
"Kamu kenapa sih kalo sama aku jawabnya sinis banget?" ledek gue.
Hana berdecak namun tetap mengulurkan sesendok bubur ayam buatannya kepada gue.
"Udah tahu pakai tanya!" galaknya.
Udah tahu pakai tanya? Untuk persoalan yang mana, Han? 10 tahun yang lalu? Atau untuk masalah tante bar-bar dan anaknya?
"Aku nggak habis pikir ya, Shev! Bisa-bisanya kamu minum kopi! Atas dasar apa coba kamu minum kopi!" omel Hana.
Nggak tahu aja kamu, Han. Aku minum kopi untuk membuktikan ke Verrel, aku udah move on dari kamu. I will never let you know. Karena itu memalukan. Tapi anehnya mulut besar ini nggak pandai menyembunyikan rahasia.
"Aku mau buktiin ke Verrel kalo aku udah move on dari kamu," tukas gue.
Hana terhenyak. "Kekanakan banget," ujar Hana dengan suara parau.
Gue mengangguk setuju. "A very stupid decision," ucap gue menyesalinya.
Hana mengulurkan sesendok bubur lagi. "Kalo udah move on, ya move on aja. Nggak perlu kamu buktiin, Shev. Sampai collapse lagi," ujar Hana.
Gue mengangguk-angguk. Lalu perlahan menelan bubur. "Iya. Ditambah nyatanya aku memang belum move on. Bener-bener kebodohan shahih," ucap gue.
Hana tertegun. Mungkin karena ucapan gue barusan. Gue putuskan untuk jujur. Sama seperti di malam gue mengaku masih sayang sama dia. Kejujuran yang bukan hanya untuk Hana. Tapi juga untuk diri gue sendiri. Gue memang masih mencintai Hana. Dengan kadar yang belum berubah sedikitpun.
"Biasa aja kali mukanya," ledek gue mencoba mencairkan kecanggungan yang lantas tercipta akibat mulut besar gue.
Hana memanyunkan mulutnya dan menyipitkan mata. Lalu gadis itu menghela napas.
"Abis aku minum obat. Nanti kamu, aku anterin pulang," ucap gue.
"Aku pulang kalau kamu udah tidur, Shev," ucap Hana keras kepala.
Gue mendengus agak keras. Hana memang keras kepala.
"Terus siapa nanti yang anterin kamu pulang kalau kamu tungguin aku sampai tidur?" ujar gue.
"Ya aku pulang sendiri lahhh!" jawab Hana.
Gue mendesis.