“Wong Londo teko! Londo teko!”[1]
Terdengar suara teriakan dan peringatan dari segala penjuru. Suara kentungan yang dipukul dari gubuk-gubuk perempatan saling bersahut-sahutan. Bukan hanya itu, suara jeritan para wanita dan tangis anak-anak ikut menyemarakkan suasana genting malam itu.
Beberapa api sudah berkobar, membakar rumah-rumah kayu di beberapa sudut. Asapnya membumbung sampai ke langit, menutupi setiap jalan, langkah dan mata yang mencari arah.
“Pak!” Seorang wanita menarik lengan suaminya dan memeganginya dengan begitu erat. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang tidak bisa lagi dijelaskan. “Ojo, Pak! Ayo mlayu wae! Aku emoh nek kowe kenek opo-opo.”[2]
Wanita itu tidak mampu lagi membendung air matanya. Tangan mungil anak laki-lakinya tergenggam erat di tangan kanan yang terus gemetar. Sementara, anak kecil itu hanya menatap kedua orang tuanya dengan tatapan polos, tidak mengerti bahaya apa yang sedang mengintai mereka.
“Aku kudu ngewangi, Sur. Aku gak iso ndelik lan meneng wae.”[3] Karman—nama suami wanita itu—melepas cengkeraman istrinya dengan lembut. Dia mengusap rambut putranya, tatapan matanya begitu sedih. “Kowe nang mlayu karo Darsinah lan Budi. Jogo anak-anake dewe yo, Sur. Aku engko mesti nyusul.”[4]
Karman memeluk istrinya dengan penuh kasih. Sekali dia mengecup kening Surti kemudian mencium putranya berkali-kali. Lelaki itu menarik napas dalam, seakan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan buruk yang pasti akan terjadi.
Karman bergegas memasuki dapur. Dia mencari di balik rak kayu yang tertutup kain lusuh. Mengambil sebuah celurit dari sana. Celurit yang terlihat sedikit berkarat, tetapi berujung sangat tajam.
Surti menatap suaminya dari ambang pintu dapur. Tatapan mata itu menunjukkan ketakutan yang begitu besar. Takut akan kehilangan suami untuk selamanya.
“Ayok mlayu bareng, Pak!”[5] Surti masih berusaha meyakinkan suaminya. Dia sungguh tidak ingin membiarkan Karman ikut melawan belanda. Tangannya gemetar, tetapi dia tetap memegang tangan Karman dengan begitu erat.
“Sur, aku ki yo pejuang. Opo aku iso ndelik, tapi wong lanang liyane ngorbano awake kanggo nglawan Londo?”[6]
“Kowe gak mungkin iso menang, Pak. Kabeh gak iso menang! Londo nduwe bedil, nduwe bom, la kowe nduwe opo, Pak?”[7] Surti terus terisak. Tangannya tidak mau melepaskan tangan Karman.
“Aku nduwe semangat, Sur. Aku nduwe jiwa pejuang seng ngalir neng getihku. Genderone Indonesia iso munggah kerono perjuangan lan pengorbanan. Abang getih lan putih balung dadi dasar warnane gendero, ogak tanpo alasan, Sur.”[8]
Karman memasang wajah serius. Dia sesungguhnya tidak ingin membuang waktu. Sudah banyak korban yang terpaksa harus kehilangan nyawa mereka untuk menghadang Belanda menguasai wilayah mereka.
“Goleki Darsinah, Sur! Mlayuo! Aku ape gabung karo ....”[9]
Kalimat Karman menggantung bersamaan dengan tekanan udara yang tiba-tiba berubah panas dan menyesakkan. Suara ledakkan yang memekakkan telinga tidak lagi membuat mereka terkejut. Bahkan, putra kecil mereka tidak sempat menangis. Rumah gubuk itu sudah porak poranda, sebelum ada yang menyadarinya.
***
“Bismillahirrahmanirrahim. Qul yaa ayyuhaa alkaafiruuna, laa a'budu maa ta'buduuna, walaa antum ‘aabiduuna maa a’budu, walaa anaa ‘aabidun maa ‘abadtum, walaa antum ‘aabiduuna maa a’budu, lakum diinukum waliya diini.”
Darsinah menutup jus’ama kemudian menarik napas dalam-dalam. Dia menatap Kyai Safi’i dengan ekspresi berharap. Ini kali ketiga dia membaca surah Al-Kafirun, berusaha melafalkan dengan benar dan lancar.
“Alhamdulillah, Nah. Saiki kowe iso moco lancar, Nduk,”[10] tutur Kyai Safi’i sambil menepuk kepala Darsinah.
“Enggeh, Mbah Yai. Berarti pun leres nggeh?”[11] Darsinah membenarkan selendang yang menutupi rambutnya.
“Iyo, Nduk.” Kyai Safi’i melihat jam dinding di belakang Darsinah. Keningnya berkerut. “Nah, iki wes dalu. Nang bali! Engko digoleki bapakem. Sesuk nang mrene neh bar asar.”[12]
Darsinah menoleh. Dia sedikit terkejut saat melihat jam yang menunjukkan pukul 20.45.
“Astaghfirullah, Mbah Yai. Mangke bapak kulo ngamuk niki.”[13] Darsinah memasukkan jus’ama ke dalam tas dari karung goni yang dibuatkan sang ibu. Sedikit menjinjing jarit yang melilit di tubuhnya. “Kulo pamit rumiyin, Mbah. Assalamualaikum”[14]
Darsinah mencium punggung tangan Kyai Safi’i sebelum bangkit dan berjalan ke arah pintu depan.