Darsinah mematung di depan tumpukan kayu yang menghitam dan tidak lagi berbentuk. Dia bergeming. Gadis desa itu bahkan, tidak mampu menggerakkan tangannya yang menggantung lemas di kedua sisi tubuhnya. Selendang panjang yang semula menutupi rambutnya yang digelung, kini hanya tersampir tak berdaya di pundak yang tidak lagi tegap. Darsinah tidak mampu lagi mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Tatapannya kosong begitu lama. Pemuda yang sejak tadi berlari untuk mencegahnya, kini berdiri tidak berdaya di belakang gadis itu. Beberapa kali Purnomo menatap punggung Darsinah. Tidak bergetar sama sekali, gadis itu tidak menangis. Namun, kedua tangannya mengepal sambil mencengkeram kedua sisi jarit yang membelit tubuhnya.
“Nah ...,” Purnomo memberanikan diri mendekati Darsinah, “kene kudu ngaleh teko kene, sakdurunge wong Londo balik.”[1]
Darsinah tidak menanggapi. Tatapan matanya terus terpaku pada reruntuhan rumah yang tidak lagi layak ditinggali. Tidak sama seperti saat terakhir kali dia meninggalkannya tadi sore.
Dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Dia begitu ingin menjerit sekencang-kencangnya. Dia ingin menghampiri para orang Belanda dan mencabik tubuh mereka semua sampai menjadi debu yang tidak akan pernah lagi bisa ditemukan siapa pun, bahkan angin sekalipun.
“Aaaaa!”
Tiba-tiba Darsinah histeris. Kedua tangannya mencengkeram rambut, dia berlutut sambil terus berteriak begitu keras. Dia tidak peduli lagi, jika saat itu juga peluru panas menembus jantungnya. Rasa sakit yang dia rasakan melebihi panas timah itu sendiri.
“Maak! Bapak! Budi!” Darsinah bangkit. Dia berlari ke arah rumah yang tidak berbentuk lagi. Mengais abu-abu kayu dan sesek[2] yang telah berubah warna menjadi kelam.
Dalam hati, Darsinah tidak ingin percaya keluarganya telah tiada. Setidaknya tidak dengan cara seperti ini. Bapaknya seorang pejuang. Emaknya selalu mendidik Darsinah untuk menjadi gadis kuat, tetapi tidak ada yang bisa membuatnya kuat untuk saat ini. Adiknya, Budi, anak kecil itu bahkan baru berumur lima tahun. Dia begitu murni dan belum mengerti betapa ganasnya hidup di dunia ini.
Kini gadis itu terisak. Terisak sampai dadanya terasa begitu nyeri dan sesak. Seakan-akan hatinya menciut seiring dengan setiap ketidakpastian tentang kehidupan keluarganya.
“Nah!” Purnomo berlari menghampiri Darsinah. Pemuda itu berusaha menghentikan Darsinah mengais abu dan mengangkat beberapa kayu yang sudah benar-benar gosong. “Leren, Nah! Leren! Nganggur. Opo gunane ngene ki?”[3]
“Mak, Pak!”
Darsinah tidak memedulikan Purnomo sama sekali. Dia terus mengais sisa-sisa kehancuran yang bahkan tidak pernah mereka pikirkan sama sekali. Mengangkat beberapa kayu dan membuangnya menyamping. Tidak ada tanda-tanda emak, bapak, atau bahkan adik laki-lakinya.
“Darsinah!” Purnomo mencengkeram kedua tangan gadis itu, tetapi Darsinah tetap meronta. “Leren!” Kali ini Purnomo membentaknya lebih keras.
Darsinah tidak terkejut, tetapi dia menjadi diam. Hanya terdengar suara isakan pelan dan tatapan mata kosong yang menghiasi wajah ayunya. Tenaganya seakan terkuras habis, bersamaan dengan kehancuran yang akan selalu membekas di hati sampai nyawanya tidak bersemayam lagi di dalam raga.