Yu Darsinah (Abang Getih, Putih Balung)

Eka A Anggraeni
Chapter #3

Tekad dan Perpisahan

Purnomo harus menarik Darsinah berkali-kali agar gadis itu mau berjalan dengan langkah yang mantap. Sesekali pemuda itu terpaksa harus menarik Darsinah untuk bersembunyi di balik semak rimbun yang di atasnya dipenuhi tumbuhan tali putri. Dia juga sering membisikkan instruksi kepada Darsinah, agar gadis itu waspada dan tidak ceroboh. Namun, sepertinya percuma.

Darsinah masih terus tidak fokus. Tatapan matanya masih terus kosong. Walau suara tangis tidak keluar dari bibirnya, tetapi air mata masih terus mengalir tanpa henti. Ekspresi wajahnya terlihat begitu kaku. Tidak ada kernyitan di dahinya, tidak ada ekspresi sedih, tidak ada kerutan di samping matanya, apalagi di kedua ujung bibirnya. Wajah gadis itu hanya bagaikan pahatan patung yang tidak menunjukkan ekspresi.

Purnomo tahu benar apa yang sedang menguasai pikiran Darsinah. Pemakaman keluarganya yang tidak layak, membuat gadis itu tidak bisa menunjukkan kesedihannya lagi. Saat menemukan mayat emaknya sedang bergandengan tangan dengan sang bapak di bawah kerangkan atap yang sudah hancur, Darsinah bahkan tidak lagi menangis dengan tersedu-sedu. Hanya ada air mata yang terus keluar, tetapi tidak terdengar isakan sama sekali.

“Nah,” bisik Purnomo saat mereka berteduh di sebuah gubuk tepat di tengah hutan. “Kene kudu golek panggon seng aman.”[1]

Purnomo melirik Darsinah. Gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa pun.

“Aku niate pengen budal neng Mulyoagung. Neng kono ono kelompok gerilya. Aku pengen gabung karo kelompok iku lan melu ngelawan Londo.”[2] Purnomo menyandarkan kepalanya di tiang penyangga atap gubuk.

“Kowe iso melok rombongan Kyai Safi’i engko, Nah. Kowe bakal aman,”[3] lanjut Purnomo.

Untuk sesaat, Purnomo berpikir tidak akan mendapat jawaban apa pun seperti sebelumnya. Namun, samar-samar Purnomo mendengar Darsinah berbisik.

“Kowe ngomong opo, Nah?”[4]

Darsinah menoleh. Menatap Purnomo dengan tatapan yang masih sama. Namun, kali ini terlihat tekad kuat di manik hitam legam itu.

“Budalo neng Mulyoagung, Kang. Aku ape balik ning Banyuurip.”[5]

Purnomo terkejut mendengar jawaban Darsinah. Pemuda itu berdiri dengan begitu cepat, sampai kakinya tergores paku berkarat yang mencuat di tiang bagian bawah. Namun, dia tidak mengeluh sama sekali.

“Opo kowe wes bento, Nah? Kowe malah ape balik neng panggon seng wes dikuasai Londo?”[6]

Darsinah hanya mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya. Air mata di kedua pipinya mulai mengering. Meninggalkan bekas seperti aliran yang dibatasi noda hitam bekas jelaga.

Gadis itu sepertinya sungguh-sungguh dengan ucapannya. Walau dia tidak menjawab, tetapi Purnomo bisa merasakan ada tekad kuat di setiap ucapannya.

“Nah, ojo nglakoni hal goblok!”[7]

Darsinah tetap diam. Dia membaringkan tubuhnya di atas tikar yang tergelar di gubuk dan memejamkan mata. Dia begitu lelah. Kelopak matanya terasa begitu berat dan panas. Setelah mengeluarkan air mata sebanyak itu, kini dia merasa bola mata itu begitu kering.

“Aku pengen merem sedelok, Kang. Aku gak kuat melek neh,”[8] ucap Darsinah lirih.

Lihat selengkapnya