“Nee, nee, nee. Dit is niet waar, Alderts.[1] Why U malah membawa wanita itu ke dalam?” Suara itu begitu lantang, terdengar sampai ke kamar sempit yang di dalamnya hanya ada satu ranjang dari besi dan nakas kayu yang dicat putih.
Laki-laki bernama Alderts itu melirik ke arah kamar yang ditunjuk sang Mayor. Sengaja, Alderts berjalan dan berhenti di depan pintu kamar itu, menghalangi pandangan Mayor Benerd.
“De vrouw raakte gewond vanwege ons leger.”[2]
Mayor Benerd menyeringai mendengar jawaban Alderts. Lelaki Belanda itu jelas tidak begitu saja mempercayai ucapan Alderts.
“U bersimpati pada orang-orang pribumi? Je zult onze troepen in de ogen van de gouverneur in verlegenheid brengen![3]”
“Wanita itu adalah tahanan di sini. Is dit het daar niet mee eens om mijn grondgebied te zijn?[4]” Aldert menyunggingkan senyum hormat pada Mayor Benerd.
Mata Mayor Benerd melebar. Namun, dalam sekejap mata itu kembali menyipit dan menatap Alderts penuh curiga.
“U mau menjadikannya gundik? Atau babu? Aah, atau mungkin U mau menjadikannya Nyai?” Benerd mengakhiri pertanyaannya dengan tawa yang begitu keras. “Je bent net aangekomen, maar het was zo verlangend, Alderts.[5]
Alderts mengerutkan kening. Dia tidak terlalu suka cara bicara Mayor Benerd. Lelaki itu hanya suka berkuasa karena dia memiliki hubungan dekat dengan gubernur. Tanpa sadar, Alderts menunjukkan tatapan dingin kepada Benerd.
“Ja, ja. Ik vertrek binnenkort. Veel plezier!”[6]
Lagi-lagi Mayor Benerd tertawa terbahak-bahak. Dia mengambil topi putih miliknya yang sejak tadi diletakkan di atas meja kaca. Wajahnya begitu semringah saat keluar dari rumah yang dulunya adalah milik salah seorang tuan tanah yang menyerahkan rumah itu dengan sukarela, sebagai ganti dari nyawanya.
Alderts menghela napas. Dia berbalik dan menatap pintu kamar bercat putih yang saat ini ada di hadapannya. Cukup lama Alderts mematung sambil terus mengawasi pintu itu, sebelum akhirnya dia berbalik dan keluar.