Purnomo menatap selembar daun pisang yang sudah kering. Sudah hampir satu minggu sejak dia bergabung dengan para gerilya liar yang dipimpin Hartono. Namun, pemuda itu masih menyimpan surat singkat yang ditulis Darsinah sebelum gadis itu meninggalkannya sendirian di tengah hutan.
Setiap malam, sebelum bisa memejamkan mata, Purnomo selalu memikirkan gadis malang itu. Bagaimana nasibnya sekarang? Apakah dia masih hidup? Atau mungkin sudah dijadikan budak Belanda?
Semua pertanyaan itu terus muncul di benaknya. Dia bahkan begitu sulit memejamkan mata setiap kali nama Darsinah muncul di pikirannya. Kyai Safi’i yang juga ikut mengungsi di Desa Mulyoagung bersama santri lain, menanyakan keberadaan Darsinah saat pertama kali melihat Purnomo.
“Kang Pur, ono rapat neng omahe Kang Murdi.”[1]
Purnomo tersentak. Dia menoleh ke asal suara. Itu Dirman, salah satu anggota GL—Gerilya Liar—yang bergabung bersamaan dengannya. Dirman masih begitu muda. Dia baru berumur delapan belas tahun beberapa bulan lalu.
“Rapat opo, Man?”[2] Purnomo bangkit. Dia mengusap pantatnya yang penuh rumput kering.
Dirman mendekati Purnomo. Melirik ke kanan dan ke kiri, memeriksa tidak akan ada yang menguping pembicaraan mereka.
“Ape bahas pengiriman pasukan neng daerah Rengel. Rengel diserbu gede-gedenan, Kang.”[3] Dirman membisikkan itu ke telinga Purnomo.
Purnomo mengerutkan kening. Pemuda itu bergegas berjalan ke arah rumah Kang Murdi.
“Pasukane kene seng ape dikirim? Kene dewe yo butoh bantuan, Man.”
“Aku yo kurang paham, Kang,” jawab Dirman sambil mengikuti langkah cepat Purnomo.
Purnomo menghela napas. Dia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin pemimpin mereka berpikir akan mengirimkan bantuan pasukan ke Rengel? Di daerah sekitar saja, Belanda terus mengadakan pembersihan. Menghancurkan tiap desa sekitar wilayah kekuasaan mereka yang memiliki pertahanan rendah.
Purnomo sampai di rumah Kang Murdi. Di dalam sudah ada sekitar sepuluh pemuda yang duduk di lantai sambil mendengarkan penuturan Kapten Hartono. Purnomo dan Dirman ikut masuk dan duduk di dekat pintu.
“Gek maeng aku oleh kabar soko Seksi Sucipto, setengah soko gerilyawan dikirim neng Rengel, tapi ... Saringembat yo diserang isuk mau,” jelas Kapten Hartono.
Purnomo mengerutkan kening. Dia menatap Dirman tidak mengerti. Pemuda berkulit kuning langsat itu hanya menanggapi tatapan Purnomo dengan kedikan bahu.
“Bukane kene kudu ngewangi Rengel, kapten?” tanya Purnomo.