Lebih aneh lagi, tidak ada satu prajurit pun di pintu penjara. Tidak ada juga di dalam. Penjara itu bebas dari penjagaan. Hanya ada penduduk-penduduk yang meringkuk di dalam jeruji. Para laki-laki tua yang sudah renta, wanita-wanita dari yang masih belia sampai yang sudah tua. Penampilan mereka begitu lusuh, tetapi tidak terlihat lemas. Seakan-akan mereka makan dengan teratur dan tidak kekurangan.
“Darsinah!” seru seseorang di antara para wanita.
Darsinah menghampiri penjara itu. Ada seorang wanita tua yang berjalan sambil membungkuk ke arah pintu jeruji. Setelah cukup dekat, Darsinah bisa mengenalinya.
“Mbah Sumi ...,” ucap Darsinah lirih. Ada perasaan lega yang menguasai hatinya.
“Ya Allah, Nduk. Kowe isek urip, Nak.” Suara Mbah Sumi terdengar begitu lirih dan serak. Ada bekas air mata yang mengering di wajahnya yang begitu kotor. “Pasaku kowe wes mati. Omahem ajur, bapak mbek mak’em ....” Mbah Sumi tidak sanggup melanjutkan.
Mbah Sumi adalah saudara dari kakek Darsinah yang sudah meninggal. Dia tinggal di dekat pertigaan, lumayan jauh dari rumah Darsinah.
"Nggeh, Mbah. Alhamdulillah, Mbah taseh sehat.”
Darsinah tidak ingin membahas tentang kedua orang tuanya saat ini. Ada begitu banyak luka yang akan melebar setiap kali pembahasan itu diangkat.
Dia mengalihkan pandangan. Mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghancurkan gembok rantai yang melilit pintu jeruji. Kalau dia tidak bergegas, mungkin saja akan ada prajurit yang menangkap basah dirinya.
“Kowe ape opo, Nah?” tanya laki-laki berumur di awal enam puluh tahunan yang sudah berdiri di balik jeruji besi sambil menatap Darsinah.
Darsinah tidak menjawab. Dia masih terus mencari benda yang bisa menghancurkan gembok penjara.
“Enteni, engko aku balik neh.”
Darsinah berlari ke luar. Mengintip di balik pintu, sekadar memeriksa apa masih tidak ada prajurit penjaga di sekitar tempat itu. Keningnya berkerut. Ada yang tidak beres. Sekarang semua prajurit benar-benar tidak ada.
Mata bulatnya melihat sebuah kapak berkarat yang teronggok di bawah pohon pisang. Darsinah berlari dengan cepat dan menyambar kapak itu. Detak jantungnya berpacu. Dia bahkan menarik napas pendek-pendek, perasaannya benar-benar tidak tenang.
Saat dia sudah kembali di dalam, gadis itu berpegangan erat pada pintu jeruji. Dia takut, keringat dingin sudah membasahi kening dan pelipisnya.
“Nah, opo seng pe mbok lakoni?” tanya Mbah Sumi.
“Mbebasno kabeh soko kene.”
Darsinah mengayunkan kapak ke arah gembok besar yang tergantung di rantai. Tidak ada yang terjadi. Hanya ada percikan samar yang tercipta karena sentuhan kapak yang sudah berkarat dengan gembok besi besar. Tangan Darsinah mengayunkan kapak berkali-kali, tetapi gembok besi itu bahkan tidak bergeming.
“Nah, leren, Nah! Engko nek kowe ditangkep karo wong Londo.”
Mbah Sumi berusaha menghentikan Darsinah, tetapi Gadis itu tidak mau mendengarkan. Dia terus menghantam gembok besi dengan kapak berkarat.
Darsinah sesekali mengibaskan tangannya yang mulai kebas. Dia bahkan masih terus mengayunkan kapaknya saat gemboknya terlepas dari engselnya.
“Alhamdulillah!”
Darsinah melempar kapak itu sembarangan. Dia membuka gembok secepat tangannya bisa. Walau saat itu tangannya sedikit gemetar, tetapi yang ada di pikirannya hanya secepat mungkin membebaskan para tahanan.
“Ya Allah, Darsinah.”
Mbah Sumi yang pertama keluar. Wanita tua itu langsung memeluk Darsinah sambil menangis haru.