Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #5

Isu Tak Sedap

Pertanyaan yang kerap ditanyakan wartawan adalah, siapa nama Yu Limbuk sebenarnya? Yu Limbuk bernama asli Ngatinem, anak dari pasangan Sadiyo dan Ngatini yang lahir pada tahun 1939. Tentang tanggal lahir tidak diketahui. Lho bagaimana dengan keterangan di KTP-nya? Jadi saat mengurus KTP, orang-orang yang sudah tua atau lanjut usia yang tidak memiliki dokumen jelas tanggal berapa dia lahir, maka pemerintah menuliskan lahir pada tanggal 31 Desember. Jadi di KTP-nya, Yu Limbuk lahir pada tanggal 31 Desember 1939.

Sadiyo, ayahnya, adalah seorang petani dari Desa Bayat, Klaten, sekitar 40 km dari Kota Solo. Sementara Ngatini, sang ibu, adalah anak buruh batik di Solo. Ngatini remaja ikut kerja pada seorang pedagang sayuran di Pasar Kembang, Solo, di mana dia bertemu dengan Sadiyo remaja yang kerap memasok hasil pertanian dan palawija dari desa. Keduanya menikah saat Sadiyo berumur 19 tahun dan Ngatini berumur 17 tahun. Dari pernikahan inilah kemudian lahir Ngatinem alias Yu Limbuk.

Ngatinem tumbuh sebagai gadis yang riang, supel, semanak, grapyak, seolah tak ada duka dalam hidupnya. Mau hujan panas, perut lapar, dia selalu menampakkan senyum di wajahnya. Optimisme dan semangat hidup benar-benar terpancar dari matanya. Tak heran bila banyak orang yang menyukainya, termasuk Lurahe Pratomo dan istrinya. Lurah di sini bukanlah lurah dalam konteks pejabat desa, namun panggilan yang kerap disandangkan pada para borjuis, yang tak jarang masih ada bau-bau kekerabatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo. Lurahe Pratomo memiliki beberapa rewang yang memiliki tugas berbeda-beda, salah satunya ada rewang khusus yang bertugas menemani atau momong Candik Ayu, anak perempuan mereka yang berumur 6 tahun. Nah, untuk posisi ini, pasangan orang kaya itu jatuh hati pada Ngatinem dan memintanya momong Candik Ayu.

Ngatinem hanya sekolah sampai kelas 2 Sekolah Rakyat (SR) atau setara SD saat ini. Namun, dia sudah bisa menulis dan membaca, plus hitungan sederhana. Pada usia 12 tahun, dia mulai momong Candik Ayu, menemaninya main masak-masakan, boneka, dan lain sebagainya. Candik Ayu sepertinya senang, karena kebetulan umur Ngatinem juga masih terbilang anak-anak.

Di rumah juragannya itulah nama Limbuk disematkan. Limbuk adalah nama tokoh pewayangan yang merupakan anak dari Mbok Cangik. Limbuk digambarkan sebagai gadis kecil yang riang dan lucu, suka bertingkah konyol, tetapi di sisi lain memiliki budi pekerti yang luhur, daya nalar yang bagus, yang biasanya hanya dimiliki anak-anak yang makan bangku sekolah. Sejak saat itulah dia kerap dipanggil Limbuk dan orang mulai lupa bahwa nama dia sebenarnya adalah Ngatinem.

Limbuk menyukai keluarga Lurahe Pratono karena meskipun kaya, mereka adalah keluarga yang baik. Sayangnya, Limbuk hanya bertahan di sana dua tahun saja, karena saat umur 10 tahun Candik Ayu diboyong keluarganya pindah ke Jogja dan rumah di Solo laku terjual.

Di usia 14 tahun itulah Limbuk remaja mulai mencari pekerjaan baru. Tak butuh waktu lama, Bu Renggo pedagang nasi gudeg "meminang" gadis itu untuk membantunya berdagang. Awalnya hanya membantu menunggu dagangan di Pasar Hardjodaksino. Namun, lama-lama Limbuk berkeliling mengantar nasi gudeg ke pelanggan, selain juga mencoba menawarkan ke pembeli baru. Nasi gudeg Bu Renggo terkenal enak dan murah. Kebanyakan yang membeli adalah pedagang pasar dan pengunjung pasar, hanya sebatas itu. Sejak kehadiran Limbuk, dagangan nasi gudeg juga ditawarkan dari kampung ke kampung di sekitar pasar. Tak hanya menjualkan dagangan Bu Renggo, Limbuk juga diajari tentang cara memasak gudeng serta resep rahasia Bu Renggo yang sedap itu.

Saat wabah penyakit pes menyerang Kota Solo, hidup Limbuk menjadi salah satu yang terimbas. Kedua orangtuanya meninggal berturut-turut hanya selisih beberapa hari karena terkena penyakit pes. Saat itu, pemerintah menyemprot rumah-rumah warga dengan disinfektan. Semua orang tidak boleh keluar dari rumah, kecuali mereka yang bertugas untuk penyemprotan disinfektan dan penyaluran bahan makanan. Semua kebutuhan pangan yang utama seperti beras, bahan mentah seperti tempe, kadang telur, serta bumbu dasar seadanya di-drop pemerintah dari rumah ke rumah. Yang membuat Limbuk sedih adalah saat pemakaman kedua orangtuanya yang nyaris tak ada pelayat. Tak orang yang berani mendekat. Bahkan usai mengikuti pemakaman kedua orangtuanya, Limbuk harus mandi keramas sampai bersih supaya tidak terkena penyakit pes.

Sejak itu Limbuk hidup menumpang di rumah Budhenya, sambil terus berjualan gudeg keliling untuk bertahan hidup. Kisah ini selalu diceritakan dalam berbagai penggal kepada anak-anaknya. Utamanya soal tak menyerah pada nasib. Yu Limbuk seperti ingin mengajarkan, bahwa hidupnya bukanlah hal yang mudah. Anak-anaknya beruntung karena tinggal meneruskan kerja keras orangtuanya dan mereka harus bersyukur.

"Tahun 1956 itu jadi resminya jualan ya atau gimana?" tanya seorang pengunjung dari Jakarta yang datang ke Tambak Segaran untuk mencicipi Gudeg Yu Limbuk.

"Kalau jualan kelilingnya sebelum itu, Bu. Tapi itu kan jualin dagangan orang. Kalau yang masak sendiri dan akhirnya bener-bener usaha sendiri ya tahun 1956 itu, Bu. Jualannya awalnya hanya di rumah, tapi dibantu bapak ngirim-ngirim juga kalau ada pesanan," terang Atun yang tengah melayani pengunjung.

Lihat selengkapnya