Atun memandangi adik-adiknya, Yati, Yanto, Yadi dan Tini. Isu itu benar-benar membuatnya gusar dan ingin tahu dari mana sumbernya. Bagaimana mungkin ada isu bahwa Gudeg Yu Limbuk tidak halal? Setelah bertahun-tahun kenapa baru sekarang muncul? Padahal mereka juga sudah lama memiliki sertifikat halal.
"Jangan sampai Simbok dengar soal ini. Simbok sudah sakit-sakitan nanti malah kepikiran," kata Tini memecah kebisuan.
"Di, menurutmu bagaimana? Kamu yang ngurus pasokan daging ayam dari supplier, kamu benar-benar yakin kan bahwa semua proses pemotongan ayam dilakukan secara syariah?" tanya Atun.
"Lha dari dulu kan aku ambil ayamnya dari Pak Condro. Di sana sudah punya sertifikat halal. Setahuku ya sudah syariah. Tapi aku juga kan nggak mungkin cek setiap prosesnya. Kalau ke sana ya tinggal ambil saja," jelas Yadi. Semua saling berpandangan. Tidak tahu di bagian mana kesalahan mereka dan kenapa tiba-tiba hal ini dipersoalkan.
"Apa mungkin kita terlalu reaktif ya? terlalu baper? Mungkin benar apa yang dikatakan Mas Tono, mending dibiarkan saja, lama-lama akan hilang sendiri. Yang sudah langganan ke kita bertahun-tahun masak iya mau percaya gosip murahan ini begitu saja. Sambil kita sedikit demi sedikit, jangan terlalu mencolok, mensiosialisasikan bahwa kita halal," ungkap Tini mengingat omongan Tono, kakak tertua yang lagi-lagi absen dari pertemuan keluarga.
"Aku punya usul ini, gimana kalau kita mengundang anak yatim piatu dari pondok pesantren untuk makan bersama di sini, sekalian undang wartawan," usul Yanto.
"Supaya orang berkesimpulan bahwa ... ini lho, santri pondok pesantren aja pada makan di sini, nggak mungkinlah kalau rumah makan ini nggak halal, begitu?" tanya Yadi. Yanto mengangguk cepat, sepertinya sang adik menangkap maksudnya.
"Dosa lho, Mas kayak gitu. Kita jatuhnya pencitraan tetapi memanfaatkan anak yatim piatu. Kecuali ada momentum pas, misalnya bulan Ramadan kayak biasanya kita lakukan. Lha ini tumben-tumbenan tak ada angin tak ada hujan," Yadi mengingatkan kakaknya. Dalam hati, Yanto membenarkan apa yang disampaikan Yadi. Sepertinya kalau niatnya begitu akan kurang pas.
Pertemuan keluarga itu hanya menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan membiarkan fitnah itu dan lebih memilih untuk selalu aktif mensosialisasikan bahwa Gudeg Yu Limbuk adalah halal. Sejauh ini, langkah itu adalah yang paling baik, tidak reaktif dan berharap orang tidak akan termakan isu tak jelas itu.
***
Gadis itu menoleh lagi ke arah belakang, memandang ke arah kasir. Sesekali dia melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dia seperti gusar akan ketinggalan sesuatu. Yanto selalu begitu, bilang bahwa dia tidak ada kerjaan dan bebas dari tanggung jawab terkait pengelolaan Gudeg Yu Limbuk. Tetapi saat disamperi, masih saja ada hal yang dia kerjakan.
"Nunggu Mas Yanto, Mbak Tiara?" tanya seorang pegawai sambil ngelap meja di samping gadis itu. Yang ditanya menggangguk sambil memasang muka sebal. Satu sisi, dia merasa Yanto memiliki etos kerja yang bagus, namun di sisi lain dia merasa sering diabaikan. Ini bukan kali pertama Yanto molor saat janjian.
"Masih lama nggak, Mas? Mbok minta tolong dibilangin ke Mas Yanto, sudah ditunggu," pinta Tiara. Pegawai laki-laki itu mengangguk dan tersenyum, lalu berlalu dari hadapan Tiara. Pegawai itu menghampiri Yanto yang terlihat sibuk di bagian kasir. Yanto sadar Tiara menunggu agak lama, lalu dia melambaikan tangan ke arah Tiara.
Sekitar 5 menit kemudian, Yanto sudah berdiri di depan Tiara. "Maaf, aku pikir akan bakal cepet rekapannya. Tapi ternyata molor. Mbak Dewi yang bagian kasir sakit, aku harus backup Santi, karena dia anak baru. Hmmm ... marah ya?"
"Kamu selalu begitu, Yan. Kita sudah terlewat nih kalau mau nonton jam 4. Sebel banget, padahal sudah nunggu-nunggu nonton film ini," Tiara cemberut.
"Atau kita makan dulu, nanti nonton di jam berikutnya?" rayu Yanto. Tiara menggeleng cepat.