Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #8

Diam-Diam Bergerak

Yanto menatap Atun dengan lega. Satu hari telah dilewati, satu masalah telah berhasil diselesaikan. Hari ini, mereka terpaksa menutup cabang Gading hanya supaya pesanan terpenuhi dan rumah makan pusat tetap buka menyusul berhentinya pasokan nangka muda dari supplier langganan. Ini bukan masalah yang sepele lagi, tetapi harus segera dicarikan solusi.

Pesanan 100 dus untuk peserta seminar di balaikota akhirnya bisa terpenuhi, masih ada stok untuk dijual di rumah makan. Tapi hari ini tutup lebih awal karena stok sudah habis. Untuk besok, masih ada sisa gori yang bisa digunakan untuk Tambak Segaran maupun cabang Gading. Tapi hari berikutnya adalah masalah baru, karena sampai sekarang pasokan dari Pak Sodikin tidak ada sama sekali.

“Aku mangkel sama Pak Sodikin itu. Maunya apa gitu lho? Sudah kutanya kendalanya apa? Nggak dijawab. Kutantang untuk berhenti kerja sama, jawabnya 'saya manut saja',” Atun menyatakan kegeramannya pada supplier gori itu. Padahal gori adalah bahan utama. Mereka juga sudah bekerja sama lebih dari 10 tahun tidak pernah ada masalah.

“Kalau aku lihat dari jawabannya ya, Mbak ... sepertinya memang dia tidak mau bekerja sama lebih lanjut. Ya sudah, di-cut saja daripada merepotkan. Kita butuh orang yang memiliki komitmen untuk bekerja sama dengan kita,” kata Yanto.

Hari itu Yanto dan adiknya Yadi akhirnya memutuskan untuk mencari pasokan gori di pasar. Mulai dari pasar induk Pasar Legi, Pasar Gede, Pasar Kembang, Pasar Hardjodaksino, dan pasar-pasar lain mereka sapu bersih. Tidak berharap lagi kepada pasokan Pak Sodikin. Untuk saat ini, hasil dari gerakan sapu bersih di pasar-pasar, mereka telah mengamankan pasokan untuk berdagang tiga hari ke depan. Namun, langkah ini juga agak gambling, karena kualitas gorinya bisa jadi berbeda-beda yang bisa berpengaruh pada rasanya.

“Setelah ini kita hanya punya waktu tiga hari untuk mendapatkan supplier baru biar pasokan stok gori terjaga. Gimana, Mas? Ada ide?” tanya Yadi.

“Kamu mbok mikir, Di. Mosok kamu nggak pernah ada pandangan lain. Kamu kan yang bertanggung jawab di bagian logistik.”

“Ada sih Mas. Dulu pernah ada orang yang kontak aku ... tapi harga per kilogramnya selisih Rp2.000. Gimana? Kalau mau aku kontak orangnya,” tawar Yadi. Selisih Rp2.000 per kilogram bukanlah angka yang kecil mengingat kebutuhan mereka banyak dan rutin.

“Sikat aja. Nggak apa-apa, anggap saja kondisi darurat.”

Di dalam mobil bersama adiknya usai kulakan gori, Yanto banyak berpikir tentang apa yang disampaikan pacarnya, Tiara. Ada orang dalam yang berkhianat dan membocorkan soal pertemuan keluarga ke orang luar, yang mungkin karena motivasi persaingan bisnis. Tapi masak iya, ada saudara kandungnya yang mendukung pesaing bisnis untuk menghancurkan bisnis ibunya sendiri?

Sampai saat ini, bagi Yanto tersangka utamanya tetap Tono. Kakak tertuanya yang tidak pernah bisa satu kata dengan saudara-saudaranya dalam hal menjalankan bisnis kuliner ini. Tapi mungkinkah ada yang lain di luar Tono? Yanto menoleh ke arah Yadi, adik laki-lakinya yang saat ini sudah berumur 25 tahun tampak fokus nyetir.

“Apa, Mas?” Yadi bertanya karena merasa dipandangi Yanto.

 “Nggak apa-apa. Bener ya, Di ... itu supplier baru coba kamu kontak,” Yanto membelokkan pembicaraan.

“Di ... emmm, aku ada teman kan ... dia ini kenal sama pakar kuliner Jakarta, Adyatmoko. Nah, ada rencana mau mampir nih ... mau review Gudeg Yu Limbuk kita. Tapi ini rencana masih belum pasti ya ... cuma kayaknya, ini momentum bagus buat kita, dengan banyak masalah begini, sepertinya kita butuh exposure dari orang yang berpengaruh di dunia kuliner seperti Adyatmoko ini. Gimana menurutmu?” Yanto melirik ke Yadi.

“Adyatmoko? Adyatmoko itu? Yang punya program kuliner setiap Sabtu di TVSatu?” Yadi seperti tak percaya. Yanto mengangguk cepat.

“Wah keren ... ambil dong. Tapi ada jaminan nggak review dia nggak akan merugikan kita?”

“Kalau selama ini sih karakter Adyatmoko kan bukan yang review kejam. Tapi kalau ada sesuatu yang kurang pas, dia ngomongnya halus. Misalnya ... ’Jadi ini enak pemirsa. Tetapi memang, kalau yang tidak terlalu suka manis, agak kemanisan dikit. Tapi karena saya suka manis, ya jatuhnya enak’ ... nah semacam itu dia kalau ngomong. Jadi buat resto yang dia review juga tidak bikin sakit hati,” jelas Yanto.

“Ini kita langsung balik ke Tambak Segaran kan, Mas?”

“Iya, Di. Langsung balik aja. Eh soal Adyatmoko, jangan bilang ke yang lain dulu ya. Biar aku pastikan."

“Oke.”

Lihat selengkapnya