Tiara mengekor Mamahnya, memasuki halaman sebuah gedung pertemuan. Begitu masuk halaman, tampak papan nama “Gedung Persaudaraan Wanita”, lalu di sebelahnya berjejer beberapa papan nama lebih kecil yang menunjukkan bahwa gedung itu digunakan sebagai kantor oleh beberapa organisasi.
Baru beberapa langkah, seorang wanita berjilbab merah dengan gamis merah muncul dari sebuah pintu di salah satu bangunan terpisah di gedung itu. Sambil melambaikan tangannya, wanita itu berseru memanggil, “Bu Purnami!”
Tiara dan Mamahnya lalu menghampiri wanita itu. Langsung cipika-cipiki sebagai tanda salam, sebelum kemudian dipersilakan masuk.
“Bu Purnami, kapan mantu nih,” langsung wanita itu main tembak dengan pertanyaan yang entah sudah kali ke berapa didengar Tiara. Tiara hanya bisa tersenyum saat dilirik wanita itu. Padahal hatinya dongkol.
“Bu Enggar, maaf dadakan begini. Ini tadi kan kebetulan mau searah jalan pulang, masih banyak waktu, ya mampir. Mau bilang, kalau saya ambil batik yang kemarin ibu tawarkan,” Mamahnya membelokkan pembicaraan karena sangat tahu topik pernikahan paling dibenci anaknya.
Mendengar itu, wanita yang dipanggil dengan nama Bu Enggar itu terpekik kecil. Serupa kegirangan karena Mamah Tiara akan membeli batiknya. “Ohhh tentu, Bu Purnami. Masih ada. Stok cuma ada satu, spesial ... jadi saya jamin di kota ini tidak ada yang menyamai motifnya. Tapi ya itu, harganya kayak kemarin ... agak mahal, maklum spesial, hahaha ...” ujar Bu Enggar dengan tawa palsunya.
Bu Enggar mempersilakan Bu Purnami dan anaknya duduk. Lalu dia membuka show case minuman dingin yang ada di pojok ruangan, dan menyajikan minuman dingin kepada Bu Purnami dan Tiara, “Silakan diminum ... pasti panas kan di luar,” imbuhnya.
“Bu ... ”
“Hemmm ... ” jawab wanita itu tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk mencari pembuka botol untuk membuka minuman dingin yang disajikan.
“Sendirian ini? Yang lain kemana?” tanya Bu Purnami.
“Di dalam tuh. Pada rapat, mau bakti sosial besok Jumat,” jawab Bu Enggar. Wanita itu selesai membuka botol minuman dingin, lalu duduk.
“Aktif ya pengajiannya ... ”
“Banget ... anggotanya terus bertambah. Eh, Tiara masih pacaran kan sama anaknya Yu Limbuk? Lha kapan nih diresmikan?” Hihhh, Tiara tersenyum kecut. Lagi-lagi balik ke situ.
“Nanti pasti dikabari kalau jadi. Tenang, nggak bakal lupa sama Bu Enggar,” sambar Bu Purnami.
“Eh tapi saya dengar Yu Limbuk mulai bangkrut ... eh ... maksud saya,” Bu Enggar menutup mulutnya, tidak melanjutkan kalimatnya.
“Biasa, dalam bisnis kan ada naik turun, tapi bukan berarti bangkrut kan, Bu. Lha Ibu tahu dari mana?”
“Eh, tapi jangan tersinggung ya Bu ... saya cuma denger saja obrolan ibu-ibu di sini. Kemarin Bu Ambar sempat cerita soal itu ... eh ... ” Bu Enggar kembali menutup mulutnya, seolah menyesal telah menyebut nama.
“Ah nggak apa-apa. Saya sih, yang penting anaknya saling suka. Tidak memandang harta kekayaan. Bu Ambar yang mana sih?” pepet Bu Purnami, sambil melirik ke arah Tiara. Tiara menahan senyumnya.