Hari yang cerah untuk pacaran. Yanto mengajak sang pacar, Tiara, untuk mencari bakso sore ini. Tujuan utama adalah Bakso Remaja di kawasan Kartopuran. Sebenarnya bakso bukan jenis makanan yang difavoritkan keduanya. Tetapi karena pengen makan yang light dan banyak kuah, akhirnya bakso juga pilihannya.
Meskipun punya rumah makan, Yanto tidak terlalu suka makan di rumah makannya, atau lebih tepatnya bosan. Hanya sesekali saja kalau memang lapar banget dan tidak bisa kemana-mana. Dia lebih suka bawa bekal dari rumah, masakan yang disiapkan oleh Mbok Tarni. Oya, Mbok Tarni adalah pembantu yang sudah mengabdi ke keluarganya sejak Yu Limbuk memiliki rumah sendiri di kampung Panularan, masa kerjanya sudah seumuran Kustiyati, anak ketiga. Mbok Tarni inilah yang kerap menyiapkan makanan untuk bekal Yanto kerja di rumah makan.
“Padahal kalau aku punya rumah makan gudeg gitu, aku pasti akan makan gudeg setiap hari,” Tiara nyeletuk. Yanto tersenyum di belakang kemudi.
“Kalau belum kejadian ya begitu. Kalau sudah bener-bener punya, dijamin eneg. Aku setiap hari lho mencium uap gudeg dan makanan di sana. Kadang kuakali dengan makan ayam gorengnya aja ... tapi tetap, baunya sudah bau gudeg. Ya sesekali makan gudeg nggak masalah, tapi nggak bisa sering-sering juga,” kata Yanto.
"Tapi kenapa ada yang jadi langganan dan sering datang?" kejar Tiara.
"Itu karena dia tidak terlibat atau berada di lokasi masak setiap hari. Dia kan cuma ngerti enaknya pas makan hahaha ... "
Mobil berbelok ke kiri menyusuri Jl Dr Radjiman. Sekitar 200 meter lagi di kiri jalan, mereka akan sampai ke warung bakso Remaja. Sore-sore begini biasanya tidak terlalu ramai, meskipun tetap saja banyak yang beli. Tapi paling padat antara jam 12 sampai jam 2 siang. Bakso Remaja buka dari jam 11 siang. “Eh sebenarnya ada bakso enak juga lho ... tapi jauh. Bakso Prawiroredjo dekat Pasar Gede. Aku pernah nyoba.”
“Taulah. Aku pernah kok. Simbok kalau lagi pengen bakso juga maunya dibelikan di sana,” ujar Yanto santai. Mobil pelan berhenti, mengambil parkir sedikit agak jauh dari warung, karena memang warung bakso Remaja tidak punya lahan parkir untuk mobil. Dari parkiran di bahu jalan itu, keduanya berjalan sekitar 15 meter untuk sampai ke warung.
Tiba di depan warung, terlihat lumayan padat, namun memang masih ada meja longgar. Yanto dan Tiara memilih meja di sisi luar, duduk berhadapan. Belum beberapa detik duduk, seorang laki-laki setengah baya menghampiri.
“Sugeng sonten, Mas Yanto. Lama nggak mampir lho ... bagaimana kabar ibu?” tanya laki-laki itu. Yanto menoleh, lalu tersenyum, lalu meraih tangan laki-laki itu, menyalami.
“Sugeng sonten, Pak. Kok saya nggak ditanya kabar? Hahahaha ... Simbok sehat, Pak ... tapi ya kadang masuk angin biasa. Sudah sepuh biasa. Iya Pak, ini kebetulan pengen anget-anget ... ” Yanto renyah sekali menjawab.
“Komplit ini?” tanya laki-laki itu.
“Saya komplit, Tiara gimana?” Yanto meminta persetujuan pacarnya.
“Aku kosongan, minumnya teh tawar.”
“Oke, Pak ... jadi satu komplit, satu kosongan. Minumnya es teh manis dan teh tawar anget. Matur nuwun sanget, Pak,” kata Yanto.
Tak butuh waktu lama keduanya sudah menghadapi mangkok baksonya masing-masing. Sebuah jamuan makan yang sederhana, murah meriah, tapi memuaskan. Semangkok bakso hanya Rp 15.000 saja sudah mendapatkan bakso isian komplit: bakso daging, irisan daging terpisah, tahu bakso, pangsit goreng, mie kuning dan bihun. Soal penjualnya yang sok akrab, itu sudah biasa bagi Yanto. Karena sebagian besar pedagang kuliner pasti kenal Yu Limbuk dan anak-anaknya.
“Jadi aku sudah ketemu dengan teman Mamah yang jadi anggota pengajian itu. Iya, benar ... isu soal Gudeg Yu Limbuk nggak halal itu memang muncul dari ibu-ibu itu. Teman Mamah namanya Bu Enggar, nah dia punya teman Bu Ambar. Bu Ambar inilah yang kata Bu Enggar sering gosipin usaha keluargamu.” Tutur Tiara.
"Sebentar aku rada bingung. Biar kucerna dulu ya...jadi Bu Enggar adalah teman Mamahmu ... di sini dia tokoh protagonis alias yang bakal bantu kita. Nah, yang jahat itu Bu Ambar? Bingung, soalnya ‘Nggar” dan ‘Mbar’ hampir sama ... ” Yanto nyengir.