Sri Kadarwati masuk ke dalam ruang pertemuan di rumah makan Gudeg Ndoro Bei. Ruangan ber-AC yang mampu menampung sekitar 25 orang itu tampak dipenuhi beberapa orang dengan kamera-kamera dengan tripod. Mereka tampak riuh saling ngobrol dan beberapa sibuk mengutak-atik kameranya.
Saat Kadarwati masuk, keriuhan itu pelan-pelan menghilang, lalu berganti hening. Kadarwati tampak anggun dengan mengenakan dress batik printing dengan motif kombinasi dan dominan warna biru langit. Pas dengan kulitnya yang putih terawat. Harum bau parfumnya seperti menyerbu setiap sudut ruangan itu. Make-up tebal, dengan pergelangan tangan penuh gelang emas, pun jemarinya, membuat orang-orang di dalam ruangan memusatkan perhatian kepadanya.
“Terima kasih sudah datang ya teman-teman wartawan. Wah, saya merasa terhormat sekali lho teman-teman datang ke sini. Hari ini benar-benar jadi momen membahagiakan buat saya, serius ...” ujar Kadarwati dengan kemayu.
Riuh kembali terdengar, meskipun tidak serame sebelumnya. Kadarwati berdiri di tengah-tengah, di antara dua baris tamu-tamunya.
“Sebelum lebih jauh, saya ingin memperkenalkan diri dulu. Harus ya, karena kan belum tentu semua yang di ruangan ini mengenal saya. Beda dong dengan pemilik gudeg yang itu ... yang terkenal se-Indonesia Raya. Saya mah siapa ... hehehehe,” Kadarwati memberi tekanan di kalimatnya dengan tone nyinyir.
“Kenalkan teman-teman, nama saya Sri Kadarwati. Saya adalah pemilik usaha rumah makan Gudeg Ndoro Bei. Sudah paham ya sekarang? Nah ... maksud saya mengundang teman-teman adalah ... karena hari ini ... adalah hari ulang tahun saya ... ” Kadarwati kemudian tersipu.
Satu tepukan tangan terdengar dari seseorang, lalu semuanya tiba-tiba ikutan bertepuk-tangan. “Selamat ulang tahun, Bu!” sebuah suara lantang memecah. Para wartawan berpandangan mencari sumber suara. Laki-laki di pojok tersenyum. Sepertinya bukan wartawan.
“Terima kasih, Mas,” sambut Kadarwati dengan senyum merekah.
Salah seorang wartawan berbisik ke teman sebelahnya, “Lha itu yang mengucap selamat kan anak buah Kadarwati sendiri,” lalu keduanya menahan cekikikan.
“Jadi ya teman-teman, dalam rangka ulang tahun saya, rumah makan Gudeg Ndoro Bei akan me-launching menu baru. Kedatangan teman-teman wartawan di sini adalah sebagai saksi hadirnya menu baru yang bakalan viral dan heboh. Lezatnya tidak tertandingi. Teman-teman nanti langsung bisa melihat dan merasakan,” Kadarwati kembali berapi-api, dan menutup sementara kalimatnya dengan tepuk tangan sendiri. Para wartawan sepertinya tidak tega melihat Kadarwati tepuk tangan sendiri, lalu mereka pun ikut bertepuk tangan.
“Bu, apakah boleh langsung ke sesi tanya jawab? Soalnya beberapa teman di sini harus segera cabut karena ada liputan lain yang lebih penting, Bu,” seorang wartawan yang duduk di pojok kanan nyeletuk. Kadarwati mendelik, seperti mempertanyakan apa yang lebih penting dari ulang tahunnya dan perkenalan menu baru rumah makannya?
“Emang mau liputan apa, ya?” cetus Kadarwati.
“Ada kecelakaan air di Waduk Cengklik, dua meninggal. Kami harus berbagi waktu, Bu. Mohon maaf, Bu ... untuk wartawan kontributor nasional yang hanya ada satu orang di Solo, memang harus meng-cover semua bidang. Tapi masih ada kok teman-teman wartawan lokal yang di sini,” terang wartawan itu sambil memandang ke teman-temannya seperti meminta persetujuan.
Kadarwati mangut-mangut. Akhirnya sesi tanya jawab disegerakan. Beberapa wartawan bertanya hal-hal standar tentang apa nama menu baru, kenapa dibikin menu itu, dan hal-hal yang kurang menarik lainnya. Sebenarnya beberapa wartawan juga sudah mengeluhkan soal penting tidaknya acara ini karena memang news value-nya rendah. Tetapi saat undangan Kadarwati via Whatsapp diberi keterangan di bawah yaitu “NB: ada uang transport”, maka acara itu pun menjadi sangat penting bagi wartawan.
Saat sesi wawancara selesai, Kadarwati memanggil laki-laki yang tadi berteriak lantang mengucapkan ulang tahun. Sementara wartawan tampak riuh berbicara sendiri-sendiri.
“Setan kamu ... katanya hari ini hari baik, wartawan banyak yang longgar!” bisik Kadarwati sambil mencubit laki-laki itu.
“Nuwun sewu, Bu. Lha kan sebenarnya teman-teman wartawan longgar. Lha mendadak ada peristiwa kecelakaan air, kan saya ya nggak tahu,” jawab laki-laki itu tak kalah berbisiknya. Wajahnya menampakkan ketakutan.
“Ya sudah, kamu kasih uang transport di amplop ke wartawan yang mau cabut,” sungut Kadarwati.