Tiara mendekat ke Mamahnya. Lalu melihat ke layar handphone Mamahnya, tampak percakapan di Whatsapp antara Mamahnya dengan Bu Enggar. “Coba kau baca ini ... menurutmu?”
“Halo, Bu Enggar?”
"Iya, Bu Purnami ... saya ada info kok ... tapi janji ya jangan bilang ke siapa-siapa kalau sumber informasi dari saya ya? Janji kan ya, Bu?”
“Iya, Bu ... kayak kenal saya baru aja lho. Jadi gimana?”
"Oya, mau info dulu, batik motif barunya ada lima sudah datang."
Astagaaa!! Tiara menepuk jidatnya.
"Bu A itu kemarin ngerumpi sama beberapa orang di pengajian. Intinya sih, kayaknya emang kehancuran bisnis kuliner Gudeg Yu Limbuk tinggal nunggu waktu aja.”
"Trus?”
"Iya, koran sudah mulai mengangkat isu soal tidak halal itu kan? Persis seperti yang dia omongkan sebelumnya.”
“Oh gitu.”
“Bu A bilang sendiri...ini saya dengar dengan telinga saya sendiri ya...’mereka mah tinggal nunggu waktu. Mau didatengi Adyatmoko sang pakar kuliner Jakarta pun nggak bakal bisa nolong...sudah hancur’ ... gitu, Bu.”
“Duh mulutnya ya, Bu.”
“Maksudnya Adyatmoko itu yang presenter kuliner di TV setiap Sabtu itukah?”
“Lha saya nggak tau, Bu Enggar. Jarang nonton TV”
Tiara meng-capture percakapan itu, lalu mengirimkannya ke Whatsapp-nya sendiri. Mamahnya mengamati apa yang dilakukan anaknya. Bu A yang dimaksud dalam percakapan itu adalah Bu Ambar, salah satu anggota pengajian.
“Jadi ya baru seperti itu. Memang benar fitnah itu datangnya dari Bu Ambar. Tapi pertanyaan berikutnya, apa motif Bu Ambar menyebar fitnah semacam itu? Dapat untung apa ya?” gumam Mamahnya Tiara.
“Atau dia hanya kaki tangan? Kaki tangan siapa?” imbuh Tiara.
Tiara membaca secara berulang percakapan antara Mamahnya dengan Bu Enggar secara hati-hati. Dalam hatinya masih bertanya-tanya apakah kepentingan Bu Ambar dalam masalah ini? Ataukah dia hanya tipikal ibu-ibu yang gemar bergosip?
Tiara bersiap menyampaikan hal ini kepada Yanto, pacarnya. Memang tujuan utama dia dan Mamahnya terlibat masalah ini karena ingin membantu pacarnya itu mencari siapa sebenarnya yang saat ini berupaya mengganggu bisnis keluarganya.
“Saran Mamah, kamu membantu Yanto seperlunya. Jangan terlibat terlalu dalam atau terlalu mencolok, karena bukan tidak mungkin terkait salah satu saudaranya Yanto. Daripada nanti dituduh ikut campur urusan keluarga.”
Tiara mengangguk, mengamini apa yang disarankan Mamahnya itu. Dia menyadari benar, sampai saat ini dirinya hanya orang luar di keluarga Yu Limbuk, hanya pacar salah satu anaknya Yu Limbuk. Apa yang dilakukannya sekarang memang terkesan ikut campur. Tetapi di sisi lain, dirinya ingin kebenaran muncul dalam masalah ini. Tiara mengetik pesan di handphone-nya. Lalu mengirimkan ke Yanto.
“Aku jemput kelar kerja ya. Aku di Gramedia sampai setengah sembilan, lalu meluncur ke tempatmu. Kita makan di Wedangan Pak Wir.”
“Oke.” Balasan pesan pendek dari Yanto, tanpa bertanya lebih lanjut. Model balasan pesan yang menandakan dia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
***