“Waaaaa? Serius? Ini bukan bohong kan?”
“Aduuuuh ... serem. Masak iya, sih?”
“Nggak nyangka ya ... padahal aku sering banget pesan makanan di sana ... ”
Lalu semua ribut berkomentar dan berbicara dengan orang yang berada di sampingnya. Banyak yang saling berpandangan tidak percaya. Sebanyak 15 ibu-ibu yang berada di ruangan itu tampak kaget dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Untuk apa saya berbohong ... hhmm, kepada adik-adik ... semua ... ” seorang wanita tua, berumur sekitar 80-an, berbicara dengan agak susah karena harus mengatur napas, kepada ibu-ibu yang dia panggil sebagai “adik-adik” itu.
Seorang ibu deretan bagian belakang tampak mengacungkan jari, lalu berdiri. “Bagaimana kami tahu bahwa Ibu tidak bohong?”
Wanita tua itu meraih gelas yang disajikan di meja di depannya. Dengan hati-hati dan tangan agak tremor, dia meminum sedikit isi gelasnya itu. Lalu meletakkannya kembali, mengatur napas sebelum kemudian berbicara dengan sangat lambat, seolah adegan slow motion.
“Menurut, adik? Saya ... yang sudah ... setua ini, ambil gelas saja gemetaran, kok masih mau berbohong ... apa motivasi saya? Bisa saja hari ini hari terakhir saya, besok saya meninggal. Lalu buat apa saya harus bohong, dik?” tangkis wanita itu. Perempuan yang bertanya itu terdiam. Lha iya, dia sudah setua itu masak iya masih harus berbohong? Wong sudah bau tanah juga masak masih harus menambah dosa.
“Saya hanya ... hmmm ... ingin meluruskan ... sesuatu yang ... tidak benar. Biar bisa jadi pelajaran buat banyak orang,” imbuhnya.
“Kalau benar dia pakai pesugihan, apa buktinya?”
“Saya tadi bilang ... pernah ya. Bukan terus-terusan menggunakan. Di awal dia mendirikan rumah makan itu, dia pakai pesugihan. Tapi ... dia tidak menyadari, bahwa ‘bayaran’ yang harus dia berikan sangat mahal. Suaminya meninggal. Tapi iya, rumah makan itu laris banget. Itulah kenapa, suaminya tidak pernah dia ceritakan,” imbuh wanita tua itu.
“Astagfirullah ... bener juga ya ...” celetuk seorang ibu-ibu di belakang.
"Bukannya suaminya meninggal karena kecelakaan?" sahut seorang ibu.
“Ibu kok tahu? Emang ibu temannya? Atau bagaimana?” tanya seorang ibu yang lain.
Suasana hening. Wanita tua itu terdiam agak lama. Ibu-ibu yang di sana ketularan ikut diam, antara deg-degan penasaran dan takut. Hingga kemudian wanita tua itu mengangkat tangannya.
“Saya ... adalah, orang yang mengantar dia mencari pesugihan itu. Saya bukan temannya. Saya ketemu dia di Pekalongan, saat dia mencoba mencari pesugihan di tempatnya Dewi Lanjar ... ”
“Oh saya tau ... saya pernah dengar soal Dewi Lanjar.”
“Dewi Lanjar adalah Ratu Penguasa Laut Utara Jawa. Namanya sudah termasyhur ... terutama di kalangan orang yang miskin tapi pengen kaya secara instan. Termasuk Yu Limbuk. Dia datang ke Pekalongan diantar seorang temannya dan suaminya, lalu dikenalkan ke saya. Sayalah yang membantu memperlancar proses pencarian pesugihan itu ... ” cerita wanita itu yang ditimpali suara “ooohh” nyaris seperti koor dari ibu-ibu di sana.
“Saya semacam makelar. Saya tampung dia di sebuah rumah khusus, saya siapkan semua uba rampe untuk keperluan bertemu dengan Dewi Lanjar. Duitnya semua dari saya, dia miskin ... mana bisa membeli uba rampe mahal, termasuk kepala kerbau? Saya yang kasih duit dan menyediakan semua. Dengan imbalan, kalau berhasil ... maka dia harus menyerahkan uang Rp 500 juta untuk saya ...”
Ibu-ibu yang berada di dalam ruangan itu semakin ribut. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar. Ini sangat mengejutkan sekali, karena wanita yang duduk di depan mereka saat ini tengah bersaksi, bahwa di masanya, Yu Limbuk pernah menggunakan pesugihan.
“Pesugihan itu untuk mencari uang atau melancarkan usaha?”
“Dua-duanya ... pertama, mana mungkin dia punya modal untuk mendirikan rumah makan? Duit dari mana? Itu dari hasil cari pesugihan di laut utara. Duit juga akan habis kan kalau usaha tidak laris? Dia minta usahanya dilancarkan. Satu bulan penuh dia berada di rumah saya yang khusus untuk mencari pesugihan itu. Suaminya ada? Ada ... suaminya ikut menunggui. Tapi semua proses, dia yang jalani sendiri...dari bertapa dan bertemu Dewi Lanjar ... ” wanita itu nyerocos dengan lancar, yang membuat ibu-ibu kebingungan apakah ini benar atau bohong? Tapi sepertinya kalau melihat caranya bercerita, kok benar ya. Lancar sekali dia bercerita.
“Dia berhasil ... bawa enam karung uang. Saya diberi sesuai perjanjian. Lalu dia mendirikan rumah makan dan laris. Tapi, tiga bulan pertama setelahnya, tepat malam Jumat Kliwon pertama, dia harus datang ke Dewi Lanjar, untuk menyerahkan upeti ... nyawa suaminya. Yang orang dengar, mereka piknik ke pantai utara, lalu suaminya tenggelam saat berenang. Tapi ... hmmm ... sebenarnya suaminya diminta oleh Dewi Lanjar.“
"Lho, katanya kecelakaan sepeda motor. Mana yang benar?"