Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #17

Tanda Tanya Tentang Yadi

Yanto memandang ke arah adiknya dengan wajah sebal. Baru seminggu lalu dia memberikan kasbon untuk Yadi dalam jumlah yang tidak sedikit. Sekarang dia muncul lagi dengan wajah memelasnya, meminta belas kasihan untuk diberi fasilitas kasbon lagi.

 “Minggu lalu kamu kasbon Rp 3 juta lho. Mosok sekarang mau kasbon Rp 4 juta lagi? Ini akhir bulan kamu bisa tidak terima penghasilan lagi kayak bulan kemarin kalau begini terus,” Yanto tidak segera memberikan apa yang menjadi permintaan adiknya. Yadi diam, tidak berani memandang wajah kakaknya.

“Buat apa sih? Wong setahuku, kamu juga tidak punya cicilan mobil. Tidak ada barang mewah juga,” Yanto berujar setengah menyelidik.

"Begini, Mas ... yang penting kan aku tidak merugikan usaha ini. Toh aku ada hak juga kan? Akhir bulan kalau memang sudah tidak ada sisa juga nggak apa-apa ... nggak usah dibikin susah,” gerutu Yadi.

"Tapi Di, kalau kamu begini terus, pada akhirnya juga mengganggu cash flow rumah makan. Setiap hari kan aku juga harus ngurus pembayaran tagihan supplier bahan makanan yang tidak sedikit.”

“Bilang saja tidak boleh. Tidak usah panjang lebar,” sambar Yadi kemudian berlalu dari ruang kasir di rumah makan Gudeg Yu Limbuk Tambak Segaran.

“Hei ... bentar ... ” Yanto kemudian menghitung uang lembaran Rp 100.000-an, lalu mengejar Yadi yang berjalan keluar dari rumah makan. Ditariknya tangan adiknya.

“Nih ...” Yanto menyerahkan amplop cokelat ke tangan adiknya. Segepok uang Rp 4 juta sudah berpindah tangan. Ini situasi yang sedikit sensitif bagi Yanto, mengingat dia yang mengurus arus lalu lintas keluar masuk uang, bagian inti dari bisnis ini. Yanto pengen mengelola secara profesional, tetapi ketika dia sedikit keras, maka kemudian akan muncul suara-suara sumbang dari saudara-saudaranya, yang sok menguasailah, yang pelitlah, dan lain sebagainya.

Yanto sendiri tidak mengerti seberapa besar kebutuhan hidup Yadi. Karena selama ini Yadi yang menangani bagian logistik ini memang seperti tidak memiliki kebutuhan khusus. Dia masih single meski umurnya sudah 31 tahun. Tinggal pun masih di rumah orangtua yaitu di kampung Panularan, cicilan mobil tidak punya karena dia kemana-mana banyak menggunakan mobil Grand Max inventaris keluarga, yang biasa dia gunakan untuk ambil barang. Kamarnya juga isinya sederhana, tidak ada alat elektronik mewah atau barang terkait hobi. Handphone-nya pun cuma Samsung Rp 4 jutaan. Lalu apa kebutuhan dia?

Yadi punya teman dekat yaitu Agung dan Ibnu. Yanto sendiri tidak mengerti kesamaan apa yang membuat mereka menjadi tiga orang yang bersahabat. Kalau main ke rumah pun ya cuma nongkrong, ngobrol, ngerokok, tidak ada misalnya membicarakan hobi tertentu yang menyatukan ketiganya.

Yadi juga tidak punya pacar, setidaknya seperti itu yang diketahui keluarga. Sejak lulus kuliah, anak itu memang jarang kelihatan dekat dengan seorang cewek. Dulu pernah ada ada cewek namanya Indri yang beberapa kali diajak ke rumah. Tetapi itu hanya sekitar tiga bulanan sebelum kemudian tidak pernah muncul lagi di rumah.

“Aku mulai terganggu dengan sikap Yadi. Hari ini dia kembali kasbon, jumlahnya pun besar, Rp 4 juta. Padahal baru seminggu kemarin dia kasbon Rp 3 juta. Masak iya belum dua minggu sudah ambil Rp 7 juta. Buat apa?” ujar Yanto gusar, ketika bertemu dengan pacarnya Tiara malam harinya.

“Kamu nggak menanyakan untuk apa?”

“Sudah. Kalau sudah begitu, nggak dijawab. Terus ngambek. Aku nggak bisa ngapa-ngapain karena memang dia ada hak untuk mendapatkan bagian penghasilan dari rumah makan. Di akhir bulan kalau nggak ada sisa pun dia nggak marah, ya udah karena memang sudah dia ambil di awal,” tutur Yanto.

“Lalu masalahnya di mana?”

“Ini mengganggu cash flow perusahaan. Selain itu, kalau kamu punya adik dan adikmu menghabiskan banyak uang dalam waktu beberapa hari saja, apakah kamu tidak curiga?”

“Hmmm ... Narkoba?”

“Aku tahu dia. Sepertinya bukan ...”

“Lalu?”

Lihat selengkapnya