Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #18

Rahasia Besar

Yanto dengan Vespanya mengikuti kemana arah mobil itu melaju, mencoba berhati-hati supaya tidak terlihat oleh sang sopir. Dari Jalan Veteran, mobil itu melaju ke arah timur menuju ke arah Gading. Yanto pikir, di pertigaan mobil itu akan berbelok ke kanan. Kalau memang belok ke kanan, kemungkinan besar akan menuju ke rumah makan Gudeg Yu Limbuk cabang Gading. Tapi dugaannya meleset.

Mobil terus melaju ke arah timur membelah perempatan Baturono, lalu terus meluncur ke timur melalui Jalan Kyai Mojo. Entah mau kemana mobil itu, Yanto berusaha terus menempel dari jarak sekitar 20 meter secara konstan. Mobil akan segera masuk ke penggal Jembatan Mojo, yang itu berarti bahwa sang sopir mengarahkan mobilnya ke luar kota, masuk ke Kabupaten Karanganyar.

Benar, selepas melintas di Jembatan Mojo mobil terus melaju sejauh 2 kilometer, lalu di satu titik sopirnya menyalakan lampu sein ke kanan. Sepertinya akan masuk ke wilayah Bekonang. Yanto terus mengikuti. Saat mobil masuk ke jalanan kampung selebar 3 meter, Yanto mengurangi kecepatan supaya lebih berjarak, agar tidak terlihat oleh sopirnya. Sekitar 1 kilometer mobil melaju, sebelum kemudian belok kiri sekitar 200 meter dengan kanan kiri adalah persawahan. Untung sore itu banyak motor berlalu-lalang, karena bila tidak maka kemungkinan besar dirinya akan ketahuan tengah menguntit, batin Yanto.

Setelah 200 meter, mobil mengurangi kecepatan lalu berbelok ke kiri, melewati masjid kecil sebelum kemudian berhenti di depan sebuah rumah bercat biru muda. Yanto membelokkan Vespanya ke halaman masjid, lalu memarkir kendaraannya itu di sana. Rumah biru muda itu tak jauh dari masjid tempat dia memarkir kendaraan. Dengan berjingkat, Yanto mencoba mengintip mobil itu dari balik tembok pagar masjid. Sopir masih berada di dalam mobil, tetapi mesin mobil sudah dimatikan.

“Masnya cari apa?”

Sebuah suara mengagetkan Yanto. Dengan cepat dia membalikkan badan. Di depannya berdiri laki-laki berumur sekitar 50 tahunan, tinggi tegap, dengan peci di kepala. Laki-laki itu mengenakan sarung, sepertinya baru saja selesai sholat. Yanto gugup.

“Dari tadi saya perhatikan kok tingkah Mas-nya mencurigakan?” Nada bicara laki-laki itu agak ketus. Yanto langsung memasang wajah senyum, mencoba mencairkan suasana.

“Eh ... anu Pak ... mohon maaf sekali kalau saya mengganggu. Perkenalkan dulu nama saya Yanto, dari Solo Pak,” Yanto mengulurkan tangannya mengajak salaman. Laki-laki itu menyambut dengan agak ragu-ragu.

“Begini, Pak ... rebab cekap saja ya. Saya sedang mengikuti adik saya, Pak. Dia yang naik mobil itu ... tapi karena takut ketahuan, saya belokkan motor saya masuk ke halaman masjid,” jelas Yanto tidak mau panjang-panjang karena khawatir salah paham. Laki-laki itu memandangi Yanto dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Adik?” tanya laki-laki itu.

“Iya, Pak ... dia adik saya ... ”

“Nama dia siapa?” kejar laki-laki itu.

“Kusmaryadi Pak ... saya panggil dia Yadi,” jawab Yanto cepat.

Wajah laki-laki itu mendadak berubah. Tidak lagi sengak, serupa ramah dan kemudian tersenyum. “Bilang dong dari tadi kalau situ Mas-nya Mas Yadi,” laki-laki itu kembali mengulurkan tangannya mengajak salaman untuk kali kedua. Oh jadi dia nanya nama adiknya itu untuk ngetes? pikir Yanto.

“Bapak kenal adik saya?”

“Lho, orang di gang ini semua kenal Mas Yadi. Anaknya baik, sopan, ramah. Istrinya Mbak Indri kan?”

Lihat selengkapnya