Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #20

Amarah Kadarwati

Rumah makan Gudeg Yu Limbuk pada Jumat sore biasanya mulai penuh, tanda dimulainya akhir pekan. Selain pelanggan-pelanggan lokal, banyak mobil-mobil travel atau bus pariwisata yang berhenti membawa rombongan. Banyak di antaranya yang memang sudah melakukan reservasi sebelumnya.

Atun dibantu Bu Paini tampak sibuk sekali melayani permintaan pembeli yang mulai tampak antre. Masih ditambah Yu Puji, tenaga pocokan alias freelancer yang biasanya dipanggil untuk membantu saat rumah makan padat dengan pengunjung.

“Saya bubur ya, Bu. Bubur gudeg sambel goreng yang pedas, ayamnya suwir saja, tambah telur pindang. Minta ditambahi tahu putihnya satu,” ujar seorang ibu-ibu yang seperti tak sabar dilayani.

“Siap, Bu. Ngunjuk-nya apa?” tanya Bu Paini.

“Jeruk anget aja,” jawab Ibu itu.

“Jeruk anget satu ya Pak Nardi,” seru Bu Paini kepada Pak Nardi yang khusus in charge di bagian minuman.

Dari arah dalam, Yanto keluar lalu tampak menghampiri Atun. “Mbak, bisa ngobrol sebentar?” tanyanya. Atun tidak segera memberi jawaban, lalu melihat kondisi pelanggan dulu, seperti merasa berat kalau diganggu.

“Ada apa tho? Harus segera?”

“Penting ini, mumpung Mas Tono ada itu. Aku tunggu di dalam ya,” kata Yanto sambil berlalu masuk ke dalam. Atun lalu meminta Bu Paini dan Yu Puji meng-handle dulu para pembeli. Bergegas perempuan berambut sepundak itu bangkit dari tempat duduknya, lalu masuk ke ruang dalam yang terletak di belakang rumah makan itu. Saat tiba di ruangan dalam, Atun kaget karena melihat sudah ada Yanto dan pacarnya yaitu Tiara dan Tono.

“Ada apa tho kok kayak serius banget?” tanya Atun.

“Duduk dulu, Mbak ... aku pengen ngomong sebentar.”

Atun mengambil kursi kayu lalu duduk di sisi kiri Yanto. Sementara Tono tampak duduk bersedekap. Ini ada apa ya kok kelihatan serius banget, batin Atun. Jarang-jarang dia dikumpulkan begini. Mana ada Tiara lagi. Atun menebak-nebak apakah ini akan membicarakan tentang hubungan antara Yanto dan Tiara ke jenjang yang lebih serius?

“Jadi begini Mbak dan Mas. Ini penting aku ajak Tiara juga di sini, biar lebih pas,” buka Yanto.

“Kalian mau menikah?” Atun seperti tak sabar.

“Sebentar tho, Mbak. Aku cerita dulu,” sambar Yanto dengan tersenyum.

“Jadi begini, Mbak Atun dan Mas Tono mungkin ingat ya, aku pernah bercerita kalau ada rencana pakar kuliner datang ke rumah makan kita?”

“Michael Wongso?”

“Bu Sinta?

Atun dan Tono menyambar cepat dengan menyebut nama dua tokoh kuliner nasional itu, nyaris bersamaan.

Lho gimana sih? Katanya Bu Sinta? Kok Mas Tono nyebut Michael Wongso? Yang bener mana?” tanya Atun.

“Tidak ada yang betul. Itu semua karanganku, Mbak, Mas. Jadi sebenarnya, aku mendengar ada kabar tentang isu bahwa makanan kita tidak halal, seperti yang mas dan mbak dengar. Ingat nggak waktu itu aku mengusulkan untuk mendatangkan para yatim-piatu dari pondok pesantren? Tapi kemudian tidak jadi kita lakukan? Nah, secara tak sengaja, Tiara mendengar tentang hal yang sama dibicarakan ibu-ibu saat kami mau makan di Paragon Mall. Ada ibu-ibu yang bisa tahu secara persis tentang isi pembicaraan di keluarga kita,” jelas Yanto.

“Artinya?” tanya Atun.

Lihat selengkapnya