Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #21

Semua Harus Dicurigai

Sekitar pukul 10.00 WIB, Tono memasuki halaman rumah ibunya, Yu Limbuk. Ini bukan kebiasaan Tono datang pagi-pagi ke rumah orangtuanya. Di halaman, tampak Yadi tengah mengelap sepeda motor. Setelah pukul 09.00 WIB memang tugas Yadi agak longgar.

“Pagi, Mas ... kok mruput  sampai sini pagi-pagi begini?”

“Mampir, habis nganter Gendis ke kantor. Motornya Gendis dipinjam pacarnya, akhirnya aku yang nganter. Ya begitu itu anak sekarang, belum juga jadi suami isteri sudah saling pinjam harta hahah ...” Tono terkekeh di ujung kalimatnya.

Sam Soe, Mas?” Yadi menunjuk ke arah meja di teras, menawari kakaknya rokok, lalu kembali melanjutkan mengelap sepeda motor.

“Rajin bener, emang mau kemana?”

“Enggak, Mas ... kalau kotor nggak enak sama Bapak mertua. Sekarang aku kalau pulang ke Bekonang pakai motor,” jawab Yadi.

“Lha Grand Max-nya?”

“Ya kalau selesai ambil gori, Grand Max dikandangkan di sini. Lalu aku pulang ke Bekonang pakai motor.”

Sejak tidak sembunyi-sembunyi lagi soal pernikahan sirinya, Yadi memang lebih sering tidur di rumah istrinya di Bekonang. Sekarang dirinya lebih leluasa, karena bila tidak pulang ke rumah di kampung Panularan tidak dicurigai. Tetapi dia memang memilih untuk membeli motor untuk transportasi ke Bekonang, karena merasa Grand Max yang selama ini dia pakai adalah mobil untuk keperluan bisnis keluarga.

Tono duduk, lalu menyalakan rokok, “Habis ini ada rencana kemana?” tanya Tono kepada adiknya. Yadi menghentikan pekerjaannya.

“Nanti siang sih, Mas. Habis dzuhur mau ambil bawang ke Pasar Legi. Kenapa, Mas?”

“Enggak, aku pengen ngobrol saja. Kalau kamu ada waktu, ayo keluar sambil cari makan. Sekalian saja nanti langsung kamu ambil bawang ke Pasar Legi,” tawar Tono.

“Oh ya sudah, aku siap-siap dulu, Mas.”

Sambil menunggu adiknya bersiap, Tono memandang ke sekeliling halaman rumahnya. Rumah teduh dengan pepohonan rindang di halaman, di mana dia dan adik-adiknya dibesarkan oleh Yu Limbuk. Orang jaman dulu memang sebagian besar memiliki banyak anak, lalu muncullah konsep “Banyak anak banyak rejeki”. Padahal maknanya tidak seperti itu juga. Itu hanya konsep pembenaran saja. Kenyataannya, banyak anak banyak masalah, setidaknya itu yang pernah terjadi pada keluarga ini. Bagaimana pontang-pantingnya sang ibu saat ditinggal mati suaminya. Saat itu, Tono sebagai anak tertua harus menggantikan peran bapak.

Apa yang dilakukan adik-adiknya sekarang ini, seperti misalnya pekerjaan Yadi, jauh lebih mudah. Apalagi mereka meskipun bekerja untuk bisnis keluarga tetapi tetap mendapatkan gaji. Kalau dulu, dia pontang-panting sendiri, belanja ke Pasar Legi dari rumah naik sepeda onthel. Tidak ada gaji, karena hasil penjualan gudeg ibunya saat itu banyak tersedot untuk makan dan biaya sekolah.

“Ayo, Mas.”

Tono tergeragap dari lamunan, lalu mengikuti Yadi yang berjalan ke arah mobil Grand Max yang terparkir di halaman. Lalu keduanya masuk ke dalam mobil. Pelan, mobil keluar dari halaman. Sepanjang perjalanan, Tono seperti agak ragu untuk membuka omongan.

 “Apa tho, Mas? Kok sepertinya serius banget?” tanya Yadi. Yadi tidak terlalu dekat dengan Tono karena ada gap usia yang cukup jauh. Situasi-situasi ini kerap membawa kecanggungan.

“Enggak, aku mau nanya beberapa hal saja...”

“Apa, Mas?”

“Tentang Yanto. Kamu pernah dapat cerita dari Yanto soal rencana tokoh kuliner Adyatmoko mau datang ke Tambak Segaran?” tanya Tono dengan hati-hati.

Lihat selengkapnya