Yu Limbuk 1956

Ariyanto
Chapter #24

Borok Masa Lalu

Tiara menatap ke laptopnya. Beberapa kali dia memutar file video itu, seakan tidak percaya apa yang ada dia lihat. Ini tidak serius kan? Untuk beberapa saat dia hanya bisa bengong tanpa tahu harus berkata apa. Baru siang ini dia menyempatkan diri membuka video ini setelah semalam dia kecapekan dan langsung tidur.

Tiara mengambil pouch-nya dan mengaduk isi di dalamnya seperti tengah mencari sesuatu. Thank God, kartu nama itu masih dia simpan di sana. Dengan cepat dia ambil kartu nama itu, lalu menyalin kontak yang tertulis di kartu nama itu ke handphone-nya. Muncul logo Whatsapp di sana, yang berarti orang itu menggunakan messenger itu.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menghubungi orang itu? Atau aku harus membiarkannya sejak hal ini bukan urusan dia? Tapi orang yang berada di dalam video itu telah membohonginya, yang berarti sekarang dia pun ada di dalam persoalan itu. Tiara mencoba mempertimbangkan apa keuntungan dan kerugian bila dia bergerak terlalu jauh dalam masalah ini.

Sampai kemudian dia memutuskan untuk menghubungi orang itu.

“Siang, Bu. Saya Tiara. Apakah bisa bertemu?”

Tak mengejutkan bila pesan Whatsapp Tiara dibalas dengan cepat. Perempuan itu pasti sangat berharap dia menghubunginya, batin Tiara.

Halo Mbak Tiara. Bisa-bisa. Jam berapa? Saya longgar hari ini.”

“Saya keluar dari kantor sekitar jam 4 sore. Bagaimana kalau setengah 5 sore kita ketemu di Kedai Kopi Sekutu?”

“Oke Mbak...met ketemu di sana ya.”

Pfhhhh...apa yang baru saja aku lakukan? Batin Tiara. Tetapi semua sudah telanjur. Mau tidak mau dia harus datang untuk bertemu perempuan itu dan membuat segalanya menjadi terang benderang.

Tiara membatalkan rencananya untuk bertemu Yanto selepas kerja. Baginya lebih penting saat ini untuk mencari kejelasan tentang video itu, selain juga mendadak dia malas sekali untuk bertemu dengan pacarnya itu. Kenapa sih semua harus seperti ini? Kenapa hal-hal sederhana bisa menjadi sangat rumit dan bak benang kusut seperti ini? Tiara tidak pernah mengerti.

***

Tiara tiba di Kedai Kopi Sekutu 15 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikannya. Selama di kantor tadi dia tidak bisa fokus, sehingga memutuskan untuk pulang 30 menit lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Tiara bisa dengan mudah mendapatkan izin karena memang dia jarang sekali meminta izin kalau tidak memiliki alasan yang sangat kuat. Bosnya tahu benar itu.

Cabut dari kantor, dia masih menyempatkan diri untuk mampir ke Puspa Juice, warung jus langganannya, sekadar untuk mendapatkan satu cup jus semangka tanpa gula. Tiara membutuhkan penyeimbang dalam tubuhnya, satu gelas jus semangka sudah lebih dari cukup untuk menenangkan dirinya. Nongkrong di Puspa Juice sekitar 15 menit saja, lalu Tiara beranjak menuju ke Kedai Kopi Sekutu. Itu pun dia harus berputar-putar dulu di sepanjang jalan kota hanya ingin memastikan bahwa apa yang akan dilakukannya adalah hal yang benar.

Pilihannya adalah bertemu dengan perempuan itu atau mengabaikannya. Tetapi mengabaikannya sepertinya tidak mungkin karena dia sudah telanjur melihat video itu. Apa yang ada di video itu tidak menjelaskan sepenuhnya karena memang ada beberapa hal yang hilang.

Pukul 16.25 WIB, Tiara memesan Caramel Macchiato. Sebenarnya dia tidak ingin minum apapun saat ini karena perutnya sudah terganjal satu cup jus semangka tadi. Tapi tidak mungkin juga kan nongkrong di kedai kopi tanpa memesan apapun. Pilihannya untuk bertemu di kedai kopi ini karena memang lokasi kedai kopi ini nyaman, selain sepi. Tiara tidak ingin banyak mendapatkan gangguan saat membicarakan hal yang serius. Kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dia kenali pun relatif kecil.

Sebuah mobil merapat, Toyota Vellfire putih. Itu pasti perempuan itu, batin Tiara. Mobil mewah merapat di kedai kopi yang tidak seberapa besar, siapa lagi kalau bukan orang kaya itu, Sri Kadarwati, bosnya Gudeg Ndoro Bei. Dari balik kaca di ruangan dalam kedai kopi itu dia melihat sopir Vellfire membuka pintu belakang. Lalu muncullah seorang perempuan dengan jumpsuit putih dan sepatu hak tinggi warna putih juga. Tangannya mengempit pouch warna putih juga. Sepertinya dia sangat mempedulikan soal pilihan warna pakaian yang dikenakannya. Make-up sangat tebal dan Tiara yakin umurnya lebih tua daripada tampilan yang dia lihat saat ini.

Kadarwati itu membuka pintu kedai kopi. Tiara memandang ke arah perempuan itu, dalam sekian detik perempuan itu menyadari bahwa orang yang akan dia temui sudah berada di dalam.

“Hei, Mbak Tiara...sudah lama?” Suara Kadarwati itu sedikit melengking. Tiara tersenyum dengan masih agak canggung, lalu menyalami perempuan itu.

“Baru sekitar lima menit kok Mbak,” jawab Tiara.

“Mas, aku mau dong kopi hitam satu...” teriak perempuan itu ke barista yang ada di sudut ruangan. Kedai kopi itu tidak seberapa besar. Hanya ada satu ruangan di dalam seukuran sekitar 7 x 4 meter persegi, selain beberapa kursi kayu di luar. Sore itu di dalam ruangan hanya ada Tiara dan perempuan itu. Sementara tamu lain hanya sepasang anak muda yang duduk di teras luar.

“Maaf, sudah menunggu ya...tapi aku usahakan untuk tepat waktu untuk datang ke sini.”

“Enggak kok, Mbak. Saya aja yang kecepatan datang,” kata Tiara merespons basa-basi itu.

“Jadi....emmmm...sudah nonton video itu?” tanya Kadarwati sambil menatap Tiara. Tiara mengangguk pelan.

Lihat selengkapnya