BAB 9
LUKA LUAR DALAM
Rayn M Syahreza :
Lo cuma baca chat gue? Lagi sama Yuan lo?
Mendapatkan chat dari Rayn yang terus-terusan seperti itu membuat dunia seolah berhenti sejenak. Jantungku berdebar lebih kencang, bukan karena takut, tetapi karena campuran rasa marah, kesal, dan bingung. Tangan yang semula lincah mengetik di keyboard tiba-tiba terhenti. Napasku terasa lebih berat, dan musik yang diputar di earphone tak lagi terdengar, hanya ada suara ancaman itu yang menggema di kepalaku.
Aku menatap layar ponsel dengan perasaan terpojok. Kalimat-kalimatnya seperti tali yang mencoba membelenggu kebebasanku, memaksaku tunduk pada keinginannya. Ancaman tentang Yuan dan ucapan “lo milik gue” membuat darahku mendidih. Siapa dia, mengklaim hidupku seperti itu?
Namun, di balik semua amarah itu, ada ketakutan kecil yang perlahan menyusup. Bukan karena aku takut pada apa yang bisa dia lakukan, tetapi lebih kepada konsekuensi jika aku tidak segera bertindak. Haruskah aku membalasnya? Haruskah aku meminta bantuan? Atau... haruskah aku mencoba melanjutkan hariku seolah-olah semua ini tidak pernah terjadi?
Dengan napas yang mulai tersengal, aku beranjak dari meja kerjaku. Ruangan terasa sempit, seakan dinding-dindingnya bergerak mendekat, menekanku tanpa ampun. Langkahku terasa berat, tapi entah bagaimana aku berhasil menyeret kakiku menuju kamar mandi.
Begitu pintu terkunci, keheningan yang mencekam menyambutku. Suara air menetes dari keran terasa begitu menusuk, seperti detik-detik yang berlalu di tengah kegelisahan. Aku merogoh saku celanaku dan menarik keluar pisau kecil yang selalu kubawa, entah sejak kapan kebiasaan ini muncul. Pisau ini sudah tumpul di beberapa bagian, tapi ujungnya masih cukup tajam untuk menyelesaikan apa yang kuinginkan.
Aku menatap refleksiku di cermin di atas wastafel. Wajah itu tampak asing, mata merah dengan lingkaran gelap di bawahnya, bibir yang bergetar, dan kulit pucat yang terlihat seperti kehilangan nyawanya sendiri. Tiba-tiba aku merasa jijik. Pada Rayn. Pada diriku sendiri. Pada semua hal yang membuatku merasa tidak berarti.
Perlahan, aku duduk di lantai dingin kamar mandi, membiarkan punggungku bersandar pada pintu. Pisau kecil itu kugenggam erat di tanganku. Ketika mata pisau menyentuh kulitku, ada sedikit jeda, seolah tubuhku menolak, tapi pikiranku tidak peduli.
"Gue nggak milik siapa-siapa," gumamku, suaraku serak dan hampir tak terdengar. Gerakan kecil, hanya satu goresan tipis di pergelangan tangan, tapi rasa sakit itu langsung terasa membebaskan. Sejenak, beban di dadaku terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya selesai, tetapi karena aku bisa mengalihkan rasa sakit di kepalaku ke satu titik pada tubuhku.
Air mata mulai mengalir tanpa bisa kucegah. Tanganku gemetar. Darah tipis muncul di permukaan kulitku, menetes pelan dan membentuk garis merah yang mengalir menuju lantai.