Mimpi Masa Silam
Karena mimpi adalah penguat hati
untuk mengejar masa depan penuh janji.
BANYAK yang mempertanyakan, mengapa Hana bekerja keras sejak duduk di bangku SMA. Kalau ada yang bertanya langsung, Hana akan tersenyum lebar dan berkata, Kenapa, memangnya ada aturan yang melarangnya? Hana mungkin akan tergoda menambahkan, sebenarnya dia mulai kerja sambilan sejak SMP. Dia membantu beres-beres rumah tetangganya, seminggu dua kali. Penghasilannya lumayan untuk ditabung. Namun, Hana biasanya diam saja. Dia tidak ingin menceritakannya ke semua orang.
Selama empat-lima tahun terakhir, Hana bekerja serabutan, kalau bisa disebut demikian. Dia merangkap-rangkap pekerjaannya. Mulai dari beres-beres rumah, membantu memasak mengasuh anak tetangga, mengurus manula, dan menjaga warnet. Setahun terakhir ini, Hana memperluas pengalaman kerjanya. Diam-diam dia belajar pada chef di hotel bintang lima—yang anaknya sering dia asuh—seni memahat es. Ketika Hana dijadikan asisten untuk membuat ukiran es, rasanya seolah seluruh dunia berada dalam genggamannya.
Hana belajar bahwa dalam mengukir es, kemurnian air sungguh diperlukan. Dia meminta supplier menggunakan air termurni, merebusnya hingga mendidih, setelah dingin, merebusnya lagi, baru membekukannya. Dengan demikian, akan diperoleh es kualitas tinggi seperti kaca, bening dan sempurna untuk diukir. Hasil akhirnya akan seperti kristal. Dia pun bereksperimen lebih jauh. Meminta pembuat es menambahkan zat pewarna tertentu, yang membuat hasil pahatannya semakin menarik.
Sejauh ini, Hana belum terlalu terampil mengukir es. Dia sering menerima pesanan, tetapi bentuknya terbatas: sekadar inisial untuk pesta pernikahan, pertunangan, atau ulang tahun. Atau bentuk favoritnya, mawar merekah. Di atas mawar ini, akan ditempatkan pinggan khusus berisi buah atau camilan yang membutuhkan suhu dingin. Jadi, tak hanya berfungsi sebagai centerpiece, tetapi juga memiliki kegunaan ekstra sebagai wadah.
“Apa sih yang membuatmu begitu giat bekerja?” Salah satu temannya di sekolah bertanya.
Hana menjawab, sederhana saja, “Untuk mengejar mimpiku, dan menggenapi janjiku.”
Sepuluh tahun lalu, di Yuki Matsuri, Sapporo, Hana berjanji pada seseorang, suatu hari akan mengunjungi festival itu kembali.
Sekarang janji dan mimpi itu terasa di depan mata. Karena janji bagi Hana adalah utang, bukan sekadar ucapan sambil lalu yang besok hari akan terlupakan.
Hana membayangkan bagaimana ekspresi Takahashi—sahabat penanya, dan barangkali, lebih daripada itu—ketika membaca email terbarunya. Dia mengingat-ingat, apa yang dia tulis, ya?
Takahashi-kun,
Coba tebak!
.
..
…
Ah sudahlah, aku tak dapat menahan rahasia ini lebih lama lagi! Uangku cukup untuk pergi ke Jepang! Sampai bertemu di Yuki Matsuri tahun depan!
—Yuki no Hana
Yuki no Hana ... bunga salju. Setiap kali menuliskannya, hati Hana terasa membuncah. Takahashi memanggilnya begitu, ketika menghiburnya di Yuki Matsuri, dulu.
***
Hari yang menyebalkan, bagi Hana. Sekaligus paling indah, yang bisa diingatnya. Hari ketiga mereka mengunjungi festival salju, semuanya terasa kacau. Pertengkaran orangtuanya, menyebut-nyebut beberapa kata yang tidak dia benar-benar pahami. “Selingkuh”, “bajingan”, “cerai”. Yang terakhir ini, membuat Hana membelalak, lalu berlari pergi. Dia tahu kata itu. Teman sekolahnya pernah menyebut-nyebutnya. Dia bilang, orangtuanya akan bercerai.
“Artinya, mereka akan berpisah. Aku harus memilih, ikut Ayah atau Bunda,” jelas temannya itu, dengan mata berkaca-kaca. “Aku enggak mau memilih salah satu. Aku mau keduanya. Aku sayang Ayah dan Bunda.”
Bagi Hana, ini sungguh tidak adil. Bagaimana mungkin memilih, dari dua orang yang mencintainya? Urusan orang dewasa membuatnya menggeleng-geleng. Kalau memang suatu hari akan bercerai, mengapa harus menikah?
Ketika kedua orangtuanya ribut-ribut dan banyak melibatkan kata cerai, Hana memutuskan lebih baik dia menghilang saja. Ketika dia berlari menjauh, mereka tidak menyadarinya. Mereka terlalu sibuk melontarkan hinaan dan makian.
Mengapa orangtuanya bisa seegois itu?
Hari itu, ulang tahun Hana ke-8. Dia ingin semuanya sempurna. Namun, perasaannya berkata, ada yang salah. Mungkin karena senyum ibunya, yang membawakan sepotong cake berkrim putih dengan bolu vanila dan krim stroberi di dalamnya. Seolah wajah ibunya terbuat dari kayu, dan ada pemahat yang menorehkan kurva yang melengkung ke atas, tetapi matanya tetap kosong, membuat senyum itu terasa hampa. Atau dari tatapan ayahnya, ketika menempatkan sebatang lilin kecil di atas cake, menyalakannya, dan menyanyikan Selamat Ulang Tahun dengan nada sumbang. Seperti ingin mengatakan, “Bisakah aku berada di tempat lain, wilayah mana pun, asalkan jangan di sini?” Hana juga ingat, ketika ayahnya mengeluarkan sebungkus besar hadiah, ibunya tak sengaja menyentuh lengan ayahnya, hingga dia nyaris melepaskan kado itu. Seolah jijik dengan sentuhan ibunya.
Hana jadi tidak berselera meniup lilin atau membuka kado. Namun, dilakukannya juga karena tampaknya orangtuanya berharap demikian. Boneka besar berbentuk beruang. Hana juga menemukan kalung keperakan, dengan liontin berbentuk bunga. Belakangan, Hana tahu itu bunga sakura.