Hari ini adalah awal tahun ajaran baru. Bagi kebanyakan anak sekolah awal tahun ajaran baru adalah hal yang menyenangkan karena bisa bertemu orang baru, namun hal tersebut tidak berlaku untuk seorang anak.
Takahashi Haru atau yang biasa dipanggil Haru adalah anak yang sedang- sedang saja sejak dulu, tidak begitu pintar belajar juga tidak begitu pintar berolah raga, tidak begitu pemalu tapi tidak pula orang yang sangat percaya diri, tampilan pas- pasan dan juga tidak kaya, jauh dari tipe fakboi kalau kata orang- orang. Itu semua tidak terlepas dari fakta bahwa dia adalah anak yatim piatu yang ditinggal ayahnya saat kelas 6 sd.
Pagi ini adalah awal masuk semester baru yang artinya kembali masuk masa dimana dia harus bekerja 2 kali lebih keras dan biaya yang jauh lebih banyak namun pemasukan lebih sedikit karena harus bekerja dan sekolah disaat yang sama. Jika sampai kemarin dia bisa bekerja lebih banyak karena sedang dalam masa libur, maka sampai kemarin lah dia bekerja untuk beberapa tempat karena mulai hari ini dia tidak punya waktu lagi untuk bekerja dipagi hari. Haru berencana setelah pulang sekolah akan mencoba bertanya pada salah satu cafe yang berada didekat sekolah apakah menerima lowongan pekerja paruh waktu.
Sembari bercermin dan merapikan rambutnya Haru memasang badge tanda anak baru dan sudah bersiap untuk berangkat ketika tiba- tiba ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dengan nama penelfon yang sudah sangat akrab dengan Haru.
‘drrrrtt’
“Halo, Haru. Ini sudah mau berangkat sekolah, ya? Pembayaran honor untuk selama liburan sudah dikirim, ya. Semangat sekolahnya. Untuk libur berikutnya jangan lupa untuk datang lagi, ya”, terdengar suara tuan Tanaka Luke, bos minimarket tempat haru bekerja sepanjang libur selama liburan. Sejak smp sudah 3 tahun Haru bekerja untuk membantu menjaga minimarket. Meski regulasi negara menentang eksploitasi anak, tapi tuan Luke lebih mengedepankan rasionalnya demi membantu Haru bertahan hidup.
“Halo paman Luke. Iya ini sebentar lagi mau berangkat. Terima kasih paman, kalau nanti selama sekolah ada masa libur aku pasti akan datang membantu lagi. Terima kasih ya paman atas bantuannya”, setelah bercakap- cakap sedikit Haru menutup panggilan dan segera berangkat sekolah.
Jarak dari tempat tinggal sangat menentukan kebijakan Haru dalam memilih sekolah karena akan berpengaruh pada waktu tempuh dan transportasi yang digunakan. Untungnya ada SMA dengan biaya yang tidak begitu mahal dan berlokasi tidak begitu jauh dari rumah yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Sembari berjalan Haru mengeluarkan selembar roti dari tas yang sengaja dibawanya dari rumah agar bisa sarapan sembari berjalan. Karena harus menghemat seluruh biaya termasuk biaya makan, dia sengaja sarapan sedekat mungkin dengan jam belajar agar dengan makan sedikit bisa cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti.
Karena jarak sekolah yang cukup dekat, hanya dengan berjalan 15 menit sudah sampai di sekolah. Terlihat papan nama sekolah yang tidak begitu besar dan ada beberapa orang guru disiplin yang menyambut didepan gerbang. Siap menjaring anak- anak setan yang meskipun cukup pintar untuk bisa membaca namun entah kenapa selalu saja berusaha untuk melanggar aturan. Tampak 3 orang siswi sedang menggerutu karena ketahuan menggunakan kosmetik dan membawa aksesoris yang tidak seharusnya dibawa.
‘Senangnya jadi mereka yang punya cukup uang untuk membeli hal- hal yang mereka inginkan’, gumam Haru dalam hati.
Haru menghela nafas sejenak. Sejak awal meski saat masih memiliki ayah pun sebenarnya hidupnya juga tetap tidak begitu baik, ketiadaan ayah dalam hidupnya hanya membuatnya sedikit lebih melarat saja.
“Selamat pagi anak baru”, seorang pria berkepala botak licin menyadarkan Haru dari lamunannya. Orang tersebut adalah kepala sekolah yang memang sedang menyambut para siswa baru. Pria itu masih tersenyum sambil menunjuk ke bajunya, memperagakan posisi bagde yang membedakan antara siswa baru dan siswa lama.
“Se... selamat pagi pak”, Haru refleks membungkuk memberi salam dan segera berlalu.