Yusuf Zulaikha

Falcon Publishing
Chapter #1

Beyoglu

Pagi yang basah di awal musim dingin.

Salju masih turun bersama semilir angin.

Leha merapatkan syal warna oranye, memasukkan kedua tangan di saku jaket dan berjalan cepat mengikuti langkah Rasyed di depan, untuk menghalau dingin yang menghadang. Merunuti langkah pria kerempeng dengan wajah keras petualang itu lebih meyakinkan daripada siapa pun di tempat asing begini. Di belakangnya, Armando siap menyejajari langkah cepat istrinya khawatir tertinggal kendaraan.

Suhu udara mencapai 3 derajat celsius. Ini dia winter yang dikisahkan dalam banyak buku dan mulut kawan-kawan selepas perjalanan ke Eropa. Sembari terus melangkah, Leha menghikmati nuansa baru dan segala hal asing yang menghampar di depan mata, sampai lupa Armando dengan dua koper besar di kanan-kirinya. Koper Armando sendiri dan koper Leha yang seharusnya ada di tangannya.

Hatinya tersenyum saat melirik Armando, merasa telah sukses menghukum sang suami akibat sikapnya yang menyebalkan dan tak peduli sepanjang penerbangan dari Jakarta-Singapore-Istanbul. Kini saatnya membalas dendam dengan pura-pura lupa bawaan koper dan melenggang dengan nyaman tanpa beban.

Baru beberapa menit melangkah, angin bertiup sangat kencang menampar-nampar wajah dengan beringas. Leha tersentak serasa hidungnya masuk di kotak freezer. Sudah lupa mengenakan kaos tangan, lupa pula masker penutup hidung. Bbrrrr! Leha menggigil. Dia tengok sekilas Armando dengan dua koper besar di kanan kirinya, karena ingat masker dan kaos tangan ada di sana.

“Bang!?” Leha tercekat.

Armando tak peduli malah melewatinya untuk mengejar langkah Rasyed yang seolah nyaris tertinggal kereta. Mau tak mau, akhirnya Leha mengikuti irama langkah mereka berdua, khawatir kehilangan jejak dan hilang di antara lalu-lalang asing di negeri orang.

“Kita mau naik apa, Syed?” tanya Armando, saat telah berhasil menyejajari langkah sahabatnya itu.

“Hem... sepertinya akan lebih praktis jika naik taksi. Karena kita sudah capek.”

“Ya okelah kita naik taksi. Ane juga mau segera rehat,” Armando antusias, “Tuh ada taksi yang mendekat.” Armando menunjuk sebuah taksi yang tengah mendekati arah mereka berdiri. 

Rasyed langsung menghentikan taksi dan bicara kepada sang sopir menggunakan bahasa Inggris, menanyakan kesanggupan dia untuk mengantar ke hotel yang telah mereka pesan di dekat Taksim Meydani, yang dikenal dengan sebutan Taksim Square, Beyoglu. Itu adalah hotel terdekat dari tempat festival yang akan mereka hadiri digelar, namanya Te Marmara Taksim Hotel. Hotel bintang 5 dengan pemandangan jembatan Bosphorus yang indah.

“Bisa. Ada dua jalur ke sana. Anda bisa pilih mau yang mana,” kata sopir, “Silakan masuk!”

Sopir memasukkan koper-koper di bagasi dan meminta semuanya masuk ke mobil. Rasyed duduk di depan di samping sopir dan Armando bersama Leha di kursi tengah. Taksi melaju meninggalkan Ataturk International Airport menuju Beyoglu. Leha membisu meski sebenarnya ingin sekali mengatakan kalau dia sedang membutuhkan kaos tangan dan masker itu kepada Armando.

“Kita akan melewati jalur yang mana, Pak?” tanya Rasyed.

“Anda mau lewat E5* atau pinggiran laut?”

Ganti sopir bertanya. “Apa itu E bes?” Rasyed penasaran.

“Maksud saya jalan utama. Lewat tengah kota. Ramai, lebih lama dan jadi jauh,” terang sopir, “Kalau lewat pinggiran laut, sehat, dan lancar. Terserah Anda mau lewat mana,” tambahnya.

“Oh tentu saja jalur yang sehat dan lancar dong, Pak,” jawab Rasyed cepat, “Karena kami ingin segera sampai hotel dan bisa rehat.”

Sopir tersenyum dan mengarahkan kendaraan ke jalur pinggiran laut Marmara.

Benar saja pemandangan jadi indah. Leha yang tadinya sudah bersiap mau tidur, matanya melek kembali bahkan lebih lebar saat perjalanan melewati sebuah bangunan menakjubkan, yang melingkar-lingkar dari atas ke bawah bukit dan membentang sepanjang pinggiran lembah ke kiri dan kanan. Sementara di sebelah kanan jalan, menghampar biru laut Marmara.

“Waw! Kereeen! Bangunan ape itu, Bang Rasyed?” tanya Leha.

Leha bertanya kepada Rasyed karena tahu jika sahabat suaminya itu sudah beberapa kali berkunjung ke Turki. Lagi pun Leha melihat Armando sudah mulai terkantuk-kantuk kembali. Padahal sepanjang penerbangan selama 14 jam, dia tidur nyaris sepanjang waktu. Dia bangun hanya saat makanan diedarkan para pramugari cantik bermata biru itu. Barangkali suasana hangat di dalam taksi dibanding udara di luar, telah membuat sang suami jadi mengantuk. Leha tak ambil peduli.

“Itu dia yang namanya Benteng Konstantinopel yang terkenal itu, Neng. Keren ya?”

“Masyaallah! Ini die rupanye benteng nyang tersohor itu ye.” Leha takjub.

“Terus laut nyang di kanan aye ni, laut apaan?”

“Itu Laut Marmara, Neng. Orang sini bilang, Marmara Denizi. Laut pedalaman yang memisahkan Turki Asia dengan Turki Eropa.”

Leha kembali dipenuhi rasa takjub. Pandangannya menyapu sepenjuru laut lepas. Terlihat kapal-kapal tanker raksasa berseliweran, juga kapal-kapal ferry serta beberapa kapal pesiar mewah berwarna putih, merah-biru atau putih kombinasi biru. Sepertinya asyik jika bisa berlayar naik salah satu dari kapal-kapal itu, batin Leha.

Dia tengok Armando di sebelah kirinya. Kepalanya terangguk-angguk ke kiri ke kanan dan matanya terpejam. Rupanya dia sudah tertidur dan sama sekali tak berusaha bisa terjaga di tempat asing yang baru diinjaknya. Leha sungguh heran, bagaimana mungkin jauh-jauh datang kemari hanya untuk tidur dan tak peduli apa pun. Leha ambil napas berat dan kembali melayangkan pandangan ke luar jendela mobil. 

Mendadak pandangan Leha tertumbuk pada satu bangunan luas berwarna keemasan dengan arsitektur gaya baroque Ottoman, dengan pilar-pilar tinggi dan kokoh serta kubah-kubah. Bangunan itu terlihat sangat megah dengan beberapa lapangan hijau yang luas membentang. Leha penasaran dan kembali bertanya pada Rasyed.

“Bang Rasyed, kalau nyang ntu, bangunan apaan ye? Megah banget kelihatannye. Masyaallah!”

“Oh itu memang istana, Neng. Kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun. Megah banget ya? Setahu ane, istana itu dibangun atas perintah Sultan Mehmed II, pada pertengahan abad ke-15.”

“Oyaa. Pantesan megah banget. Namanye istana apaan, Bang?”

“Istana Topkapi. Orang sini menyebutnya Topkapi Sarayi.”

“Huwaaa... ini die rupanye nyang namanye Topkapi Palace ntu ye. Ck ck ck! Indah nian ye!”

Taksi terus melaju menyusuri pinggiran laut yang nyaman, tanpa harus berburu dengan kemacetan. Setelah melewati kota tua Eminonu dan jembatan Galata, taksi berhenti di halaman hotel yang telah dipesan Rasyed, namanya Te Marmara Taksim Hotel. Hotel bintang 5 dengan pemandangan Laut Marmara yang indah, Taksim Meydani, dan Istiklal Caddesi yang memanjang penuh kejutan.

Leha mencubit lengan Armando agar secepatnya bangun dan mengatakan kalau mereka telah sampai hotel. Setelah mengeluarkan koper-koper dan membayar taksi, Rasyed mendahului mereka menuju resepsionis hotel untuk check-in. Masing-masing memperoleh kamar di lantai 4. Leha sekamar dengan sang suami dan Rasyed sendirian. 

Merasa sudah tiba di tempat yang dituju, dengan semangat Armando berjalan menaiki lift dan mencari kamar yang telah dibookingnya. Namun begitu memasuki kamar, tak ada apa pun yang menarik dilakukan kecuali melepas sepatu dengan cepat serta melepas jaket winter, menyimpannya di lemari lalu telentang di atas tempat tidur.

Berbeda dengan Leha. Dia amati semua interior yang ada di kamar, dari ranjang, TV, meja rias, nakas, sofa, lukisan di dinding, kulkas, lemari pakaian serta laci besi rahasia tempat menyimpan uang dan barang-barang berharga, yang kuncinya memiliki kode pribadi hanya pengguna yang tahu. Leha pun mengintip kamar mandi sekilas, lalu kembali ke sofa, duduk sebentar sembari melihat-lihat majalah yang ada di meja

Majalah yang sangat menarik. Namun belum saatnya membaca dan menikmati semua isinya. Leha pun beranjak dari duduknya, mengamati gorden jendela dan tak sengaja melihat pemandangan di bawah sana.

“Wau! Kereen!” Leha takjub.

Dari kamarnya di lantai 4, Leha menyibak gorden jendela dan tersenyumsenyum sendiri menikmati seantero pemandangan di bawahnya, dari mulai Taksim Meydani alias Taksim Square, Istiklal Caddesi hingga Galata Tower. Terlihat segenap keindahan Beyoglu sebagai titik wisata terpenting dan salah satu Avenues kota paling terkenal, yang menawarkan segala merk barang branded dunia.

Dari majalah hotel yang baru saja dibaca, ternyata Beyoglu merupakan pusat seni, rancang-bangun serta mode dan inovasi selama berabad-abad. Butik indah di mana-mana, musik dan toko buku, perpustakaan, galeri seni, bioskop, teater, kafe, bar, restoran, pub, rumah kopi, patisseries, chocolateries, serta pusat teknologi yang berjajar di Istiklal Caddesi.

“Mau langsung jalan atau rehat dulu, Leha?” tanya Armando menyentakkannya.

“Aye kagak terlalu capek. Kayaknye cuma butuh mandi lalu lanjut jalanjalan, Bang. Aye ude penasaran lihat tempat-tempat indah!”

“Dingin banget di luar. Abang mau rehat dulu deh sebentar.”

“Kalau Abang capek, rehat aje dulu, Bang. Aye juga mau santai-santai dulu ah kalo gitu.”

Leha menata baju-baju di lemari dan semua barang bawaan dirapikan di tempatnya. Armando menata volume heater sesuai keperluan, menyalakan TV dan kembali selonjor di atas kasur untuk meluruskan kaki yang terasa kaku. Dia belum tertarik menengok apa pun di luar sana. Satu hal yang ada dalam pikirannya adalah istirahat. Leha mafhum dan tak hendak mengganggu.

Saat Armando mulai terlelap, Leha pergi mandi untuk melepas semua rasa capek dengan guyuran air hangat yang sengaja dinaikkan volume panasnya hingga batas kemampuan kulit tubuh. Tiap kali shower berhenti mengguyurkan air panas, tiap itu pula dingin menyergap tanpa ampun. Leha jadi bingung.

Leha pindah masuk bathtub dan berendam air hangat, karena di kamar mandi terdapat dua tempat mandi, satunya ruang mandi ber-shower seperti biasa dan yang lain memakai bathtub untuk berendam. Leha begitu terkesan dengan wangi sabun yang disediakan hotel di kamar mandi. Harum melati yang begitu lembut dan wangi seolah senyum bayi yang lembut menggemaskan. Rasanya tak ingin beranjak seharian.

Baru saat telinganya mendengar suara telepon kamar terus mendering tanpa ada yang mengangkat, Leha cepat-cepat beranjak dan keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai selembar handuk. Sialnya begitu sampai di dekat meja telepon, mesin itu telah berhenti berbunyi. Leha tengok Armando di ranjang. Dia geleng kepala.

Meskipun sekencang itu telepon mendering, namun Armando hanya geming dengan dengkurnya yang lebih kencang dibanding dering telepon. Leha menatap wajah lelah suami dan timbul kasihan lalu menaikkan selimutnya hingga leher. Sepertinya Armando benar-benar kelelahan dan masih kedinginan meski volume heater telah dinaikkan.

“Dia lelah dengan perjalanan atau lelah memikirkan bisnis ya?” gumam Leha.

Lihat selengkapnya