Pagi yang basah di awal musim dingin.
Salju masih turun bersama semilir angin.
Leha merapatkan syal warna oranye, memasukkan kedua tangan di saku jaket dan berjalan cepat mengikuti langkah Rasyed di depan, untuk menghalau dingin yang menghadang. Merunuti langkah pria kerempeng dengan wajah keras petualang itu lebih meyakinkan daripada siapa pun di tempat asing begini. Di belakangnya, Armando siap menyejajari langkah cepat istrinya khawatir tertinggal kendaraan.
Suhu udara mencapai 3 derajat celsius. Ini dia winter yang dikisahkan dalam banyak buku dan mulut kawan-kawan selepas perjalanan ke Eropa. Sembari terus melangkah, Leha menghikmati nuansa baru dan segala hal asing yang menghampar di depan mata, sampai lupa Armando dengan dua koper besar di kanan-kirinya. Koper Armando sendiri dan koper Leha yang seharusnya ada di tangannya.
Hatinya tersenyum saat melirik Armando, merasa telah sukses menghukum sang suami akibat sikapnya yang menyebalkan dan tak peduli sepanjang penerbangan dari Jakarta-Singapore-Istanbul. Kini saatnya membalas dendam dengan pura-pura lupa bawaan koper dan melenggang dengan nyaman tanpa beban.
Baru beberapa menit melangkah, angin bertiup sangat kencang menampar-nampar wajah dengan beringas. Leha tersentak serasa hidungnya masuk di kotak freezer. Sudah lupa mengenakan kaos tangan, lupa pula masker penutup hidung. Bbrrrr! Leha menggigil. Dia tengok sekilas Armando dengan dua koper besar di kanan kirinya, karena ingat masker dan kaos tangan ada di sana.
“Bang!?” Leha tercekat.
Armando tak peduli malah melewatinya untuk mengejar langkah Rasyed yang seolah nyaris tertinggal kereta. Mau tak mau, akhirnya Leha mengikuti irama langkah mereka berdua, khawatir kehilangan jejak dan hilang di antara lalu-lalang asing di negeri orang.
“Kita mau naik apa, Syed?” tanya Armando, saat telah berhasil menyejajari langkah sahabatnya itu.
“Hem... sepertinya akan lebih praktis jika naik taksi. Karena kita sudah capek.”
“Ya okelah kita naik taksi. Ane juga mau segera rehat,” Armando antusias, “Tuh ada taksi yang mendekat.” Armando menunjuk sebuah taksi yang tengah mendekati arah mereka berdiri.
Rasyed langsung menghentikan taksi dan bicara kepada sang sopir menggunakan bahasa Inggris, menanyakan kesanggupan dia untuk mengantar ke hotel yang telah mereka pesan di dekat Taksim Meydani, yang dikenal dengan sebutan Taksim Square, Beyoglu. Itu adalah hotel terdekat dari tempat festival yang akan mereka hadiri digelar, namanya Te Marmara Taksim Hotel. Hotel bintang 5 dengan pemandangan jembatan Bosphorus yang indah.
“Bisa. Ada dua jalur ke sana. Anda bisa pilih mau yang mana,” kata sopir, “Silakan masuk!”
Sopir memasukkan koper-koper di bagasi dan meminta semuanya masuk ke mobil. Rasyed duduk di depan di samping sopir dan Armando bersama Leha di kursi tengah. Taksi melaju meninggalkan Ataturk International Airport menuju Beyoglu. Leha membisu meski sebenarnya ingin sekali mengatakan kalau dia sedang membutuhkan kaos tangan dan masker itu kepada Armando.