Leha menatap layar ponselnya. Baru beberapa detik lalu dia mengirimi Yusuf sapaan lewat aplikasi pesan. Dia membaca ulang pesan yang dia ketik dan menimbang.
Selamat sore, Mas Yusuf. Mohon maaf ye, mengganggu.
Apa harusnya kagak kirim pesan ya? Dia berpikir Yusuf mungkin masih sibuk dengan persiapan pameran atau malah sedang rehat, supaya fit saat acara pembukaan.
Ting! Sebuah pesan masuk.
Alaikissalam. Tidak apa, Mbak.
Apa yang bisa saya bantu?
Leha terlonjak senang karena tak menyangka Yusuf akan merespons secepat itu. Menurut perkiraan, dia tak akan menjawab chat Leha. Ternyata keliru. Maka Leha memeras otak untuk melanjutkan percakapan yang menarik, serius dan memiliki tema yang intelek. Biar tidak memalukan.
Cuma ingin tahu, presentasinye besok soal apaan ye.
Oh mengenai arsitektur rumah Islami, Mbak.
Tertarik? Wajib datang besok malam ya.
Di ruang nyang kite duduk-duduk tadi?
Benar. Pukul 23.00 ya, Mbak.
Ha! Kagak salah ni jamnye?
Benar, Mbak. Di sini isya-nya jam 22.00 waktu Turki.
Maghribnya jam 21.00,
karena matahari baru tenggelam jam segitu hehe.
Beda dengan Jakarta ya?
Baru paham Leha. Jika tema pembahasan tentang arsitektur, Abang Leha si Hamid yang lebih paham dan tentunya sangat berminat jika diajak membincang urusan itu. Sejatinya Leha sendiri kurang tertarik dan kurang paham mengenai arsitektur, tapi sudah terlanjur bertanya. Yusuf juga sudah mewajibkan dia untuk hadir dalam acara. Leha hanya bisa berdoa, mudah- mudahan jika Yusuf yang bicara, apa pun jadi menarik dan patut dinikmati. Atau setidaknya dia bisa menikmati pesona Yusuf, seperti siang tadi.
Leha jadi ingat undangan panitia festival kepada Armando. Pasti Armando juga akan hadir di acara Yusuf. Bukankah bisnis baru Armando yang sedang dirintis juga di bidang perumahan tradisi. Boleh jadi ada benang merah yang saling mengaitkan. Leha juga berdoa mudah-mudahan bisa hadir memenuhi undangan Yusuf bersama Armando. Dengan begitu, Armando tak akan salah paham seperti saat Leha keluar bersama Rasyed.
Karena Armando terlihat belum ingin membuka percakapan, malah seperti mau melanjutkan tidur lagi, Leha ingin meneruskan chatting bersama Yusuf. Tapi bingung mau membahas soal apa yang sekiranya tidak norak dan memalukan diri sendiri, mengingat sikap Yusuf sangat religius dan terpelajar.
Oiye ntar jam brp ke Taksim Square-nya, Mas Yusuf?
Insyaallah bada Isya, biar dapat semua momen pembukaan.
Kite brangkat bareng ye, rame-rame berempat.
Boleh, Mbak. Sekalian cari makan malam di arena festival,
biar bisa sering merasakan selera yang khas dan lokal.
Ternyata Yusuf bisa diajak bicara apa saja dan cara meresponsnya enak dan santai. Leha jadi nyaman merasa ada kawan dan tidak terlalu kesepian. Biarkan Armando dengan dengkurnya, barangkali dia masih capek akibat perjalanan panjang dan memikir soalan bisnis baru. Lebih baik Armando tidur dari pada bangun tapi pasang muka perang, batin Leha.
Mas Yusuf kamar brp ye?
Kayaknya sama lantai empat, bukan?
Kamar saya nomor 412.
Mbak Zul kamar nomor berapa?
Untuk kali kedua, Leha tersentak dengan panggilan Mbak Zul yang diucapkan Yusuf. Dia merasa, baru kali ini ada yang memanggilnya Zul. Tentu sah-sah saja karena itu memang potongan namanya. Mungkin suatu saat akan ada yang memanggilnya Zula atau Ikha. Bahkan panggilan Leha sebenarnya tidak berdasar nama aslinya, karena tak ada kata Leha di nama itu. Leha semata panggilan orangtua sejak kecil.
Dan hari ini Leha mendapat panggilan baru itu, Zul. Entah mengapa panggilan itu terdengar lebih merdu dan indah di telinga. Panggilan itu benar- benar mewakili nama yang sebenarnya dan mewakili sang empunya nama. Juga mewakili sang penyeru pertama. Yusuf bin Hasan Mangkunata.
Tanpa sengaja, Leha jatuh cinta dengan panggilan Zul pemberian Yusuf.
Ahhh! Rupanya kite sebelahan, Mas. Aye di 411.
Trima kasih ye untuk panggilan Zul-nye.