Di dalam gedung bekas pabrikan seorang ilmuwan dipaksa bekerja di bawah tekanan untuk terus membuat dan memperbanyak virus yang ditemukannya. Dua orang bersenjata terus berjaga di depan pintu mengawasinya, sedangkan satu orang yang terlihat menakutkan memperhatikannya sangat dekat dengan sebuah pisau tajam di tangannya. Di wajahnya terdapat bekas luka sayatan yang meninggalkan jejak sangat dalam.
“Berapa lama lagi selesai, botol-botol itu sudah siap untuk dikirimkan,” ujarnya dengan suara berat.
“Se-sebentar lagi … tenang saja,” jawab Fredrick dengan aksen asing.
“Tidak ada waktu, cepat buat lebih banyak!” teriaknya menekan. Fredrick mengangguk saja sambil menuangkan pelan-pelan cairan biru tanpa pengaman dari tangannya langsung. Itu sangat berbahaya, setetes saja mengenai kulitnya, ia akan terjangkit virus mengerikan yang diciptakannya sendiri. Cairan itu akan dimasukkan ke dalam tabung sebuah alat produksi minuman. Tangannya gemetar saat akan menuangkannya. Setetes cairan mengalir ke selang-selang menuju ke kuali-kuali besar yang berisi cairan berkarbonasi. Sebelum akhirnya, cairan itu akan dialirkan ke botol-botol kemasan dan mengirimkan ke seluruh daerah.
Fredrick memberikan sinyal jika sudah selesai dengan pekerjaannya kepada Pria menakutkan dengan codet di wajahnya. Segera, Pria yang terlihat keji itu memerintahkan seluruh karyawan imigran mulai bekerja sesuai instruksi sebelumnya. Terlihat penjagaan orang-orang memakai rompi, tudung kepala dan masker. Di kantongnya penuh amunisi bersenjata lengkap di setiap area pabrik. Mereka mulai menjalankan mesin-mesin besar yang menyalurkan botol-botol berjalan di rel, setiap darinya terisi cairan berwarna biru dan alat yang menancap di bibir botol untuk menyegelnya. Lalu, mereka mengisi kardus-kardus dengan minuman itu dan mengisolasinya. Pada akhirnya, kardus-kardus yang telah siap dimasukkan ke dalam truk-truk kontainer besar.
***
Maranti berlari keluar dari kamar monyet dengan perasaan keki. Ia tak menyangka jika Manu sekejam itu kepada dirinya, padahal apa salahnya menolak dengan halus tanpa harus menyakiti perasaan. Maranti kembali ke bangkunya dengan wajah sungut. Pesona dirinya hilang dengan wajah muram dan kemerahan tersulut emosi. Rambutnya yang tergerai panjang dengan riasan wajah yang memudar jejak keringat.
Tak lama kawanan monyet itu juga keluar diikuti oleh bel istirahat yang menggema ke seluruh penjuru. Yoga mendekati Gogo yang penasaran dengan apa yang sudah dilihatnya dari Maranti sewaktu di dalam. Untuk menghindari pertanyaan itu, Gogo mengajak teman-temannya ke kantin, ia mengatakan akan mentraktir semuanya. Namun, Yoga semakin penasaran dan melingkarkan lengannya kuat-kuat melilit leher Gogo.
Keduanya seperti sedang gulat di atas arena, Gunawan bersorak menyemangati Gogo untuk melepas jeratan itu. Sementara, Manu terus melangkah menjauh dari kebisingan teman-temannya yang berulah. Tiba-tiba, langkahnya berhenti, ekor matanya menyaksikan sesuatu yang tak sepatutnya terlihat.
Manu melihat Denaya dipojokkan oleh seseorang ke dinding belakang gudang. Sepertinya, Manu mengenali orang itu sebagai teman sekelas Denaya yang bernama Faray Alhimza. Keduanya sepasang kekasih yang sering digadang-gadang sebagai pasangan yang serasi. Sama-sama pandai, sama-sama ganteng-cantik, sama-sama dari keluarga kaya.
“Jangan-jangan, Ray. Aku enggak mau,” protes Denaya berusaha menghindari upaya Ray yang ingin menciumnya. Semakin melawan, Ray justru mencengkram kedua tangan Denaya sekuat tenaga dan memenjarai dirinya yang tak bisa melawan kekuatannya.
Sekuat tenaga Denaya memalingkan wajahnya dengan menggerakkan bahunya kuat-kuat dan berhasil melepaskan jeratan tangan yang membelenggunya.
Plak!
Sebuah layangan tamparan seadanya sisa-sisa tenaga milik Denaya mendarat di pipi kanannya. Terlihat Ray menyeringai tak senang dengan kekasaran itu. Meskipun, tamparan itu seharusnya patut lebih keras untuk diterimanya. Denaya menahan getir tangis di dalam hatinya, kedua kelopak matanya dipenuhi genangan bulir kekecewaan dan kesedihan. Namun, Ray hanya merasakan egonya yang terinjak-injak.
Denaya berlari dari sana, meninggalkan kekasihnya sendirian. Tak sengaja, Denaya berpapasan dengan Manu yang sejak tadi melihat kejadian itu. Wajahnya yang sudah penuh dengan tetesan airmata, tak sanggup untuk mengucapkan apa-apa. Rasa malu, marah dan kecewa bercampur-aduk. Terlebih, ia ditelanjangi oleh tatapan Manu yang dingin, semakin membuatnya kehilangan harga diri. Ia hanya terus berlari dari sana menuju kamar mandi. Sementara itu, Ray tertawa cekikikan menyambut teman-temannya yang baru saja datang dari arah belakang.
Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, ternyata Ray dan Denaya sedang mojok berduaan. Itu yang ada dalam pikiran mereka. Manu merasa anak-anak dari kelas A itu lebih buruk daripada kelihatannya. Namun, ia tak suka mencampuri urusan orang lain dan meninggalkan mereka seperti masa lalu yang harus dikubur dalam-dalam dan terlupakan.
Benar-benar mencurigakan.