Faray, Hardi, Willy dan Edo cekikikan menertawakan Gunawan yang lebam di bibirnya. Bekas sobekan di ujung bibir dan darah yang mengering menjejak di sana. Ditambah perih yang tak seberapa ketimbang dengan penghinaan mereka. Kedua geng itu berjalan di selasar lorong kelas sambil berperang urat saraf.
Mereka hanya terpisah oleh lapangan di tengah-tengah dan pagar besi penuh pot-pot tanaman yang sesekali menghalangi pandangan keduanya. Gunawan, Yoga dan Gogo semakin keki saja mendengar tertawaan mereka dari seberang. Jika saja tak mengindahkan ucapan Manu, sudah diseberangi lautan itu untuk menghajar Faray dan teman-temannya.
Namun, Manu terlihat tidak terganggu sama sekali, seperti permukaan air yang tenang. Hal ini justru yang membuat teman-temannya sangat gusar, karena Manu akan sangat menyeramkan ketika terlihat anteng-anteng saja. Manu berjalan dengan menyelipkan kedua tangannya di dalam kantong, berjalan lambat tak seperti biasanya yang selalu di depan. Kali ini, ia membiarkan teman-temannya sampai di kelas lebih dulu.
***
Ketika Faray dan teman-temannya sampai di depan pintu kelas, terlihat Denaya yang sedang menangis histeris. Teman wanitanya berusaha menenangkannya yang melihat Denaya sangat gusar. Melihat kedatangan Faray, Denaya langsung menghampirinya seperti orang gila. Ia menumpahkan semuanya dengan ucapan yang tak jelas, gemuruh emosional di hatinya sulit dikendalikan.
“Kamu 'kan yang menyebarkan rumor itu? Hah. Kenapa Faray, kenapa kamu lakukan itu?” berondong Denaya tak terima.
“Rumor apa?” jawab Faray berlagak bodoh.
“Jadi, jadi bukan kamu? Terus siapa?” dengus Denaya bertanya dalam kebingungan.
“Oh, soal kita ciuman di belakang Gudang. Kan memang kita ciuman.” Faray sengaja membesarkan volume suaranya.
Jahaat!!
Pekik Denaya mencaci, ia benar-benar merasa sudah dipermainkan oleh Faray. Sementara itu, Faray dengan entengnya tertawa di atas penderitaan Denaya. Melihat semua orang mulai menertawakannya, seisi kelas juga ikut terbahak-bahak membuat Denaya semakin tersudut seperti pesakitan.
Satu per satu tatapan merendahkan itu bagaikan menelanjanginya dengan penuh kebencian. Denaya yang terkenal polos, pintar dan suci ternyata bukanlah Cewek yang seperti itu. Melainkan, Cewek yang gampangan dan mudah terperdaya oleh rayuan Cowok tampan seperti Faray. Cewek bodoh yang mudah percaya hanya dengan pujian bahwa dirinya sangat cantik dan memesona.
Pelariannya meninggalkan kelas dengan langkah seribu, di dalam pikirannya hanya ingin pergi sejauh mungkin dan tak kembali. Padahal, pelajaran belum usai, tetapi Denaya tak peduli. Ia ingin menenangkan diri sejenak, jauh dari kerumunan yang membuatnya sesak. Tak habis pikir jikalau Cowok yang disangkanya sebagai anak pandai, cerdas, berkharisma dan disukai banyak orang seperti Faray, kenyataannya seperti iblis.
Tersedu-sedu airmata itu jatuh membasahi lantai dengan pandangan yang tak jelas tertutup selaput. Denaya menjauhi kelas hingga tak terdengar lagi gaungan tertawaan itu di telingannya. Kesunyian yang membuat langkahnya melambat, pelan-pelan ia mencari celah untuk pergi lebih jauh. Mungkin membolos. Itu pikirannya saat ini.
Sejak tadi matanya hanya memperhatikan ke depan untuk mengawasi Penjaga gerbang. Sampai di belokan ke arah parkiran yang lengang, Denaya mencari jalan memutar ke samping. Ia sering mendengar jikalau anak-anak Blok F sering membolos lewat tembok samping. Namun, ia terkejut bukan main ketika melihat seseorang sedang melakukan sesuatu terhadap motor milik Faray dan kawan-kawannya.
“Kamu ngapain?” tegur Denaya sambil mengusap bekas noda di wajahnya. Manu menoleh, ia melihat hanya Denaya tak akan menjadi masalah baginya.
Manu tak menjawab apa-apa dan hanya sibuk dengan pekerjaannya. Sementara, Denaya celingak-celinguk seperti seseorang yang melakukan kejahatan. Padahal bukan dia yang berbuat sesuatu terhadap motor-motor itu. Lalu, Denaya bertingkah aneh, membelakangi Manu dengan matanya yang mengawasi seperti kamera pengintai.
“Ngapain?” tegur Manu gantian.
“Jagain kamu,” jawab Denaya polos.
Hah? Jagain.
Di dalam hati, Manu tergelak merasa geli mendengar Denaya sedang berusaha melindunginya agar tidak ketawan. Selesai dengan pekerjaannya, Manu meninggalkan parkiran dengan santai. Dan ketika Denaya menoleh, ia terkejut karena Manu sudah tidak ada di sana.
Matanya mencari ke mana-mana, ternyata Manu sudah berjalan ke samping dan hampir kehilangan jejaknya. Denaya merasa Manu seperti hantu yang berjalan melayang, langkahnya pun tak kedengaran meninggalkannya. Denaya mengejar Manu dengan berlari sekencangnya.
Bruk!
“Aduh,” keluh Denaya memegangi dahinya. Ia baru saja menabrak tubuh Manu yang keras.