Hari sudah malam, tanpa angin dan Full Wolf Moon di bulan januari terlihat sangat besar serta bersinar. Menyoroti perbuatan jahat itu seperti pementasan di atas panggung. Beberapa orang menggulirkan tubuh Wira terguling ke jalanan yang penuh debu. Tidak jauh dari area sekolahan dan membiarkannya seperti sampah atau binatang yang sudah mati. Namun, dipastikan ia masih bernapas, meskipun sangat lemah. Tubuh Wira sudah tak bertenaga, kehilangan kesadaran, penuh lebam, mengeluarkan cairan dari mulut, hidung dan telinganya, berada di antara hidup dan mati dilempar ke jalanan yang sepi. Jika saja, Wira bisa kembali di mana ia memutuskan tak berangkat sekolah di hari pertama kepindahannya, mungkin ia akan selamat dari penyiksaan itu.
Cuaca berubah dengan cepat, malam yang legam mulai terselabut awan keabuan yang suram. Suara gelegar halilintar menyalak-nyalak di angkasa. Rintik hujan mulai membasahi jalanan aspal yang legam pada tanggal sepuluh januari. Sepasang orang tua dalam perjalanan pulang dengan kendaraan sedan tuanya, honda Vario tahun 1995 berwarna hijau tua yang baru saja melintas. Dalam benaknya, untuk pertama kalinya ia melihat bulan purnama yang disertai hujan. Tak sengaja matanya yang senja melihat sesuatu di pinggir jalan. Dari kejauhan, tubuh itu terlihat samar, seperti batang kayu yang terjatuh.
“Apa itu, Bu? Bangkai? Boneka? Atau jangan-jangan … orang?” ucap Pak Tua menelisik dengan mata senjanya. Pak Tua itu menghentikan kendaraannya untuk melihat lebih dekat, memastikan benda yang tergeletak di pinggiran.
“Pak … Pak, hati-hati!” teriak Sang Istri yang merasa khawatir.
“Ya ampun, anak muda, Bu. Anak sekolahan. Cepet, Bu bantu,” pinta Pak Tua itu.
Prasangkanya benar jika itu tubuh manusia yang tergeletak dan orang tua itu berinisiatif membawanya ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Pria tua itu meminta istrinya untuk menghubungi rumah sakit dan juga kepolisian untuk memberitahukan situasi darurat. Menemukan seorang yang sedang sekarat di jalanan, masih memakai seragam sekolah, merupakan kejadian yang belum pernah dialami orang tua itu sebelumnya.
“Kenapa anak ini ya, Pak?” tanya istrinya sambil menoleh ke belakang terus. Memeriksa keadaan anak itu.
“Mungkin korban tabrak lari,” timpal Pak Tua.
Tabrak lari?
“Pak, apa nanti kita tidak akan mendapat masalah sudah menolong anak ini. Jangan-jangan nanti kita yang disalahkan!” keluh istrinya khawatir.
“Kalau tidak ditolong, anak itu akan mati, Bu.”
Mendengar perkataan suaminya, kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Berulang kali istri Pak Tua menatapi seluruh tubuh anak yang malang itu dari ujung kaki sampai kepala. Kedua tangannya menangkup di depan dada, seraya berdoa semoga anak itu bisa selamat. Begitu juga Pak Tua yang sesekali memeriksa dari kaca spion di depannya.
Sesampainya di rumah sakit, tubuh Wira dipindahkan ke ranjang menuju Intensive Care Unit (ICU). Bahkan, setelah memasang alat bantu pernapasan dan percobaan mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya dengan denyut nadi dan pernapasan yang lemah. Membuat situasi di ICU saat itu sangat sibuk. Jika, tubuh Wira tidak merespon, kemungkinan jiwanya tak tertolong.
“Suhunya rendah dok, bibir membiru, napas lemah, denyut jantung di bawah seratus dan terus menurun,” ujar Perawat yang memeriksa.
“Ventilator oksigen?” tanya Dokter.
“Sudah, Dok.”
“Hasil CT Scan?”
“Cairan di paru-paru lebih dari 60 persen.”
“Siapkan Torakosintesis, sekarang!” perintah Dokter itu, beberapa perawat mulai membaringkan miring pasien untuk mengambil tindakan cepat. Menusukan jarum ke dalam rongga pleura dari punggung korban, demi menyedot cairannya keluar.
“Ultrasound.” Dokter menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan tersebut, untuk menentukan titik yang tepat sebelum menusukannya.
“Sudah, dok.” Jarum yang sudah disuntikan tepat di dalam rongga, perlahan menarik cairan keluar dari paru-parunya dan memenuhi tabung suntikan.