Z FLAKKA 20

Adine Indriani
Chapter #7

#ZERO

Fase kehidupan terkadang mengambil semuanya, kematian, kelahiran, senang, berduka, kesedihan dan kebahagiaan. Tidak ada yang abadi, hingga semua kembali ke awal, di mana tidak memiliki apa-apa.

AKP Dean Andara kembali ke posisi semula dan menolak semua pernghargaan yang disematkan kepadanya sebagai pahlawan penegakan hukum. Baginya itu sudah menjadi kewajiban, tanpa pamrih. IPDA Ning Syamsudin pensiun dini dari kepolisian dan memilih untuk menjadi dosen kriminolog di sebuah Universitas Negeri Indonesia.

Bagaimana hubungan Ning dan Dean? (Siapa Ning dan Dean; Baca Novel The Shadow fears, sudah terbit)

Terkadang seseorang yang sudah terlalu lama hidup melajang, sudah terbiasa dengan kesendirian dan kesepian. Hingga kesulitan untuk menyesuaikan keadaan dengan pasangan, mereka tidak meneruskan hubungan itu ke jenjang yang lebih serius. Namun, masih berteman baik hingga saat ini.

***

Pagi itu di sebuah hutan pinus lolongan anjing pencari bergerak dengan cepat, secepat endusannya mencium aroma khas dari bangkai mayat yang membusuk. Menyusuri pepohonan yang berjarak seperti batang-batang yang tertancap dengan rapi. Hingga gonggongannya melolong sangat keras menggaung ke seluruh area. Memanggil semua unit, memberitahukan jika ada sesuatu yang ditemukan.

Jemari seseorang yang keluar di permukaan tanah yang gembur. Jari-jari yang masih utuh dalam timbunan tanah yang kurang dalam. Petugas mulai memotret tempat kejadian dan menandainya dalam radius 200 meter. Agar jejak-jejak di sekitarnya bisa terlacak, terutama keadaan pagi ini tertutup kabut tebal sehingga keadaan tanah lebih lembab.

Petugas forensik mulai menggali perlahan timbunan tanah itu. Mendapati bangkai mayat yang mulai membusuk, berjenis kelamin pria dan tidak ada identitas apapun pada dirinya. Hanya terdapat cincin nikah yang masih melingkar di jari manisnya.

“Apa yang ditemukan?” tanya IPTU Bima.

“Pria, keturunan lokal usia sekitar 30-an, waktu kematian sekitar 36 jam yang lalu. Terlihat dari membran dalam sel pecah ditandai oleh ruam dan darah yang keluar dari lubang-lubang tubuh. Belum terjadi pembengkakan, Pak Bim.” Seorang Tim Forensik memaparkan temuannya.

“Identitas tidak ditemukan,” sambungnya.

Pak Bima dipanggil oleh Eddie rekannya karena menemukan jejak roda mobil dalam radius 100 meter dari jalanan. Kemungkinan mobil itu masuk dan berhenti di sini karena pepohonan pinus menghalanginya untuk lebih jauh masuk ke dalam. Mayat itu di seret ke tempat kejadian, terlihat seseorang berusaha untuk menariknya. Ada jejak-jejak tubuh yang menyeret di tanah. Membuangnya di sana dan menguburnya asal.

Lalu, meninggalkannya dengan mobilnya. Jejak roda yang tertanam pada tanah yang gembur itu adalah berjenis mobil besar atau SUV. Mungkin kendaraan seperti Innova atau Pajero, tetapi tim laboratorium forensik harus membawa cetakan jejak kendaraan itu untuk memastikannya lebih lanjut.

“Pak, hutan pinus ini sering dijadikan tempat berkunjung para mahasiswa, kemungkinan pelaku mengenal tempat ini atau tinggal di sekitar sini,” ucap Eddie.

“Tetapi, tidak ada perumahan dekat sini, hanya beberapa kampus yang berdekatan,”

Universitas di mana Ning mengajar.

“Ok, kita tunggu laporan identitas mayatnya,” ujar Bima kepada tim forensik.

Bima menyuruh Eddie untuk kembali lebih dulu ke kantor pusat, ia memintanya untuk segera melaporkan kepada Kapten Dean. Sementara dirinya mengunjungi Ning Syamsudin di kampus karena dekat dengan tempat kejadian. Bima berusaha menghubungi Ning, tetapi panggilan itu tidak terjawab. Kemungkinan Ning sedang mengajar atau berada di tempat lain.

***

Di sebuah kampus, Para Mahasiswa/i sedang sibuk mencari benda-benda yang bisa ditemukan di sekitar mereka. Ada yang mencarinya di minimarket dalam kampus, ada yang meminjamnya di kantin dan ada pula yang menemukan perkakas milik tukang kebun. Semuanya sibuk mencari alat yang diminta untuk tugas kuliah Psikologi kriminologi. Sementara itu, Bima sudah sampai di depan gerbang kampus yang dituju demi menemui seseorang yang bisa memberinya petunjuk untuk kasus yang sedang diselidiki.

Menyusuri Kampus yang sangat luas dengan seluruh wilayah berhektar-hektar luasnya. Kampus itu di kelilingi oleh hutan dan danau buatan. Gedung kampus yang berada di sebelah barat, di mana Ning dipastikan sedang ada mata kuliah. Bima bertanya kepada seseorang tentang Ning. Ia diberitahukan di mana, Ning mengajar. Memasuki Gedung auditorium yang luas, Bima datang dari pintu sebelah barat daya. Di mana, ia bisa melihat Ning terlihat sangat kecil di depan proyektor yang menyala.

Bima duduk di bangku paling belakang dalam auditorium di mana Ning sedang memberikan kuliah pada kelasnya. Ning meminta mahasiswanya untuk mengeluarkan benda-benda yang mereka bawa, sesuai dengan instruksinya setengah jam sebelumnya.

“Baiklah, apa yang kalian bawa? Keluarkan,” perintah Ning.

Satu per satu mereka mengeluarkan, garpu yang dibeli dari minimarket, tali tambang dari toko perkakas, gunting, pisau, cobek yang dipinjam dari kantin dan lain-lain. Mereka saling melihat dan merasa lucu dengan benda-benda itu. Alat-alat yang sederhana, tajam sampai berat yang bisa digunakan untuk membunuh seseorang.

“Apa yang lucu? Apa kalian tidak tahu, jika sebuah cobek sudah merenggut nyawa seorang istri di desa Taja Mulya, kecamatan Betung setahun lalu. Memasukan benda itu ke dalam kemaluannya dan menyiramnya dengan minyak serta sambal. Atau, dengan tabung gas, seorang istri dihantam ketika sedang tertidur dengan anaknya, terjadi di kota Bekasi.”

“Apa kalian masih bisa menertawakan benda-benda itu?” sambung Ning. Semua mahasiswa tertegun dengan penjelasan Ning yang mengubah pemikiran sebelumnya. Di mana sebuah benda tidak bisa disepelekan, karena di tangan seorang Pembunuh, sehelai benang pun bisa merenggut nyawa.

Lihat selengkapnya