Jalanan basah sehabis terguyur hujan semalaman. Manu dan kawan-kawan datang bersama ke sekolah. Pagi itu, Manu terkesan lebih pendiam ketimbang sebelumnya, tetapi teman-temannya merasa bukan hal aneh lagi. Manu memang sering terlihat menyendiri, tenang tetapi di dalam pikirannya bak ombak sedang pasang. Bergejolak menghempas tebing, meskipun ia terlihat santai, berjalan sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Layaknya menantikan badai itu menghantamnya dengan keras.
Memasuki gerbang sekolah, Manu melihat penjaga bersikap sewajarnya, selokan penuh genangan masih kental menghitam, terdapat gelembung di permukaannya dan lalat yang mulai mengerubung serta parkiran penuh dengan motor ninja keluaran terbaru. Ia mencari beberapa motor yang tidak ada di sana. Semuanya terlihat normal, tetapi perasaannya mengatakan yang sebaliknya. Tiba-tiba Maranti sudah berada di ujung selasar sedang menunggunya.
“Ma-manu, kamu dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Udah gitu aja!” jelas Maranti sambil lalu.
“Kenapa-kenapa? Kok lu dipanggil sama Pak Artha sih?” tanya Gunawan penasaran.
“Apa gara-gara kemarin? Tapi kok cuma elu doang?” keluh Yoga menaruh curiga.
“Udah-udah, lu pada masuk aja, gw ngadep dulu!” sergah Manu.
“Kok gitu?” protes Gogo merasa aneh. Mereka berdiri di tempatnya, tak berkutik melihat Manu berjalan ke ruangan Kepsek.
Tok-Tok!
“Masuk!” sambut Pak Artha dari dalam.
Ketika pintu dibuka Manu, di sana sudah ada Faray, Willy, Hardi dan Edo berdiri dengan senyuman rubah. Perasaan yang tadinya tenang, perlahan bergemuruh di dalam dadanya. Mereka beramai-ramai akan menjatuhnya sendirian agar tak bisa bangkit lagi. Kelemahan seorang pemimpin adalah jika ia hancur maka semuanya ikut mati. Faray mengetahui hal itu dan berusaha menghancurkannya.
“Manu … Bapak tidak mau bertele-tele. Apa benar kamu yang ngempesin motor Faray dan teman-temannya?!” tuduh Pak Artha dengan wajah murka.
“Jawab, Manu!!” bentaknya.
Manu menunduk dengan memainkan bibirnya ke kiri dan ke kanan, mengulur-ulur waktu. Sepertinya, ia sama sekali tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, meskipun seorang Kepala Sekolah memaksanya untuk mengaku. Manu sudah siap dengan hukuman yang berat. Diskorsing misalnya.
“Kamu ini, ditanya diam saja!! Dasar berandalan!!” maki Pak Artha tak tahan lagi.
Tiba-tiba tiga kunyuk memaksa masuk ke dalam ruangan itu, mereka mengikuti Manu dan mencuri dengar di depan pintu sejak tadi. “Manu tidak sendirian Pak, kami juga ikut merusaknya.” “Iya, itu benar, Pak,” timpal lainnya menyambar.
“Astaga, monyet-monyet ini,” gumam Manu merasa kesal. Manu merasa sikap bungkamnya sia-sia karena ketiga monyet setianya justru membongkar perbuatannya. Mereka sama sekali tidak paham strategi bertahan apalagi menyerang.
“Bagus, jadi kalian berempat merusak motor Faray!”
“Manu, seharusnya kamu menyontoh sikap teman-temanmu ini. Mereka berani mengakui kesalahannya,” sindir Pak Artha telak.
“Kalau begitu kalian akan Bapak keluarkan dari sekolah ini!!” ancam Pak Artha tidak main-main.
APA???
Sontak, Gunawan, Yoga dan Gogo terkejut. Mata mereka membulat dengan mulut menganga, tak sadar jika hukumannya akan seberat itu. Sementara itu, Manu meratapi wajah ketiga monyet dengan helaan napas sangat dalam. Berusaha meraup-raup oksigen yang terpuruk di dasar usus besarnya dan tak mau keluar.