Selain Manu yang lainnya diminta untuk kembali ke kelas. Ia mendekati IPTU Eddi yang memintanya tinggal untuk menanyainya sesuatu. Sejak tadi, Manu berada di balik dinding itu menunggu Petugas menyelesaikan pekerjaannya mencari sesuatu di gedung seberang. Di antara rerumputan yang sudah tinggi menghalangi antara kelas F dan kelas terbengkalai itu, menyimpan pertanyaan besar untuk dikorek lebih dalam.
Setelah beberapa menit, IPTU Eddi menghampiri di mana Manu berdiri menunggunya. Sementara itu, ketiga monyet yang sudah kembali ke kelas menempati tempat duduk di dekat jendela belakang agar tetap bisa memantau Manu dari jarak aman. Teman-teman mereka yang menduduki bangku di dekat jendela diusir paksa, diminta pindah tempat agar bisa mencuri dengar dari pembicaraan rahasia itu.
“Jadi, kejahatan apa yang pernah kamu lakukan?” tuduh IPTU Eddi. Manu terkejut dengan pertanyaan itu, ia mulai terbata dengan pikiran yang membeku.
“Apa?”
“Mencuri? Begal? Geng motor? Narkoba?” cecar IPTU Eddi.
“Tanpa kamu katakan, Saya bisa mencarinya dalam daftar kejahatan anak sekolah.”
Manu terdiam. Ia kesulitan memahami ke mana arah tujuan Petugas itu mencecarnya dengan berondongan tuduhan tak berdasar. Di dalam kelas, Gunawan dan teman-teman menelan salivanya berbarengan setelah mendengar tuduhan itu kepada Manu. Mereka merinding ketika Manu disudutkan seperti itu. Jika salah satu dari mereka yang berada di posisinya, mungkin sudah pipis di celana.
“Saya tidak melakukannya,” terang Manu.
“Yang mana yang tidak kamu lakukan?”
“Semuanya yang tadi Bapak sebutkan.”
“Benarkah?! Lalu, kenapa wajahmu sangat tenang dan tidak merasa takut?” ujar IPTU Eddi sambil mendekati Manu lebih dekat. Manu dengan postur tinggi, bisa menatap ke bola mata Pak Eddi yang tak sejajar dengannya. Mungkin beberapa tahun lagi, Manu akan setinggi itu jika ia menyukai olahraga dan menyukai minuman dengan kandungan tinggi protein lebih banyak.
“Saya hanya sudah terbiasa menghadapi seseorang seperti Bapak,” jawab Manu menatap balik.
“Oh … Ayah kamu polisi?”
Manu menggeleng. “Tentara.”
“Hmm … apa Bapak kamu ….” Kalimatnya terpotong.
“Kalau tidak ada pertanyaan tentang kasus yang Bapak cari di kelas kosong itu, sebaiknya Saya kembali ke kelas,” sergah Manu sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Ia tak ingin menjawab perihal kehidupan pribadi dan identitasnya. Ia sangat tenang menghadapi IPTU Eddi seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan tekanan.
IPTU Eddi tercengang dengan ketegasan dan kepandaian Manu. Dalam benaknya ia merasa sedikit kagum dengan keberanian anak itu. Anak ini punya nyali.
“Apa kamu melihat Wira Wardhana meninggalkan sekolah?” tanya IPTU Eddi mulai serius.
“Wira Wardhana?” tanya Manu, sangat asing mendengar nama itu disebut.
“Jadi kamu tidak tahu. Dia anak baru di kelas A, murid pindahan dari semarang. Kemarin adalah hari pertamanya sekolah dan segerombolan orang atau “anak-anak nakal” membuangnya di jalanan,” ungkapnya.
Manu terkejut. Untuk pertama kalinya ia tercengang dengan cerita seseorang tentang anak di sekolahannya.
“Apa ia baik-baik saja?” tanya Manu lebih lanjut.
“Rahasia. Baiklah kamu bisa kembali ke kelas.” IPTU Eddi meninggalkan Manu di sana dengan segudang pertanyaan di kepalanya.
***