Z FLAKKA 20

Adine Indriani
Chapter #12

#REVOLUSI

Di belahan dimensi kota bagian utara, di sebuah pabrik terisolir yang ilegal keberadaannya. Semua karyawan dan karyawati imigran sedang bekerja di bawah tekanan orang-orang bersenjata. Memaksa mereka melembur menjalankan sebuah mesin pengendali minuman bersoda. Memasukkan ramuan mematikan ke dalam botol-botol soda itu sebelum dikemas ke dalam kardus, di mana itu hanya sebagian dari produk yang belum diedarkan ke seluruh negeri dan seluruh dunia. Selebihnya sudah menyebar ke seluruh wilayah.

Cara licik yang dijalankan atas perintah gembong Narkoba dari dalam Penjara. Kedua kartel narkoba terbesar telah bekerjasama, merencanakan suatu kejahatan yang paling mematikan yaitu merusak tatanan kota dengan menguasai manusianya. Dua kartel itu dikendalikan oleh geng Fulung dan Steven menyandera seorang ilmuwan, memaksanya untuk memperbanyak hasil temuannya yang bisa membuat seseorang dikendalikan pikirannya dan menguasai seluruh tubuhnya menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Temuan yang sangat berbahaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan menghancurkan dunia dan seluruh isinya di bawah kendali kegelapan. Mereka sangat haus akan keinginan untuk menguasai seluruh dunia untuk diri sendiri dan orang-orang yang setia. Sementara yang lainnya akan tertawan dan dibuang sebagai manusia sampah yang tak berguna.

Beberapa truk kontainer yang memuat berton-ton kardus yang berisi minuman bersoda itu sudah berminggu-minggu telah dibawa dan diedarkan ke beberapa tempat di pusat kota. Sebagian menuju Pelabuhan untuk dikirim ke negara tetangga. Mengeksport ke luar negeri. Mereka memilih untuk menyerang pusat kota terlebih dahulu, melumpuhkan ibukota untuk menguasai perangkat vital yang utama.

“Hitung mundur, tujuh puluh dua jam dari sekarang (3 hari),” gumam Fulung dan Steven dari dalam penjara. Menyamakan waktu mereka yang hanya bisa melihat jam di ruangan kafetaria.

***

Mengendap-endap di antara ilalang dan rerumputan tinggi yang menghalangi. Merayap di antara ubin-ubin berlumut, kotoran kehijauan dan berbau amis. Manu, Gunawan, Yoga dan Gogo mengikuti jejak Faray dan kawan-kawan yang terlihat sayup-sayup sudah berada di dalam. 

Gogo diperintah untuk ke depan mengambil gambar jika pintu depan dengan garis polisi sudah dirusak. Namun, Gogo menolak, ia merasa itu perbuatan yang tidak baik dan akan menyeretnya ke dalam masalah. Gogo memang sedikit pengecut ketimbang lainnya, ia tak ingin melakukan hal-hal buruk.

“Buruan, Go, cuma videoin sebentar doang!” perintah Gunawan. Gogo menolaknya terus hingga membuat jengkel semuanya. Akhirnya, Yoga mengambil gawai miliknya dan mendelik di antara dinding tanpa jendela yang terlihat lebih putih ketimbang tembok lainnya. 

Yoga menyalakan videonya dan mulai merekam sembari ditunggu yang lainnya di persimpangan tembok belakang. Setelah merekamnya selama lima belas detik, ia kembali menunduk menghampiri teman-temannya. Manu memimpin berjalan di depan, diiringi Gunawan, Gogo dan Yoga paling belakang. Mereka berusaha mendekati jendela yang sudah pecah di jendela belakang untuk bisa melihat dan mendengar pembicaraan Faray dan geng.

Pelan-pelan mereka merayap satu per satu agar tidak ketawan. Di awali oleh Manu yang merayap seperti gerilyawan di tengah hutan, menghindari sensor penglihatan malam milik musuh. Setelah Manu berhasil berada di bawah jendela yang pecah itu, diikuti oleh lainnya berbuat yang sama. Namun, giliran Gogo merayap ia kesulitan menyeret perutnya yang terus mengganjal di ubin. Seluruh seragamnya berubah kehijauan dengan noda lelumutan memenuhinya.

Manu, Gunawan dan Yoga menepok jidat dan memejamkan mata melihat Gogo hampir menggagalkan aksi mereka. Namun, Yoga yang berada di belakangnya membantu Gogo agar bisa bangkit, menaikkan perutnya dan merangkak dengan kaki-kaki dan kedua tangannya. Manu tak bisa menunggu lagi dan segera merekam aksi Faray dan teman-temannya dalam ruangan yang gelap itu.

“Gimana nih, kalau begini bakalan ketawan kita?” ujar Hardi khawatir.

“Jangan keras-keras! Lagian kita enggak tahu kondisi Wira sekarang. Enggak mungkin anak baru itu mati cuma gara-gara minuman … ya 'kan??” tukas Edo sambil menyisiri tempat itu. Berusaha melenyapkan bukti-bukti peninggalan malam itu.

“Gimana, Ray? Menurut lo, apa yang harus kita lakuin?” sambung Willy. Faray memukul-mukul bangku yang tersusun ke atas dengan sebilah potongan kaki bangku kayu, seperti sedang mengosongkan isi kepalanya yang penuh. Menyusun rangkaian bentuk yang tepat untuk menjawab setiap pertanyaan dari setiap permasalahan.

“Buat sementara kita jangan mencolok, kita hentikan semuanya. Untuk menghindari perhatian guru-guru dan polisi bodoh itu,” pungkas Faray.

“Terus … sama Boy gimana? Barangnya masih banyak di kita??” tanya Willy.

“Lu dengar enggak kata-kata gw!!!” bentak Faray marah. Willy dan teman-teman terdiam.

“Sembunyiin semuanya sampai keadaan aman seperti semula, baru bisnis berjalan,” tambah Faray. 

“Ok, gw setuju benar tuh kata Faray. Tapi, buat penutupan boleh dong kita ambil jatah, hehe … ya enggak-ya enggak!!” ajak Hardi membujuk teman-temannya.

“Ok boleh, ambil-ambil!!” perintah Faray.

“Asyiikkk!!” seru Willy mengambil sesuatu yang disembunyikannya di meja guru rusak yang berada di sudut ruangan. 

Ketika Willy mulai meletakkan sebuah kardus dan membuka botol-botolan itu. Minuman dalam botol diberikan ke temannya satu-satu. Membuka minuman itu dengan pembuka botol yang berbentuk sapi milik Ibu Kantin yang sudah lama hilang. Sudah lama Ibu Kantin mengeluh telah kehilangan pembuka botol, ternyata mereka yang sudah mengambilnya.

“Itu kan pembuka botol punya Ibu Kantin, awas aja gw bilangin loh yah!” gerutu Gogo kesal.

“Ssssttt … diam!” bisik Manu dan teman-teman.

Siapa tuh?!

Lihat selengkapnya