Julia duduk di bangku rumah sakit di dalam kamar pemulihan Ning. Tangannya bergetar, pandangannya menerawang tidak bisa fokus pada satu pikiran. Ketakutan menyeruak dirinya hingga merasakan seluruh nadinya berdenyut. Bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berhasil membuatnya tersudut.
Ning beranjak dari ranjang pesakitannya dengan lemah. Dean menyuruhnya untuk tetap di sana, tidak perlu turun hanya untuk bertanya. Namun, Ning tak menuruti Dean kendatipun kaki-kakinya masih merasa lemas. Ning mengatakan jika Julia bukan orang yang harus bertanggungjawab.
“Julia … minumlah air putih ini,” ujar Ning. Sembari menyuruh Bima untuk memberinya air putih kemasan. Julia meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa gugupnya membuat Julia tidak dapat menelan air mineral itu dengan lancar.
“Bima akan melanjutkan pertanyaannya, jadi tenanglah … ini hanya sebentar saja,” tambah Ning.
Ning merasa kepalanya berdenyut. Ia merasakan ada bola bekel bergulir di dalam kepalanya dan membentur dinding tengkoraknya. Pandangannya mulai berbayang seribu macam, bergerak-gerak membuatnya pusing. Hingga Dean harus membantunya kembali ke ranjang itu. Selangkah demi selangkah rasanya sangat berat, lemas dan kepala Ning terasa bergoncang, seperti gempa bumi dengan kekuatan lima skala richter.
“Bisa ceritakan apa saja yang terjadi 10 tahun yang lalu, kejadian-kejadian yang menurut pikiranmu, berhubungan dengan suamimu?”
“Ah … dari mana aku harus memulainya. Sepuluh tahun yang lalu, apa aku bisa mengingatnya?” gerutu Julia merasa gugup.
“Pelan-pelan saja, biarkan ingatanmu kembali perlahan,” tutur Ning sembari memegangi kepalanya sendiri. Ia sendiri tak sanggup berdiri dengan menopang kepalanya, tetapi masih bisa memerintah orang lain untuk mengeluarkan ingatan dari kepalanya.
“Suamiku baru saja dipecat karena kondisi skoliosisnya yang semakin memburuk. Pekerjaannya di bengkel otomotif membuatnya tidak bisa maksimal bekerja. Saat itu suamiku memang terlihat berubah sikapnya menjadi lebih pemarah, tetapi aku yakin itu karena dirinya kehilangan pekerjaan.”
“Lalu, aku mengalami kecelakaan itu yang menyebabkan kelingking harus diamputasi. Suamiku semakin merasa frustrasi melihatku kehilangan jari. Tetapi … kupikir kami bisa melewatinya dengan baik ….”
Julia mulai menangis karena tidak tahan dengan perasaan terdalamnya, ketakutannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengarah. Julia tidak tahu jika pertanyaan itu akan bermuara ke mana, hanya saja dirinya merasakan akan berakhir buruk. Tangisannya pecah dan mulai kehilangan kendalinya. Dengan tetesan airmata yang selalu diusapnya dengan tisu. Julia meneruskan ingatannya pada waktu silam.
“Setelah malam demi malam suamiku lebih sering berada di ruangan perkakasnya itu … suatu hari, entah aku sendiri lupa, malam di mana dirinya melewati makan malam dan pulang pada dini hari. Suamiku langsung bergegas ke ruangan perkakasnya, menghampiri panggilanku dan … kami berhubungan intim tidak seperti biasanya. Suamiku lebih bergairah dan sangat ingin membahagiakanku.”
“Aku menganggap suamiku telah berhasil melewati fase terpuruk dalam hidupnya … aku benar-benar berpikir demikian.”
Airmatanya masih saja menetes.
“Setelah dua tahun, aku hamil dan melahirkan 10 bulan kemudian. Bayi laki-laki itu seakan tidak ingin keluar melihat dunia, hingga harus dipacu karena seluruh plasenta sudah menghitam. Suami sangat bahagia hingga menyuruhku untuk terus bekerja, dirinya bersedia untuk merawat anak yang baru saja kulahirkan. Kami berganti peran dengan sangat baik.”
Tujuh tahun suamimu mengurus anak itu adalah masa hiatus-nya. “Lalu … kira-kira, seminggu yang lalu apa ada yang ganjil yang terjadi? Seperti … apa kalian bertengkar atau anak itu sakit atau apa?”
Terjawab sudah Si Kolektor Keliling berhenti membunuh karena membesarkan anak itu.
Julia meraba-raba ingatannya, memutar memorinya jauh ke belakang, mencari apa yang cocok dengan pertanyaan itu.