Pelarian tanpa tujuan, memutari sekolahan. Manu mulai curiga ketika Yoga yang berada memimpin di depan hanya berlari tanpa tujuan untuk keluar. Meskipun Manu sejak tadi sudah berteriak menuntun jalan, tetapi Yoga seperti kehilangan pendengarannya. Terpaksa, Manu berlari ke depan mendahului Yoga. Ia tahu jika harus melewati lorong kelas dan kembali ke parkiran. Lalu memutar ke belakang untuk menaiki tembok samping.
Jalan satu-satunya agar bisa keluar adalah melalui jalan setapak yang biasa dilewati ketika anak-anak itu membolos. Melihat langkah Manu, mereka segera memahami arahnya. Begitu pula dengan Denaya yang segera melepaskan genggaman tangan Gunawan untuk menyusul Manu di depan. Ia ingat jalan itu.
“Manu, tunggu!” teriak Denaya di belakang.
Tiba-tiba, di parkiran ada Faray yang seperti sudah menunggu mereka datang. Mendengar langkah mereka, Faray menoleh dengan cepat, berbalik mengejar kelimanya. Manu menghentikan lajunya, mengerem mendadak hingga yang berada di belakang menabraknya beruntun, seperti tabrakan di jalan tol.
Stop!
“Faray-Faray, balik-balik!” keluh Manu berbalik. Diikuti oleh yang lainnya. Dari arah depan Edo dan Hardi juga bermunculan mengejar. Mereka nyaris terkepung dari timur dan selatan. Terpaksa, Manu mengarahkan kakinya ke utara yang searah dengan Blok F yang buntu, jalan mati.
“Manu, ngapain ke kelas, buntu!” protes Gunawan dari belakang. Manu tahu itu, tetapi tidak ada jalan lain.
Otaknya mulai kelabakan, kakinya semakin lelah dan ia melirik ke belakang semuanya sudah keletihan berlari. Manu melihat ketiga zombie terus mengejar di belakang dan semakin dekat dengan Gunawan. Akhirnya, ia memikirkan ide untuk mengecoh ketika melihat pilar besar di depan. Ia terpaksa menyuruh teman-temannya untuk masuk ke kamar monyet, sementara ia mengalihkan Zombie-zombie itu ke tempat lain.
“Monyet-monyet!” teriak Manu sambil menunjuk ke kiri dengan telunjuknya. Yoga mengangguk memahami perintah itu. Sementara yang lainnya merasa heran karena Manu terus berlari ke arah yang berlawanan.
“Manu? Manu mau ke mana??” seru Denaya bingung.
Yoga kembali memimpin dan mengikuti perkataan Manu untuk menggiring teman-temannya ke monyet. Mereka pun mengambil jalan setelah tembok pilar besar di depan. Di sanalah kamar monyet berada yang berhasil membuat zombie kehilangan jejak mereka. Suara Manu yang berlari ke arah gedung terbengkalai berhasil mengecoh zombie-zombie itu agar mengejarnya. Sementara, keempat tempatnya melesak ke dalam kamar monyet.
Langkah Gunawan yang terakhir memasuki monyet segera menutup pintu rapat-rapat dengan mengrendelnya. Ia berjalan mundur, mendorong teman-temannya supaya lebih masuk ke dalam. Memastikan Para zombie tak mengikuti mereka ke kamar itu. Dengan perasaan takut sekaligus was-was, semuanya seperti menahan napas. Untuk memastikan keadaan aman dari kejaran.
Selang beberapa detik, Yoga mengangguk-angguk sambil menarik napas lega diikuti dengan lainnya. Sejenak mereka merasa lega karena terhindar dari kejaran zombie. Baru saja melepas napas yang terengah-engah, tiba-tiba ….
Buk! Buk!
“Yoga, bukain, buruan!” bisik Manu dari luar.
Suara pintu diketuk kencang. Semuanya membelalak, menganga-nganga lebar.
Namun, itu adalah Manu yang berhasil mengelabui kejaran zombie.
“Sialan lu, bikin kaget aja!” protes Gunawan sambil membuka pintu dan menutupnya kembali.
“Sorry-sorry!” keluh Manu yang menunduk memegangi kedua lututnya yang hampir lepas.
“Syukur deh, gw kira lo ninggalin kita-kita,” rintih Denaya. Mendadak kelopak matanya sudah penuh dengan airmata. Sebentar lagi akan ada rintik hujan lokal yang membasahi tempat suci itu.
Manu bisa melihat mata Denaya yang sudah kemerahan. Ia tahu jika Denaya sedang terguncang kejiwaannya melihat kejadian mengerikan ini.