Kelima kawan itu mulai resah berada di kamar monyet sekian jam. Hari sudah larut, perut mereka sudah keroncongan dari tadi dan tenggorokan terasa dahaga. Dengan penerangan yang semakin meredup, bisa dipastikan kekuatan daya lampu darurat itu sebentar lagi akan mati. Keresahan mulai merajalela, ditambah dengan udara yang semakin pekat di antara ruangan gelap tanpa ventilasi udara.
“Gila ya, kamar mandi enggak ada akhlaknya. Masa satu pun enggak ada ventilasinya,” keluh Gunawan sambil menggaruk leher dan kepalanya yang mulai terasa gatal. Semuanya berkeringat dan mulai merasakan sesaknya udara.
“Dulu sih katanya kamar mandi ini ada jendelanya, tapi di mana ya?” ucap Gogo.
“Kata siapa, Go? Kok lu tahu?” tanya Yoga.
“Katanya Kakak gw.”
“Nu, sampe kapan kita di sini?” tanya Gunawan.
“Iya, Nu … bisa mati kita di sini. Kehabisan oksigen, mana laper, haus lagi,” timpal Yoga.
“Ya, jalan satu-satunya kita harus keluar dari sini. Tapi, zombie-zombie itu gimana?” jawab Manu ragu. Pikirannya buntu.
“Aha, gw punya ide. Bukannya Pak Solihin ada ya? Gimana kalau kita ke kamarnya, terus minta kunci gerbang!” seru Gunawan menawarkan ide.
“Ah elu, kamar Si Solihin di belakang kantin. Jaraknya aja jauh dari sini, iya kalau dapet tuh kunci, kalau di tengah perjalanan diserang Faray?! Lagian belum tentu dia masih hidup!” tukas Yoga tidak setuju.
“Parah lu, doain Pak Solihin meninggoy!” keluh Gogo.
“Habis gimana dong, lu punya ide lain enggak??” balas Gunawan kesal.
Keempatnya termangu tak sanggup mengeluarkan ide yang bisa digunakan untuk keluar dari monyet. Untuk kesekian kalinya mereka mendengus napas dalam.
“Jangan narik napas dalem-dalem dong, keburu abis nih oksigen,” protes Gogo. Ia memiliki riwayat asma dan berada di ruangan itu tanpa jendela membuatnya semakin sesak. Ditambah, Gogo sangat ketakutan jika nasib mereka tak bisa keluar dari tempat itu hidup-hidup.
“Lah, nyalahin kita … elu sendiri napas!” sambar Gunawan tak terima.
Sementara itu, Denaya yang sejak tadi terdiam mulai memperhatikan sekitar. Matanya mencari sesuatu dari penyinaran minim. Di antara kegelapan dan secercah cahaya yang meredup, ia memperhatikan terus pintu kamar paling ujung. Tiba-tiba, bulu kuduknya berdiri, ia menenggelamkan wajahnya kembali di antara pahanya yang menekuk.
Perlahan, Gunawan mendekati Denaya. Ia tahu jika saat ini yang paling merasa takut adalah Denaya. Mungkin, isi kepalanya dipenuhi oleh ketakutan melebihi Para pria di ruangan itu. Bukan saja ketakutan akan ketersediaan oksigen yang menipis, pencahayaan daya yang sebentar lagi mati atau kelaparan dan kehausan yang melanda. Ada sesuatu yang melebihi itu semua. Tapi apa?
“Dena, kenapa takut ya?” tanya Gunawan lembut. Denaya menoleh kepada Gunawan dan kembali menunduk.
“Tenang aja, kan ada gw di sini, kita pasti bisa keluar,” rayu Gunawan berusaha menenangkan.