Di dalam kamar yang terdapat rak penuh dengan foto-foto tentara angkatan darat dari batalion bravo angkatan 1993. Terpampang penghargaan atas nama Kapten Dirgahayu di antara foto keluarga dan juga rekan-rekannya seprofesi. Masa kecil Manu yang lugu sedang digendong oleh Ayahnya berpakaian loreng ciri khas TNI AD. Dan juga, terdapat Ibu Manu yang cantik di sisinya memakai terusan katun dengan motif bunga.
Udara dingin subuh mulai menempel pada dinding-dinding rumah dan eternit. Merambati perlahan permukaan kulit yang terbungkus selimut. Suara alarm pagi berdering kencang, menggetarkan portable kayu olahan berwarna hitam di rumah itu. Tangan seorang laki-laki pertengahan empat puluhan itu mencari letak jam untuk mematikannya. Setelah berhasil memencet tombol loncengnya, salah satu matanya memincing memastikan waktu.
“Sudah saatnya membangunkan anak nakal itu,” gerutunya.
Sampai kapan Ayahmu ini membangunkanmu.
Laki-laki itu menuruni ranjangnya sambil memijat-mijat kelopak matanya yang belum bisa melihat dengan jelas. “Manu, bangun!” pekiknya di bawah tangga. Tangannya di atas pangkal tangga menanti sahutan dari panggilannya barusan.
“Manu! Bangun!” pekiknya kedua kali.
Panggilan itu tak kunjung mendapatkan sambutan, matanya seketika menegas. Ada gemuruh kekesalan yang membangunkannya, bak seorang singa yang tiba-tiba muncul rasa laparnya. Ia menaiki tangga dengan dua anak tangga sekaligus, langkahnya sangat cepat. Membuka pintu kamar Manu tanpa mengetuk dan bersusah payah. Kamar itu kosong, Manu tidak ada di sana.
Ia terkejut, tak mendapati Manu di kamarnya.
Di mana anak itu?
Ayah Manu kembali menuruni tangga, memasuki kamarnya dan mengambil gawainya di dekat jam weker. Ia mencari kontak Manu dan terdapat panggilan beberapa kali dari Puteranya itu. Dalam hatinya ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi. Sebab, Manu tak pernah mengiriminya teks pesan apalagi menghubunginya setelah kematian Ibunya lima tahun yang lalu akibat kecelakaan. Jika Manu melakukannya, berarti ada sesuatu yang dialaminya.
Sejak hari kematian Sang Ibu, Manu merasa marah dan menyalahkan semuanya kepada Sang Ayah. Jika Ayahnya tidak telat menjemput, mungkin sampai hari ini Ibunya masih hidup. Saat itu, selepas pulang dari acara serah terima istri Komandan yang baru menggantikan yang lama. Hingga semuanya sudah pulang, Ayah Manu lupa jika harus menjemput. Ibu Manu terpaksa menaiki angkutan umum. Demi menghindari kemacetan di pintu perlintasan kereta, kendaraan angkot itu nekat melintas dan tertabrak kereta kala menerobos rel tanpa palang.
Beberapa kali berusaha menghubungi Manu, tetapi jawaban panggilan itu di luar jangkauan. Kekhawatirannya semakin membesar ketika mendadak gawainya berdering. Ternyata panggilan dari orang tua Gogo yang sering menginap di rumahnya.
“Halo, Pak Dirga … apa Gogo menginap semalam?” tanya Ayah Gogo memastikan. Pak Dirgahayu tertegun dengan pertanyaan itu, karena ia juga bingung tak mengetahui keberadaan Puteranya sejak semalam.
Manu tidak pulang semalam?
***