Masih di taman yang sama, seseorang mulai bergerak merasa tak nyaman karena nyamuk dan lalat yang mulai mendarat dan menyuntik di antara pori-pori kulit. Menghisap darah segar dari dalam, menelannya, menepis rasa haus untuk bertahan hidup. Nyamuk-nyamuk yang beruntung.
Tepak!
Gunawan dan Yoga terbangun lebih dulu sambil menepuk nyamuk yang sejak tadi menyedot darahnya sampai gendut. Nyamuk kegendutan itu mati menempel di atas kulit dengan tragis. Jasadnya terepas dengan darah yang belecak ke mana-mana. Gunawan dan Yoga bersamaan menghapus jejak pembunuhan itu dengan mengusap lengannya di antara belahan pantat.
Setelah menghabisi nyamuk, kini giliran lalat yang tak mau pergi. Mereka bekerjasama menghalau lalat-lalat kurang ajar itu yang tak memberi mereka kesempatan untuk bernapas. Gunawan mengambil daun kering dan mengibas-ngibaskannya ke wajah lalat, mengenainya telak. Lalat itu terlempar jauh ke atas kotoran kucing.
Pluk!
Homerun.
“Iyuh, jijay!” seru Gogo yang baru bangun. Membayangkan kaki-kaki kecil Si Lalat yang baru saja dari kotoran itu dan hinggap di kulit teman-temannya dan kembali ke kotoran. Sangat menjijikan.
Namun, bukan itu yang membuat Gunawan terperanjat. Ia mendapati Denaya terbaring di samping Manu. Kepalanya berada di lengan Manu dengan tubuh melintang. Gunawan merasa kesal dan tidak terima pemandangan itu, seharusnya Denaya berada dalam perlindungannya bukan Manu.
“Apa-apaan nih?!” pekik Gunawan.
“Apaan sih lu, teriak-teriak. Orang Denaya juga cuma numpang naro kepala di tangannya. Deketan juga kaga,” ujar Gogo.
“Nu, bangun, Nu,” sambung Yoga sambil menggeliat. Tubuhnya terasa pegal.
Manu terbangun karena keberisikan dan ketika mengangkat kepalanya, ia merasakan lengannya terganjal kepala Denaya. Wajahnya merengut karena rasa kesemutan yang mulai menjalar setelah menyadarinya. Ia segera menyingkirkan kepala itu dengan mendorongnya hingga tergeletak di tanah. Ketiga temannya yang melihat Manu setega itu serempak menggelengkan kepala. Manu memang orang terdingin yang pernah ada, tetapi Gunawan justru menjadi lega setelah melihat perlakuan Manu terhadap Dena. Ia tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.
“Jam berapa nih?” tanya Manu yang masih sulit membuka mata.
“Jam 05.45,” jawab Yoga.
“Telat, kita telat,” sergah Manu beranjak dengan cepat.
“Apaan yang telat?” jawab serentak.
“Zombie-zombie itu … teman-teman kita di sekolah??”
“Astaga! Terus gimana? Enggak mungkinlah kita balik lagi? Lu enggak mikir kita balik ke sekolah kan, Nu??”
“Nu, jadi lu serius mau balik lagi ke sana??”
“Terus, elu semua mau pulang aja dan enggak merasa bersalah seandainya mereka dibunuh sama zombies?”