Pukul 07.00, bel masuk berbunyi panjang ketika Manu, Gunawan, Yoga, Gogo dan Denaya masuk melalui tembok jalur membolos. Sesampainya di parkiran, mereka melihat serangan para Zombies sudah dimulai. Terlihat Pak Artha mematung di dekat pos begitu juga dengan Pak Solichin yang sedang berusaha membuka kembali gerbang yang tergembong. Beberapa anak-anak blok F yang terlambat datang dan tidak dibolehkan masuk berada di luar pagar seketika berlarian menjauh.
Salah satu zombie mengincar kepala sekolah. Manu berlari dengan tameng dan centong bajanya menghajar Zombies yang nyaris menyerang Pak Artha. Diikuti oleh teman-temannya yang mengayunkan tongkat besi berkarat ke kepala Zombie, melumpuhkan punggung mayat hidup dengan terjangan kayu runcing, menghajar wajah berliur itu dengan pan anti lengket dengan tepat dan tidak ketinggalan menggiling kaki-kaki pucat itu dengan penggilingan. Beliau hanya bisa termangu melihat keberanian Manu dan kawan-kawan yang menyelamatkannya dari serangan.
“Jangan bikin hulk marah!” murka Gogo dengan muram kehijauan.
Tidak berakhir di sana, pertempuran semakin sengit karena zombies yang semakin bertambah banyak. Memaksa mereka yang berjumlah sedikit harus mundur mengitari gedung. Mereka berlarian ke arah kantin, seperti pernah terjadi sebelumnya, dejavu. Pak Artha yang tak mengenali siswa-siswanya yang sudah berubah ganas membuat kaki-kakinya seketika berfungsi. Ia berlari menyusuk Manu dan teman-temannya di belakang, sedangkan Pak Solichin memilih untuk memanjat pagar.
Para zombies mengejar ke mana pun mereka pergi, mereka juga memanjat pagar menarik-narik kaki Pak Solichin. Pak Artha menoleh ke belakang dan melihat Solichin yang ditarik oleh zombies dan mereka menggigitnya beramai-ramai. Pak Artha mengerang ketakutan, setelah melihat adegan horror dengan mata kepalanya.
“Kalian bisa jelaskan apa yang terjadi?” tanya Pak Artha sambil berlari.
“Pemanasan global!” ejek Yoga asal.
“Karma!” sindir Gunawan.
“Hari pembalasan!” pekik Denaya.
“Tentara Dajjal sebelum kiamat!” timpal Gogo.
“Ck, Dasar kalian!!” erang Pak Artha jengkel. Pak Artha melihat tutup panci bakso yang berada di atas gerobak, ia mengambilnya untuk melindungi dirinya.
Mereka terus berputar-putar mengelilingi sekolahan sampai letih. Zombies yang menghalangi digempur hingga bisa menerobos. Sampai kapan ini akan berakhir, Manu mulai memperhatikan jikalau teman-temannya tidak ada lagi yang masih menjadi manusia. Semuanya sudah berubah menjadi Zombies, tidak ada pilihan lagi selain harus meninggalkan mereka. Namun, ketika Manu berencana mengarahkan mereka ke monyet, jumlah zombies yang terlalu banyak tidak mungkin dihadapi satu per satu.
Mereka akan keletihan menghadapi Zombies semuanya sebelum akhirnya terjebak menjadi santapan. Dalam benak mereka masing-masing, sudah tahu jika mungkin tidak akan selamat dari peperangan ini. Manu melihat kepada teman-temannya yang gigih melawan. Kesedihan mulai meradang, ia merasa menyesal telah melibatkan mereka sejauh ini.
“Gun, ini benar-benar konyol, bener kata lu,” teriak Manu sambil menghajar zombie.
“Gw enggak nyesel kok, kita hadapin sama-sama,” balas Gunawan yang mengetahui apa maksud dari kata-kata Manu.
“Gw seneng ketemu sama kalian!” seru Denaya berteriak dalam kepungan zombie.
“Gw apa lagi, emang lu doang!” balas Gogo.
“Hahaha, hajaaarrr Bray!” tandas Yoga bersemangat.
“Kalian masih aja becanda, dasar berandalan!” Hardik Pak Artha sambil memukul.
Manu tersenyum dan senyumana itu dibalas satu-satu oleh teman-temannya.
Senyuman terakhir sebelum berpulang, mungkin inilah yang disebut sebagai kehidupan tanpa penyesalan. Ya, banyak yang merasa di akhir hidupnya tak sanggup tersenyum. Bisa berada di titik sebuah perjuangan bersama dengan sahabat dan orang-orang yang disayangi itu lebih dari cukup. Sedikit yang bisa memiliki persahabatan sejati dalam kehidupannya. Kebanyakan palsu dan sementara saja, tetapi persahabatan mereka diuji oleh ujian yang paling berat. Dan mereka tak pernah menyesalinya.
Bepbepbepbepbep!